Dikritik Batasi Kebebasan Pers, Surat Telegram Kapolri Dicabut
Kompolnas mengapresiasi kesigapan Polri mengoreksi surat telegram terkait larangan peliputan kegiatan polisi yang mengandung kekerasan dan kejahatan. Ke depan, aturan berkaitan dengan instansi lain perlu didialogkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Purnamasari
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menuai kritik, surat telegram Kepala Kepolisian Negara RI mengenai pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan kejahatan dalam program siaran jurnalistik akhirnya dibatalkan. Terkait hal yang krusial dan menyangkut institusi lain, Polri diharapkan berkonsultasi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan peraturan.
Pencabutan tersebut dituangkan melalui Surat Telegram ST/759/IV/HUM.3.4.5./2021 bertanggal 6 April 2021 yang ditandatangani Kepala Divisi Humas Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono. Surat telegram tersebut ditujukan bagi para kepala kepolisian daerah (kapolda), secara khusus kepada kepala bidang humas (kabidhumas).
Surat telegram tersebut merujuk kepada empat hal, antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, termasuk Surat telegram bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 bertanggal 5 April 2021 mengenai pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan kejahatan dalam program siaran jurnalistik yang dijadikan rujukan keempat.
”Bahwa ST (surat telegram) Kapolri sebagaimana referensi nomor empat di atas dinyatakan dicabut/dibatalkan,” demikian kutipan surat telegram tersebut.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, dalam jumpa pers, Selasa (6/4/2021), mengatakan, surat telegram nomor 750 dimaksudkan bagi internal Polri, khususnya yang mengemban tugas kehumasan, agar bertindak lebih profesional dan lebih baik. Melalui surat telegram tersebut, diharapkan tampilan Polri kepada masyarakat adalah tampilan yang profesional dan humanis.
Namun, muncul berbagai penafsiran dan kritik dari masyarakat mengenai surat telegram tersebut. Oleh karena itu, lanjut Rusdi, Polri menghargai dan memahami munculnya berbagai pandangan masyarakat tersebut.
”Maka, Mabes Polri mengeluarkan surat telegram bernomor 759 yang berisi surat telegram nomor 750 tersebut dibatalkan sehingga ke depan tidak ada lagi multitafsir terhadap hal-hal seperti itu. Sekali lagi, surat telegram bernomor 750 dibatalkan dengan munculnya surat telegram bernomor 759,” tutur Rusdi.
Surat telegram nomor 750 sebenarnya dimaksudkan bagi internal Polri, khususnya yang mengemban tugas kehumasan, agar bertindak lebih profesional dan lebih baik
Sebagaimana diketahui, sejak diterbitkan dan kemudian salinannya beredar di publik, surat telegram nomor 750 menuai kritik. Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, berpandangan, meski surat telegram tersebut diberlakukan bagi kalangan internal Polri, dampaknya dapat dirasakan oleh pihak eksternal, yakni jurnalis.
Perlu dialog
Dari 11 poin yang diperintahkan di dalam surat telegram nomor 750, menurut Poengky, yang paling kontradiktif adalah poin 1, yakni tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Hal itu dinilai sebagai bentuk pembatasan kebebasan pers serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Oleh karena itu, pencabutan surat telegram tersebut dinilai sebagai langkah tepat.
”Kami apresiasi kesigapan untuk mengoreksi dan berharap di kemudian hari dapat melibatkan atau meminta masukan dari instansi terkait atau dari pengawas eksternal, misalnya Dewan Pers dan Kompolnas,” kata Poengky.
Untuk masalah krusial yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra, serta masalah yang bersentuhan dengan kewenangan institusi lain, Polri perlu membicarakannya dengan perwakilan institusi tersebut.
Menurut Poengky, untuk masalah krusial yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra, serta masalah yang bersentuhan dengan kewenangan institusi lain, Polri perlu membicarakannya dengan perwakilan institusi tersebut. Jika terkait pers, maka perlu pembicaraan dengan Dewan Pers. Selain itu, lanjut Poengky, surat telegram mesti dibuat agar tidak bermakna ganda atau menimbulkan multitafsir.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpandangan, surat telegram Kapolri nomor 750 itu bermasalah karena bisa menghalangi akses publik untuk mengetahui fakta sebenarnya. Poin pertama dalam surat tersebut dapat diartikan sebagai upaya sensor agar pemberitaan mengenai kepolisian hanya yang positif saja.
”Surat itu justru tidak melarang polisi untuk melakukan arogansi dan kekerasan. Asumsinya, arogansi dan kekerasannya tetap ada, tetapi tidak boleh diliput atau disiarkan. Ini jangan-jangan sebenarnya mau bilang sembunyikan arogansi dan kekerasan dari publik,” kata Asfinawati.