Bukan Lagi Tentara, Kini Ilmuwan yang Dibutuhkan di Garis Depan Pertahanan
Menhan Prabowo Subianto mengingatkan perang masa depan akan didominasi siber, intelijen, dan sensor. Untuk itu, diperlukan transformasi teknologi yang kuat dan hal itu masih jadi pekerjaan rumah saat ini.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di masa depan teknologi yang menjadi kunci dalam perang. Oleh karena itu, garis depan nasionalisme tidak ada di tentara, tetapi pada ilmuwan. Inovasi dan riset menjadi penentu.
Hal ini disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Jumat (9/7/2021), dalam diskusi bertema ”Optimalisasi Industri Pertahanan dalam Konteks Kepentingan Nasional RI di Abad 21” yang diadakan Universitas Padjadjaran.
Perang masa depan akan sangat tergantung pada teknologi, terutama elektronika. Perang akan didominasi siber, intelijen, dan sensor. (Menhan Prabowo Subianto)
Prabowo mengatakan, semua negara akan saling berebut sumber daya alam, seperti energi, pangan dan air. Oleh karena itu, semua perancang pertahanan di seluruh dunia pasti mendasarkan perencanannya pada kemungkinan perang. ”Kita tidak ingin invasi dan berharap tidak diinvasi, tapi semua pembuat kebijakan harus mempelajari perang,” kata Prabowo.
Ia mengatakan, perang masa depan akan sangat tergantung pada teknologi, terutama elektronika. Perang akan didominasi siber, intelijen, dan sensor. Ia mencontohkan, drone negara asing sudah ditemukan di perairan Indonesia beberapa kali. ”Bicara perang, bicara ilmuwan. Kita butuh elektronika yang canggih untuk radar dan siber,” katanya.
Prabowo juga menggarisbawahi perlunya ilmu tentang material. Material pembuat senjata tidak lagi logam, tetapi seperti pesawat tempur sudah dibuat dari komposit bahkan plastik yang lebih ringan. Selain itu, bidang kedokteran dan farmasi juga memegang peranan penting seperti mengatasi wabah saat ini.
Terkait dengan besarnya anggaran pertahanan untuk 25 tahun ke depan senilai 124,995 miliar dollar AS atau setara Rp 1.750 triliun yang menjadi wacana publik beberapa waktu, Prabowo mengatakan, anggaran ini relatif tidak besar kalau dilihat dari kekayaan alam yang harus dijaga. Akan tetapi, ia meyakinkan kalau ke depan anggaran pertahanan Indonesia tetap akan berkisar pada angka 0,8 persen dari produk domestik bruto.
Perang ke depan akan lebih kompleks dengan senjata-senjata yang sifatnya masif dan mematikan. (Andi Widjajanto)
Peneliti pertahanan dari Lab45, Andi Widjajanto, mengatakan, perang ke depan akan lebih kompleks dengan senjata-senjata yang sifatnya masif dan mematikan. Dalam membangun pertahanan, ia menyebutkan tiga pekerjaan rumah bagi Prabowo, yaitu menuntaskan rencana pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum (MEF) hingga 2024.
Setelah itu, lanjutnya, Prabowo perlu membuat perencanaan untuk 20 tahun ke depan sampai 2045. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena Covid-19 mengubah banyak asumsi ekonomi.
Di sisi lain, Andi mengingatkan bahwa secara global sedang terjadi pergesesran hegemoni. Dunia menjadi multipolar di mana ada indikasi tentang bertambahnya permusuhan dan perlombaan senjata.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang ketiga adalah melakukan transformasi pertahanan yang harus kuat secara teknologi sehingga struktur organisasi pertahanan berubah.
”Kuncinya ada di pembangunan industri pertahanan, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dan swasta, dan kalau bisa joint dengan produsen global,” kata Andi.
Direktur Utama PT Pindad Abraham Mose mengakui, kondisi industri pertahanan di Indonesia masih jauh dari ideal. Ia mengatakan, ke depan, selain inovasi, juga dibutuhkan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang cepat dan kecukupan modal dan perencanaan yang berkelanjutan.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Kemhan Penny Rajendra juga menyampaikan, melihat perubahan geopolitik yang dinamis, perencanaan pertahanan yang berorientasi jangka panjang semakin dibutuhkan.