Peringatan dari Temuan BPK
Sekalipun memeroleh opini wajar tanpa pengecualian, sejumlah permasalahan terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Permasalahan berpotensi kian besar menjelang tahun politik.
Presiden Joko Widodo pekan lalu mengingatkan semua pihak agar tetap waspada mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir. Situasi luar biasa yang mesti direspons dengan kebijakan yang cepat dan tepat. Kesamaan frekuensi di tataran lembaga negara dan seluruh jajaran pemerintah pusat sampai pemerintah daerah pun dibutuhkan.
Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada acara penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2020, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, serta penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II Tahun 2020 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jumat (25/6/2021). Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendampingi Presiden Jokowi di kesempatan tersebut.
Di kesempatan itu, Kepala Negara menyampaikan bahwa, sejak pandemi Covid-19 muncul di tahun 2020, pemerintah telah melakukan langkah-langkah luar biasa, termasuk perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ”Re-focussing dan realokasi anggaran di seluruh jenjang kepemerintahan dan memberi ruang relaksasi defisit APBN dapat diperlebar di atas 3 persen selama 3 tahun,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara.
Presiden menuturkan, pelebaran defisit tersebut harus dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara makin meningkat untuk penanganan kesehatan dan perekonomian. Kondisi ini terjadi pada saat pendapatan negara mengalami penurunan.
Pelebaran defisit tersebut harus dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara makin meningkat untuk penanganan kesehatan dan perekonomian. Kondisi ini terjadi pada saat pendapatan negara mengalami penurunan.
Berbagai lembaga negara pun didorong melakukan sharing the pain, menghadapi pandemi dengan semangat kebersamaan, menanggung beban bersama. Hal ini seperti burden sharing yang dilakukan pemerintah bersama Bank Indonesia.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diramalkan Pulih pada 2020 seperti Sebelum Pandemi
Menurut Presiden Jokowi, dengan berbagai respons kebijakan tersebut, Indonesia mampu menangani peningkatan belanja kesehatan dan sekaligus menjaga ekonomi Indonesia dari berbagai tekanan. Di tengah situasi yang belum sepenuhnya pulih, pemerintah tetap berkomitmen mempertahankan dan meningkatkan kualitas LKPP.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menuturkan bahwa pemerintah akan sangat memperhatikan rekomendasi-rekomendasi BPK dalam mengelola pembiayaan APBN. Defisit anggaran dibiayai dengan memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang aman, dilaksanakan secara responsif mendukung kebijakan countercyclical dan akselerasi pemulihan sosial ekonomi, serta dikelola secara hati-hati, kredibel, dan terukur. Tak lupa, Presiden Jokowi pun mewanti-wanti para menteri, para kepala lembaga, dan kepala daerah agar menindaklanjuti dan menyelesaikan semua rekomendasi pemeriksaan BPK.
Permasalahan
Pada kesempatan tersebut, Ketua BPK Agung Firman Sampurna menuturkan bahwa opini terhadap LKPP 2020 adalah WTP atau wajar tanpa pengecualian.
Meskipun demikian, ada sejumlah permasalahan yang diungkap dalam LHP LKPP 2020 yang masih perlu mendapatkan perhatian. Permasalahan ini mencakup ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan dan kelemahan sistem pengendalian internal, antara lain permasalahan terkait program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN).
Mengenai permasalahan terkait PC-PEN ini pemerintah dinilai belum menyusun mekanisme pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 pada LKPP dalam rangka implementasi Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. ”Realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam rangka PC-PEN tahun 2020, minimal sebesar Rp 1,69 triliun, (juga) tidak sesuai dengan ketentuan,” ujar Agung.
Permasalahan berikutnya adalah pengendalian dan pelaksanaan belanja program PC-PEN sebesar Rp 9 triliun pada 10 kementerian dan lembaga yang tidak memadai. Selanjutnya, penyaluran belanja subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) dan non-KUR serta belanja lain-lain Kartu Prakerja dalam rangka PC-PEN pun belum memperhatikan kesiapan pelaksanaan program sehingga terdapat sisa dana kegiatan/program yang masih belum disalurkan sebesar Rp 6,77 triliun.
Permasalahan berikutnya adalah realisasi pengeluaran pembiayaan tahun 2020 sebesar Rp 28,5 triliun dalam rangka PC-PEN tidak dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan dan jadwal kebutuhan penerima akhir investasi. Masalah terakhir adalah pemerintah belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja atau pembiayaan PC-PEN tahun 2020 di tahun 2021 sebagai sisa dana SBN PC-PEN tahun 2020 dan kegiatan PC-PEN tahun 2020 yang dilanjutkan di tahun 2021.
Baca Juga: Membaca Fokus Anggaran PEN 2021
Sesuai rencana strategis BPK 2020, BPK memasukkan pemeriksaan tematik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan lainnya. Salah satu pemeriksaan tematik yang dilakukan pada semester II adalah atas penanganan PC-PEN.
Agung menuturkan bahwa pemeriksaan atas PC-PEN tersebut dilakukan dalam rangka risk based comprehensive audit yang merupakan gabungan dari tujuan ketiga jenis pemeriksaan yang memperhatikan audit universe, yakni keseluruhan keuangan negara dalam arti luas sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
Alokasi anggaran PC-PEN pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, Bank Indonesia, Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjaminan Simpanan, BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD), dan dana hibah tahun 2020 yang teridentifikasi oleh BPK adalah senilai Rp 933,33 triliun. Realisasinya sebesar Rp 597,06 triliun atau 64 persen dari anggaran yang dialokasikan.
