Syarat Calon Hakim Dipersempit Bisa Bernilai Positif, Tetapi juga Belum Sesuai UU
Kini calon hakim hanya akan diseleksi dari jabatan analis perkara peradilan. Mekanisme itu dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme hakim. Namun syarat itu juga peroleh sorotan karena tak sesuai UU.
JAKARTA, KOMPAS - Berbeda dari sebelumnya, kini calon hakim hanya akan diseleksi dari jabatan analis perkara peradilan. Mekanisme tersebut dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme hakim di masa mendatang.
Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim mengubah ketentuan mengenai pengadaan calon hakim dengan menimbang bahwa Perma 2/2017 sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan MA saat ini. Dalam Pasal 1 Peraturan MA 1/2021 disebutkan, calon hakim adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berasal dari analis perkara peradilan tahun 2021.
Analis perkara pengadilan adalah pegawai negeri sipil yang diberikan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan analisis dan penelaahan perkara peradilan. Sebelumnya, di dalam Perma No 2/2017 disebutkan, calon hakim adalah calon pegawai negeri sipil atau pegawai negeri sipil sebelum diangkat menjadi hakim.
Lebih lanjut, di dalam Pengumuman Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung 2021 disebutkan, kebutuhan jabatan analis perkara pengadilan tahun ini sebanyak 1.540 jabatan. Kemudian diterangkan bahwa jabatan analis perkara peradilan dialokasikan untuk mengikuti seleksi calon hakim. Bagi yang tidak lulus seleksi calon hakim tetap dalam jabatan analis perkara peradilan.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho, berpandangan, dalam konteks reformasi birokrasi, semua PNS sudah memiliki jabatan. Analis perkara peradilan pun juga merupakan jabatan, yakni jabatan fungsional.
"Melihat Peraturan MA yang baru tersebut tampak bahwa ke depan tidak semua dapat menjadi hakim. Dalam kerangka ini, benar betul bahwa ini berarti jalur untuk menjadi hakim dipersempit, yakni dari analis perkara peradilan. Kalau dulu yang menjadi hakim bisa dari umum," kata Hibnu, Jumat (2/7/2021).
Menurut Hibnu, perubahan tersebut dapat dipahami karena ke depan, berbagai profesi memerlukan orang-orang yang memang spesialis atau ahli di bidangnya. Semisal dalam bidang lain ada ahli keuangan, ahli teknologi informasi, demikian dalam kehakiman diperlukan pengkhususan.
Hal itu penting agar ke depan seorang hakim telah dibina dalam masa yang panjang sehingga menguasai keahlian sebagai hakim. Di sisi lain, hal itu sekaligus mendorong agar seorang hakim memang dijabat oleh seseorang yang sedari awal berkeinginan dan berkompeten menjadi hakim. Jika seorang analis diberi wewenang melakukan telaah atau analisis, ketika ia menjadi hakim wewenangnya ditambah dengan wewenang memutus.
Kalau dulu, kan, umum bisa menjadi hakim. Sekarang arahnya memang dipersempit. Dan jabatan itu akan melekat terus sampai pensiun sebagai jabatan fungsional. (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,Hibnu Nugroho)
"Kalau dulu, kan, umum bisa menjadi hakim. Sekarang arahnya memang dipersempit. Dan jabatan itu akan melekat terus sampai pensiun sebagai jabatan fungsional. kalau jabatan struktural itu melekat pada organisasi," terang Hibnu.
Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, berpandangan, perubahan mekanisme seleksi calon hakim agung tersebut dinilai positif. Dengan merekrut calon hakim yang sebelumnya adalah analis perkara peradilan, maka para calon hakim tersebut telah terbiasa melakukan analisis, yakni kemampuan yang penting bagi seorang hakim.
"Profesi hakim itu perkara skill dan juga integritas. Keduanya sama penting dan diperlukan. Melalui perubahan mekanisme seleksi itu, saya kira MA sedang berupaya untuk meningkatkan kualitas hakim," kata Agustinus.
Menurut Agustinus, dengan mekanisme tersebut, ke depan tidak sembarang orang dapat menjadi hakim. Sebab, selain niat, untuk menjadi hakim juga diperlukan keterampilan dan pembinaan terus-menerus. Salah satu cara pembinaan tersebut adalah dengan menjadi analis perkara peradilan.
Sebelumnya, Juru Bicara MA yang juga Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro, Kamis (1/6/2021) mengatakan, analis perkara peradilan ditentukan sebagai sumber pengadaan hakim. Tujuannya agar calon hakim memiliki sumber daya manusia yang terampil sebagai pengetahuan dasar dalam menganalisis dan menelaah perkara pengadilan.
Syarat harus menjadi analis perkara di pengadilan untuk menjadi calon hakim bukan ranah perma untuk mengaturnya. Ini karena UUD 1945 mengamanatkan bahwa syarat-syarat pengangkatan hakim, tata cara perekrutannya, dan pengangkatannya diatur di undang-undang.
Tidak Sesuai UU
Jika sebagian ahli hukum menyambut positif atas perubahan syarat calon hakim yang diatur dalam Perma No 1/2021, tidak demikian halnya Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono. Menurut dia, perma tersebut mengatur sesuatu yang seharusnya diatur dengan peraturan yang lebih tinggi seperti undang-undang.
Syarat harus menjadi analis perkara di pengadilan untuk menjadi calon hakim bukan ranah perma untuk mengaturnya. Ini karena UUD 1945 mengamanatkan bahwa syarat-syarat pengangkatan hakim, tata cara perekrutannya, dan pengangkatannya diatur di undang-undang. Sejumlah undang-undang seperti UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum, dan peradilan yang lain sudah memuat ketentuan mengenai perekrutan hakim.
Sebagai contoh, Pasal 14 UU No. 49/2009 tentang Peradilan Umum mengatur tentang syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan diantaranya, warga negara Indonesia, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sarjana hukum, dan lulus pendidikan hakim. Selain itu juga setia kepada Pancasila, UUD, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kalau melihat di bagian menimbang (perma), kan tidak menyebut khusus pasal mana dari UU itu yang diatur lebih lanjut atau dijalankan. Sangat sumir. Itu menunjukkan bahwa pembentuk (perma) paham bahwa memang tidak ada perintah dari UU untuk mengatur persyaratan itu ke dalam Perma. Perma kalau mau mengatur tata cara menjalankan UU seharusnya tidak menambah syarat yang tidak ada di dalam UU,” jelas Bayu.