Bung Harmoko, Bekas Wartawan yang Mendorong Presiden Soeharto Mundur
Harmoko yang di tahun 1998 menjabat Ketua DPR/MPR, memberi keterangan pers. “Pimpinan Dewan mengharapkan demi persatuan dan kesatuan, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” ujar Harmoko.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Ribuan mahasiswa berduyun-duyun datang ke pusat kota Jakarta, dan menduduki Gedung DPR/MPR, 18 Mei, 23 tahun silam. Mereka satu suara menuntut reformasi bidang politik, ekonomi dan hukum, serta mundurnya Presiden Soeharto dan Wakil Presiden BJ Habibie.
Harmoko yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPR/MPR, lantas memberikan keterangan pers. Hanya dalam waktu lima menit, ia membacakan satu halaman keterangan persnya, dengan ekspresi wajah tanpa senyum.
“Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” ujar Harmoko, sambil bergegas meninggalkan ruangan tanpa bersedia diwawancara lagi.
Bagai petir di siang bolong, pernyataan Harmoko cukup mengagetkan banyak pihak. Bahkan, fraksinya sendiri, Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), pun saat itu masih belum menyampaikan sikap.
Di luar itu, pernyataan Harmoko tetap mengundang tanya. Pasalnya, selama ini, Harmoko-lah yang terus mendorong Soeharto agar menjadi presiden periode 1998-2003. Padahal, Soeharto tidak mempermasalahkan jika tidak menjabat presiden kembali. Ia sudah enam kali menjadi presiden saat itu.
Namun, menurut Harmoko, keinginan mencalonkan lagi Ketua Dewan Pembina Golkar tersebut merupakan kehendak rakyat. “Inilah aspirasi demokrasi,” katanya, seperti dikutip dari arsip Kompas, 17 Oktober 1997.
Selepas Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden pada 21 Mei 1998, Harmoko pun menyampaikan bahwa itu juga tetap merupakan aspirasi rakyat. Ia menolak pendapat yang menyatakan telah menjerumuskan Soeharto dalam posisi yang sulit. “Itu pikiran keliru,” ucapnya.
Sepintas, tidak masuk akal, jika Harmoko ingin menjerumuskan Soeharto. Sebab, hampir seluruh karier politik Bung Harmoko, panggilannya saat itu, dihabiskan bersama Presiden Soeharto. Bahkan, sebutan “orang kepercayaan Presiden Soeharto” melekat padanya.
Selama 15 tahun Bung Harmoko menjabat Menteri Penerangan, lalu dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Khusus selama tiga bulan. Usai menjabat pembantu Presiden, ia naik pangkat jadi mitra eksekutif sebagai Ketua DPR/MPR.
“Suatu lonjakan pergantian peran yang luar biasa. Ibarat wayangan, orang Nganjuk, Jawa Timur, kelahiran 7 Februari 1939 itu cukup lengkap memainkan peran di panggung politik,” tulis wartawan Kompas, Agus Hermawan, seperti dikutip dari arsip Kompas, 3 Oktober 1997.
Dalam sebuah wawancara Kompas, pernah ditanyakan soal banyaknya orang yang mengatakan bahwa Harmoko berambisi menjadi wakil presiden. Bapak dua putri dan satu putra itu pun tertawa lepas. "Kalau kita mengikuti omongan orang, kita nggak kerja. Karena itu, lebih baik kita bekerja saja sesuai keyakinan kita," katanya.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Anda ingin jadi Presiden? “Saya tidak punya cita-cita. Terus terang saja. Kita harus menyadari diri supaya tidak punya beban,” tutur Harmoko.
Darah daging wartawan
Meski telah malang melintang di panggung politik nasional, Harmoko tak pernah melupakan dirinya yang hanya sebagai bekas wartawan. "Darah daging saya adalah wartawan," kata mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (1973-1983) itu dalam berbagai kesempatan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo ingat betul sepak terjang Harmoko. Sebagai wartawan, Harmoko tak cuma dikenal sebagai pemimpin PWI Pusat tetapi juga pendiri Pos Kota yang legendaris hingga sekarang.
Lebih dari itu, pada 1993, Harmoko juga merupakan tokoh sipil pertama yang menahkodai Golkar. Enam ketua umum partai berlambang pohon beringin itu sebelumnya, Suprapto Sukowati, Amir Murtono, Sudharmono, dan Wahono, berlatar tentara.
“Lewat program temu kader ke berbagai daerah di Nusantara, Harmoko membuktikan bahwa dirinya tak kalah dengan para jenderal,” ucap Bambang, yang juga Wakil Ketua Umum DPP Golkar.
Buktinya, pada Pemilu 1997, Golkar mendapat 74,51 persen suara. Raihan suara tersebut meningkat sekitar 6 persen dari Pemilu 1992, yakni 68,10 persen. “Itu rekor prestasi yang hingga kini belum terpecahkan,” kata Bambang.
Wakil Ketua Umum DPP Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung juga mengamini prestasi Harmoko itu. Menurut dia, di periode kepemimpinan Harmoko, Golkar meraih salah satu perolehan suara tertinggi selama mengikuti pemilu.
“Di internal Golkar, Pak Harmoko juga memperkenalkan istilah ‘tiara hari tanpa penggalangan’ yang menginspirasi para kader saat ini dalam melakukan konsolidasi organisasi tiada henti,” ujar Doli.
Dalam sebuah wawancara Kompas, Harmoko menyadari bahwa ia merupakan orang pertama warga negara Indonesia dari pasca-1945 yang menduduki jabatan ketua umum Golkar. Ia pun menyadari, dengan posisi itu, ada pula yang tidak suka dengannya.
“Itu wajar saja kalau ada yang tidak suka. Di dalam hidup ini kan ada orang yang senang dan ada yang tidak. Dan saya dalam hidup ini selalu mengambil hikmahnya. Terhadap yang senang dan suka pada saya, saya menyampaikan terima kasih. Terhadap yang tidak senang kepada saya, juga saya menyampaikan terima kasih,” ucap Harmoko.
Ia melanjutkan, “Dengan cara itu, saya tidak menanggung beban dan saya tidak mengembangkan permusuhan. Kan enak, semuanya ini warga negara, semuanya kawan (sambil tertawa), jadi kenapa kita harus mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat konfrontatif, yang bersifat bermusuhan.”
Minggu (4/7/2021) malam, Harmoko bin Asmoprawiro (82), berpulang. Ia telah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Selamat jalan Bung!