Soal Krisis Hakim Agung ”Ad Hoc” Tipikor, MA Dinilai Lamban
MA semestinya mengajukan permintaan seleksi hakim jauh hari sebelum empat hakim agung ”ad hoc” tindak pidana korupsi memasuki masa pensiun. Hal itu penting untuk menjamin perkara korupsi bisa tertangani dengan baik.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Susana Rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung dianggap lamban dalam mengajukan permintaan seleksi calon hakim agung ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) ke Komisi Yudisial untuk mengganti empat hakim agung ad hoc yang memasuki usia pensiun Juli ini. Padahal, sesuai aturan perundangan, MA dapat memberitahukan perihal hakim agung yang akan pensiun enam bulan sebelumnya.
Untuk segera menutup kekurangan yang ada saat ini, MA disarankan untuk segera menyurati KY mengenai adanya kebutuhan akan hakim agung ad hoc tipikor.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah saat dihubungi, Senin (5/7/2021), mengatakan, jika memang ada empat hakim agung ad hoc tipikor yang pensiun, seharusnya MA segera mengajukan kebutuhan tersebut ke KY.
Seleksi hakim agung ad hoc tipikor terakhir dilakukan oleh KY pada akhir tahun 2020. Saat itu, hanya ada satu calon yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MA seharusnya segera mengajukan ke KY kebutuhan hakim ad hoc tipikor. Selanjutnya, KY juga bisa segera membuka seleksi calon hakim ad hoc tipikor untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
”MA tidak sigap mengajukan kebutuhan hakim ad hoc tipikor ke KY. Sebab, sesuai aturan di UU MA dan UU KY, pengajuan seleksi hakim bisa dimulai enam bulan sebelum hakim tersebut pensiun,” kata Liza.
Pada 22 Juli mendatang, empat hakim agung ad hoc tipikor, yaitu Krisna Harahap, Mohammad Askin, Latief, dan Syamsul Rakan Chaniago akan purnabakti. Setelah itu, MA hanya akan memiliki tiga hakim agung ad hoc tipikor. Dengan banyaknya perkara yang ditangani di MA, keterbatasan jumlah hakim tersebut dikhawatirkan akan membuat perkara tak tertangani dengan baik.
Dalam kondisi krisis hakim ad hoc tipikor, Liza mengatakan, seharusnya MA segera mengirimkan surat kepada KY untuk meminta seleksi calon hakim baru. Meskipun kewenangan KY terbatas, KY juga bisa membuka komunikasi ke MA, mengapa belum meminta seleksi hakim baru. Dua lembaga tersebut idealnya harus bisa berkomunikasi kritis dan bersinergi untuk memenuhi kebutuhan hakim di MA. Sebab, krisis hakim agung ad hoc tipikor di MA bisa berdampak pada produktivitas penanganan perkara. Masyarakat pencari keadilanlah yang akan dirugikan. Bahkan, apabila perkara menumpuk dan tak bisa ditangani, terdakwa kasus korupsi bisa bebas demi hukum karena masa tahanannya habis.
Ketua Bidang Humas Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Erwin Natosmal Oemar mengungkapkan, sebagai bagian dari fungsi check and balances, DPR dan KY seharusnya menegur MA perihal lambannya pengajuan permintaan seleksi hakim agung ad hoc tipikor. Kedua Lembaga tersebut dapat bersurat resmi ke MA mengenai kondisi krisis hakim ini.
”Terutama KY, Lembaga ini bisa dianggap gagal menjalankan fungsinya apabila masih dengan paradigma pasifnya,” kata Erwin.
Selain itu, tambahnya, KPK juga perlu memperhatikan hal ini. Sebab, situasi krisis hakim agung ad hoc tipikor akan berimplikasi serius pada pemberantasan korupsi. KPK pun sebenarnya punya peran dalam proses seleksi hakim ad hoc ini terutama dalam hal memberikan rekomendasi seperti dalam tercantum dalam penjelasan Pasal 14 Huruf b UU KY.