BPK mengapresiasi upaya pemerintah dalam PC-PEN. Hal ini karena pemerintah telah melakukan pembentukan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19, mengeluarkan berbagai regulasi penanganan Covid-19, memfokuskan kembali kegiatan, merealokasi anggaran, serta mengawasi pelaksanaan PC-PEN.
Namun, lanjut Agung, tanpa mengurangi apresiasi atas upaya keras pemerintah tersebut, BPK menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan pengelolaan serta tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya tercapai.
Baca Juga: Presiden Jokowi Meminta Respons Kebijakan Cepat dan Tepat di Tengah Pandemi
Hal ini karena alokasi anggaran PC-PEN dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh. Realisasi anggaran PC-PEN belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan.
Pertanggungjawaban dan pelaporan PC-PEN, termasuk pengadaan barang dan jasa, belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ”Dan, pelaksanaan program serta kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya efektif,” kata Agung.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov ketika dihubungi, Senin (28/6/2021), mengatakan, ada beberapa hal yang dapat dipotret dari temuan atau tinjauan dari BPK tersebut. Upaya pemerintah untuk mengoreksi kebijakan APBN dengan membuat UU No 2/2020 tidak dilengkapi dengan mekanisme yang lebih detail dan prudent.
Ada risiko ketika program PEN tidak disiapkan dengan prosedur operasional standar atau mekanisme pengawasan dan pelaporan. ”Ambil contoh, untuk program KUR dan Kartu Prakerja, termasuk bansos, itu kan dari sisi perencanaan eksekusinya itu relatif mendadak. Langsung dianggarkan dan dieksekusi tahun itu dengan sistem dan SOP yang belum kokoh,” kata Abra.
Baca Juga: Sebagian Pencari Kerja Masih Kesulitan Mendaftar Kartu Prakerja
Abra menuturkan, sasaran PEN terancam gagal ketika terjadi persoalan seperti kebocoran atau ketidaktepatan anggaran. Hal ini karena belanja pemerintah diharapkan menjadi katalis yang berdampak ganda terhadap sektor riil, baik sisi permintaan maupun penawaran.
”Kalau implementasinya ada penyimpangan atau tidak sesuai sasaran, ya, pada gilirannya target mencapai asumsi-asumsi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, dan indikator sosial, seperti kesejahteraan, tidak tercapai. Pada akhirnya, ini akan berisiko kembali terhadap APBN,” katanya.
Risiko jelang tahun politik
Hal-hal yang disampaikan BPK tersebut terkait kondisi di tahun 2020. ”Kita belum tahu di tahun 2021 dan 2022 apakah hal-hal seperti ini masih akan berlanjut. Dan, nanti intensitas atau risiko penyimpangan dimungkinkan semakin besar karena, kita tidak menutup mata, mendekati tahun politik, kebutuhan untuk logistik kepentingan partai politik juga menjadi musuh dalam selimut terkait pengelolaan dan pelaksanaan APBN,” tutur Abra.
Mendekati tahun politik, kebutuhan untuk logistik kepentingan partai politik juga menjadi musuh dalam selimut terkait pengelolaan dan pelaksanaan APBN.
Abra menuturkan, dari awal dirinya mengingatkan seberapa besar keyakinan dan komitmen pemerintah dan DPR di tahun 2023 membawa APBN disiplin menjalankan mandat UU No 2/2020, yakni defisit di bawah 3 persen. Apalagi, kerap disebutkan bahwa di dalam politik tidak ada hal yang tidak mungkin dilakukan.
”Saya khawatir ketika nanti APBN belum sehat karena kebutuhan belanja besar dan pendapatan rendah, pemerintah dan DPR melakukan manuver lagi dari sisi regulasi, ada justifikasi dari regulasi. Saya khawatir nanti defisit akan tetap berlanjut melebar di tahun 2023 ketika kondisi APBN kita belum sembuh,” katanya.
Menurut Abra, hal ini perlu diwaspadai, termasuk dalam kaitannya dengan kesinambungan fiskal. BPK pun dalam hasil penilaiannya antara lain menyebutkan bahwa tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) dan penerimaan negara memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
Hal lain yang mesti diperhatikan adalah pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang, dan Silpa (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal ataupun risiko defisit. Utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72/2020 dan UU Keuangan Negara. Namun, trennya menunjukkan ada peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah, khususnya karena mulai tahun 2023 besaran rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi 3 persen.
Baca Juga: Defisit APBN di Masa Pandemi
Demikian pula indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR). Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 sebesar 4,27 persen pun melampaui batas yang direkomendasikan The International Standars of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411-Debt Indicators, yaitu di bawah nol persen.
Di titik ini, kecermatan dan kewaspadaan, termasuk dalam pengelolaan dan pengawasan anggaran, mutlak diperlukan di tengah cekaman pandemi Covid-19. Risiko penyimpangan yang berpotensi membesar menjelang tahun politik 2024 pun mesti dicegah sejak dini.