Kasasi Belum Juga Diajukan, MAKI Menduga Kejaksaan Lindungi ”King Maker”
Dorongan publik agar kejaksaan mengajukan kasasi atas putusan PT DKI Jakarta yang memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara tak juga diindahkan. Batas akhir pengajuan kasasi tinggal satu hari lagi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih belum dilakukannya upaya kasasi terhadap putusan banding Pinangki Sirna Malasari oleh jaksa penuntut umum menimbulkan dugaan bahwa kejaksaan memang tidak ingin memperpanjang kasus tersebut. Ini karena ada dugaan masih ada pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus pelarian Joko Soegiarto Tjandra yang belum tersentuh hingga saat ini.
Sesuai dengan perhitungan, Senin (5/7/2021), adalah hari terakhir bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan upaya hukum kasasi atas putusan banding perkara Pinangki Sirna Malasari. Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menerima salinan putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 21 Juni lalu, sementara batas waktu pengajuan kasasi adalah 14 hari semenjak jaksa menerima salinan putusan.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 14 Juni lalu mengabulkan upaya hukum Pinangki Sirna Malasari, terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas untuk Joko Tjandra. Dalam putusan banding, majelis hakim memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi empat tahun penjara. Majelis hakim yang diketuai Muhammad Yusuf dan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik itu menilai, pidana 10 tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Pinangki terlalu berat. Selain itu, majelis hakim juga menimbang bahwa Pinangki adalah ibu dari seorang anak balita.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, Minggu (4/7/2021), mengatakan, desakan kepada Kejaksaan Agung agar melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan banding Pinangki Sirna Malasari telah disuarakan. Bahkan, organisasi masyarakat sipil, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), menginisiasi petisi di laman change.org.
”Saya masih berharap besok Kejaksaan melakukan upaya kasasi. Namun, kalau tidak, berarti Kejaksaan memang sudah tidak peduli lagi dengan rasa keadilan masyarakat. Dan, ini saya duga sebagai bentuk untuk menutup kasus ini supaya tidak berkembang ke mana-mana,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, meski semu terdakwa dalam kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung telah mendapatkan vonis, diduga masih ada pihak-pihak lain yang terlibat, tetapi belum tersentuh. Salah satu yang sempat mengemuka dalam persidangan adalah adanya sosok ”king maker”. Meski demikian, majelis hakim pun menyatakan tidak berhasil mengungkapnya di persidangan.
Keberadaan king maker pertama kali diungkapkan Boyamin Saiman pada akhir September 2020. Saat itu, ia melaporkan materi terkait king maker ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain sosok king maker, dugaan adanya keterlibatan pihak lain juga terungkap dalam percakapan antara Anita Kolopaking dan Pinangki saat membahas permohonan fatwa MA dengan menyebut ”bapakku” dan ”bapakmu”.
Dengan tidak melakukan kasasi, lanjut Boyamin, Pinangki diharapkan akan diam. Sebab, jika kejaksaan melakukan kasasi, dikhawatirkan Pinangki akan merasa tidak nyaman karena ada kemungkinan akan dihukum lebih berat sehingga mendorongnya untuk membuka pihak-pihak lain yang terlibat dalam kasus tersebut, termasuk sosok ”king maker”.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, dorongan agar Presiden memerintahkan Jaksa Agung melakukan kasasi bukanlah intervensi, melainkan memastikan agar proses hukum dijalani secara penuh. Sebab, banyak kasus lain yang semestinya kejaksaan tidak melakukan kasasi, tetapi malah mengajukan kasasi. Dalam kasus Pinangki, dengan pengurangan hukuman 10 tahun hanya menjadi 4 tahun, sudah seharusnya jaksa penuntut umum melakukan kasasi.
”Maka, saya berharap betul kepada Presiden untuk memastikan penegakan hukum dan keadilan dengan memerintahkan Jaksa Agung melakukan kasasi,” ujar Boyamin.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, terdapat hal lain yang mengharuskan jaksa penuntut umum melakukan kasasi, yakni perbandingan dengan Andi Irfan Jaya yang divonis 6 tahun dan Joko Tjandra yang divonis 4 tahun 6 bulan. Ketika Pinangki hanya dihukum 4 tahun, hukuman bagi Joko Tjandra sebagai pihak penyuap lebih tinggi dibandingkan dengan Pinangki yang menerima suap.
Padahal, dalam konteks hukum di Indonesia, penerima suap mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan dengan pemberi suap. Sementara Andi yang berperan membantu Pinangki malah divonis 6 tahun.
Sementara, lanjut Boyamin, dalam kasus surat jalan palsu, Joko Tjandra divonis 2 tahun 6 bulan penjara meski jaksa hanya menuntut 2 tahun penjara. Kemudian, terhadap vonis banding yang menguatkan putusan tersebut, kejaksaan melakukan upaya hukum kasasi.
”Untuk Pinangki, kenapa Kajaksaan begitu berat melakukan upaya hukum kasasi,” kata Boyamin.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, putusan banding yang mengurangi hukuman terhadap Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun sudah seharusnya mendorong jaksa untuk melakukan upaya hukum kasasi. Sebab, selain sangat ringan, kejahatan yang dilakukan Pinangki sebenarnya telah menampar wajah penegakan hukum di Indonesia serta institusi kejaksaan.
Selain alasan pengurangan hukuman Pinangki, menurut Kurnia, kasasi mesti dilakukan karena masih ada pihak-pihak yang terkait, tetapi belum tersentuh dalam kasus tersebut. Seperti sosok yang menjadi penjamin Pinangki sehingga akhirnya bisa menemui Joko Tjandra di Kuala Lumpur, sosok king maker, serta sebutan ”bapakmu” dan ”bapakku”.
”Kalau besok jaksa penuntut umum tidak kasasi, berarti dugaan publik terkonfirmasi bahwa kejaksaan sedari awal tidak pernah menaruh perhatian serius dan mereka memang menginginkan agar vonis itu sangat ringan,” kata Kurnia. (NAD)