”Pendek kata, ketiga lembaga ini harus berkirim surat ke MA terkait kelalaian lembaga ini dalam menjalankan tugasnya memastikan akses terhadap keadilan bagi para pencari keadilan dlm ranah subsistem pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Kualitas putusan
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, krisis hakim agung ad hoc tipikor itu dapat berdampak dari sisi kuantitas maupun kualitas penanganan perkara. Dari sisi kuantitas, jumlah hakim agung ad hoc tipikor yang tersisa tentu tidak dapat menangani beban perkara korupsi di tingkat kasasi dan PK. MA akan keteteran menangani perkara yang masuk. Apalagi, penanganan kasus korupsi memiliki limitasi waktu yang diatur di UU.
Di sisi lain, menurut Kurnia, pada saat jumlah hakim agung ad hoc masih banyak, pun kualitas putusan perkara di MA dinilai masih jauh dari harapan publik. Terkadang, putusan dan pertimbangan yang dipakai hakim tidak menunjukkan komitmen mereka dalam upaya pemberantasan korupsi. Kajian ICW bahkan menunjukkan bahwa peninjauan kembali kerap digunakan sebagai modus oleh koruptor untuk mendapatkan keringanan hukuman. Pada tahun 2020, ada 14 koruptor yang hukumannya diringankan melalui putusan PK di MA.
”ICW mendorong MA agar segera mengajukan kebutuhan hakim ad hoc tipikor ke KY. Selain itu, dalam proses seleksinya juga agar mengutamakan calon-calon yang berintegritas dan kompeten agar berpengaruh terhadap kualitas putusan perkara korupsi di MA,” ujar Kurnia.
Apabila kebutuhan hakim ad hoc tipikor itu tidak terpenuhi, menurut Kurnia, bisa dipastikan bahwa putusan MA dalam perkara korupsi akan kurang berkualitas. Sebab, hakim tidak bisa fokus menangani perkara karena banyaknya beban yang harus mereka kerjakan.
Secara terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengatakan, sesuai data yang diterima dari Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, MA sudah mengajukan kebutuhan hakim ad hoc tipikor sebanyak enam orang ke KY. Pengajuan kebutuhan hakim ad hoc itu dilakukan bersamaan dengan kebutuhan 13 hakim agung di kamar perdata, pidana, hakim agung militer, dan tata usaha negara khusus pajak.
”Sudah diajukan bersamaan dengan kebutuhan 13 hakim agung kemarin,” kata Andi.
Meskipun demikian, Andi mengatakan bahwa proses seleksi di KY dan DPR juga akan memakan waktu lama. Padahal, penanganan perkara membutuhkan kecepatan karena ada limitasi waktu penanganan perkara. Oleh karena itu, salah satu solusi yang diajukan adalah MA akan memperpanjang masa bakti seorang hakim yang usianya belum mencapai 70 tahun. Masa bakti seorang hakim itu akan diperpanjang sembari menunggu hasil seleksi oleh KY.
Sementara itu, Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, untuk tahun 2021 ini, KY belum menerima surat pengajuan kebutuhan hakim agung ad hoc tipikor dari MA. Saat ini, KY masih merampungkan seleksi 13 calon hakim agung yang diminta MA.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Johan Budi SP, menyoroti mengenai kualitas calon hakim agung dan hakim agung ad hoc tipikor yang diajukan oleh KY ke DPR. Dalam pandangan Komisi III DPR, banyak calon hakim agung/hakim agung ad hoc tipikor yang kurang berkualitas dan mumpuni baik dalam sisi keilmuan maupun kapasitas menjadi hakim agung.
Untuk itu, Johan mengusulkan agar KY proaktif menjaring atau melakukan talent scouting ke perguruan tinggi, tokoh-tokoh masyarakat, dan lainnya. KY juga perlu melakukan jemput bola ke berbagai pihak demi terjaringnya calon hakim agung yang berkualitas dan mumpuni.