Aktivitas Teroris di Dunia Maya Kian Masif Selama Pandemi
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan aktivitas kelompok teroris justru kian masif pada masa pandemi Covid-19. Mereka memaksimalkan penggunaan internet untuk propaganda, perekrutan, serta penggalangan dana.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok teroris memanfaatkan ruang maya untuk menggencarkan komunikasi dan penggalangan dana selama masa pandemi Covid-19. Ini perlu diwaspadai karena diduga ada kaitannya dengan persiapan aksi besar beberapa bulan ke depan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan, kelompok teroris memaksimalkan internet untuk propaganda, perekrutan, serta penggalangan dana. ”Selama pandemi Covid-19, ancaman keamanan dan ketertiban dunia tidak serta merta menghilang, justru memunculkan tantangan baru lewat aktivitas teroris di dunia maya yang semakin masif,” kata Boy dalam keterangan tertulis, Jumat (2/7/2021).
Ia mengungkapkan, hal itu salah satunya tampak dari penggalangan dana secara daring (crowd funding)yang semakin banyak. Dibandingkan masa sebelum pandemi, terjadi kenaikan transaksi mencurigakan terkait pendanaan aktivitas teror hingga 101 persen.
Dihubungi terpisah, Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib mengatakan, berdasarkan informasi intelijen yang ia terima, intensitas komunikasi antaranggota kelompok teroris juga menguat dalam tiga bulan terakhir. Namun, mereka menyamarkan percakapan dengan sejumlah sandi agar terlihat seperti obrolan masyarakat umum serta terhindar dari aparat.
Sandi yang dimaksud misalnya, ”jamu korona” untuk pengganti bahan peledak atau ”obat korona” untuk pengganti peluru.
”Ini harus segera diantisipasi oleh Polri dengan membongkar semua jaringan mereka di platform daring. Terutama, dari mereka yang sudah tertangkap, sudah ada jejak forensik untuk membongkar apakah mereka berkomunikasi lewat e-mail, Telegram, di situ kemudian dicek ulang semuanya,” kata Ridlwan.
Ia memprediksi, intensitas komunikasi internal yang meningkat terkait persiapan aksi besar jelang beberapa bulan mendatang, seperti Agustus dan September.
Pada Agustus mendatang, terpidana Bom Bali I tahun 2002, Hambali alias Encep Nurjaman, akan disidang di Amerika Serikat. Adapun September merupakan bulan legendaris bagi kelompok teroris karena terkait dengan momentum pengeboman menara World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada September 2001 dan tragedi ”Black September” di Munich, Jerman, tahun 1972.
Oleh karena itu, Ridlwan melanjutkan, ini merupakan peringatan dini bagi aparat keamanan. Apalagi, tren serangan cenderung melandai pada tiga bulan terakhir. Belum ada aksi teror yang dilakukan di Tanah Air setelah pengemboman di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan di Mabes Polri, Jakarta, Maret lalu.
”Biasanya masa-masa flat seperti ini adalah masa persiapan atau perekrutan penyerang atau pengantin, penyiapan logistik, dan perangkat serangan,” kata Ridlwan.
Upaya aparat keamanan untuk mengantisipasi aksi teroris masih terus terlihat, setidaknya dalam sebulan terakhir. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, pada Rabu (30/6), Densus menangkap dua terduga teroris, yakni SY di Kembangan, Jakarta Barat, dan DS di Duren Sawit, Jakarta Timur.
Kedua orang tersebut menerima kiriman paket dari seseorang bernama AS di Bangka Belitung. Paket itu berisi tiga pucuk senjata api laras panjang beserta 120 butir amunisi, tiga pucuk revolver dengan 100 amunisi, serta dua belati.
Ramadhan menambahkan, penangkapan itu merupakan pengembangan kasus pengiriman senjata api dari terduga teroris di Bangka Belitung. Mereka terafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Sebelumnya, pada 15 Juni 2021, Densus juga menangkap seorang anggota JAD di Bogor, Jawa Barat, berinisial KDW. KDW diketahui sebagai penjual bahan kimia yang digunakan untuk membuat bahan peledak. Bahan tersebut dijual ke sejumlah tersangka terorisme yang sudah ditangkap.
Selain untuk berkoordinasi antaranggota, propaganda dan perekrutan anggota teroris juga masih gencar dilakukan secara daring. Menurut Boy, keberadaan internet memudahkan indoktrinasi kepada generasi muda untuk mendukung ideologi radikal dan melakukan aksi teror, tidak terkecuali perempuan.
Salah satunya ZA (25), pelaku penyerangan Mabes Polri pada Maret lalu. Pelaku yang tewas ditembak petugas saat melakukan aksinya itu diduga terpapar ideologi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Merujuk studi Soufan Center, Boy mengatakan, angka keterlibatan perempuan terhadap terorisme di Asia Tenggara pun melonjak dalam lima tahun. Pada 2015, ada tiga perempuan yang ditangkap karena kasus terorisme, sedangkan pada periode 2016-2020, jumlah perempuan yang ditangkap mencapai 40 orang.
”Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan aksi terorisme yang dilakukan perempuan, seperti di Surabaya, Jawa Timur; Sibolga, Sumatera Utara; dan baru-baru ini di Makassar, Sulawesi Selatan,” ujar Boy.
Boy menambahkan, pada masa pandemi, masih ada pula warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi teroris asing atau foreign terrorist fighter (FTF). Diperkirakan, ada 600-700 WNI yang hingga saat ini ditahan di Suriah. Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.