Tantangan Polri Menjaga Demokrasi di Era Informasi
Memasuki usia ke-75 tahun, Kepolisian Negara Republik Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kejahatan siber hingga penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik praktis.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki usia ke-75 tahun pada Kamis (1/7/2021), Kepolisian Negara Republik Indonesia menghadapi sejumlah tantangan di era informasi. Upaya menjawabnya dengan mentransformasikan sektor pelayanan publik dari manual ke digital diapresiasi, tetapi masih ada pekerjaan rumah dari segi penegakan hukum yang bebas dari kepentingan politik praktis.
Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto menilai, pemilihan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo pada Februari lalu tepat untuk menghadapi tantangan Polri dalam memasuki usia ke-75 tahun. Pada era revolusi industri 4.0, warga yang harus dilayani sebagian besar adalah generasi milenial yang kehidupannya erat dengan penggunaan gawai dan media sosial.
Dalam 100 hari kerjanya, Listyo telah membuat sejumlah terobosan aplikasi pelayanan publik menggunakan pendekatan teknologi informasi untuk merespons harapan masyarakat.
Dalam 100 hari kerjanya, menurut Benny, Listyo telah membuat sejumlah terobosan aplikasi pelayanan publik menggunakan pendekatan teknologi informasi untuk merespons harapan masyarakat. Harapan yang dimaksud adalah pelayanan yang cepat, transparan, akuntabel, dan mengurangi tatap muka warga dengan petugas untuk menghindari penyimpangan. Beberapa di antaranya adalah mekanisme tilang elektronik (ETLE) serta perpanjangan SIM daring (Sinar), SKCK daring, dan SP2HP daring.
”Itulah pelayanan dengan gaya milenial. Apabila program ini terus ditingkatkan dan konsisten, apresiasi masyarakat akan semakin baik terhadap Polri,” kata Benny saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (30/6/2021).
Meski demikian, masih ada sejumlah pekerjaan rumah bagi kepolisian, di antaranya penanganan pelanggaran anggota yang menggunakan narkotika dan senjata api. Keduanya terjadi bersamaan sehingga pengawasan dan pembinaan oleh atasannya dipertanyakan. ”Kedua isu ini sangat merusak citra Polri sebagai penegak hukum tetapi melanggar hukum,” tambah Benny.
Secara terpisah, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan, inovasi pelayanan publik kepolisian patut diapresiasi dan terus dikawal agar bisa terlaksana secara berkelanjutan. Akan tetapi, hal itu saja tidak cukup untuk memenuhi tantangan zaman. Polri juga semestinya melangkah lebih jauh untuk menangani kejahatan siber yang mulai berkembang mengiringi perkembangan teknologi informasi.
Bambang melanjutkan, selama ini mayoritas penanganan kasus kejahatan siber yang dipublikasikan masih seputar pencemaran nama baik dan ujaran kebencian di media sosial. Padahal, kejahatan siber saat ini sudah merambah pada pencurian data pribadi warga yang merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu, terjadi pula peretasan terhadap aktivis pengkritik pemerintah yang mengindikasikan penggunaan tindak kejahatan siber untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Menurut dia, sejauh ini belum ada pengungkapan yang signifikan terhadap kasus kejahatan siber. Polisi juga masih memandang pencurian data pribadi dan peretasan akun milik seseorang dengan preferensi politik tertentu merupakan bagian dari delik aduan. Padahal, peretasan termasuk dalam delik kriminal umum. Bambang pun meminta Polri untuk selangkah lebih maju dalam menilai kasus-kasus tersebut karena ke depan akan terus terjadi.
Selain itu, Polri juga harus terus menjaga amanat reformasi, yakni menjadi institusi profesional yang memisahkan diri dari kepentingan politik praktis. Sejauh ini masih ada kecenderungan untuk lebih membela kepentingan penguasa ketimbang masyarakat. ”Kita sepakat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi, artinya polisi juga harus bisa menjaga demokrasi ini berjalan dengan baik. Sebagai penegak hukum harus tetap berdiri di tengah,” ujar Bambang.
Polri juga harus terus menjaga amanat reformasi, yakni menjadi institusi profesional yang memisahkan diri dari kepentingan politik praktis. Sejauh ini masih ada kecenderungan untuk lebih membela kepentingan penguasa ketimbang masyarakat.
Perluasan organisasi
Pakar kriminologi dan kepolisian dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, berpendapat, tantangan terbesar Polri saat ini adalah memahami saatnya berhenti memperluas organisasi. Dilihat dari besarnya anggaran, jumlah personel, serta sebaran wilayah dan peran, Polri menempati posisi yang sangat strategis. Hampir tidak ada elemen kehidupan masyarakat yang tidak bisa dimasuki Polri, karena selain berfungsi menegakkan hukum, institusi tersebut juga mengembangkan fungsi ketertiban masyarakat dan pelayanan publik.
Melalui tiga fungsi itu, kata Adrianus, Polri juga memperbesar struktur dan kehadirannya dengan membentuk unit kebencanaan atau Disaster Victim Identification (DVI), lembaga sertifikasi profesi, pusat pelatihan kepolisian internasional, bahkan membuat stasiun televisi. Polri juga membantu menanggulangi pandemi Covid-19 melalui program Kampung Tangguh dan menggelar vaksinasi massal. Sejumlah perwira berpangkat komisaris besar ke atas pun diberikan penugasan mengisi jabatan di hampir semua instansi pemerintah.
Perluasan organisasi dan peran Polri secara terus-menerus, menurut Adrianus, akan berdampak pada kerja yang lamban. Polisi diprediksi justru akan menjadi tidak responsif dan sulit untuk menyesuaikan diri. Bahkan, tugas utama kepolisian bisa terganggu karena anggotanya harus mengerjakan tugas lain yang di luar tanggung jawabnya.
Oleh karena itu, Hari Bhayangkara semestinya menjadi momentum untuk merefleksikan diri. Institusi tersebut harus bisa fokus dan menolak permintaan untuk mengerjakan hal-hal yang berdampak pada pembesaran organisasi untuk kesekian kalinya. ”Tantangan Polri dewasa ini hanya satu, yakni tahu kapan harus berhenti,” kata Adrianus.