Kejahatan siber kian marak. Begitu pula laporan pelanggaran UU ITE. Bagaimana Polri di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menghadapinya? Saat wawancara dengan ”Kompas”, Kapolri menjelaskannya.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU/RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
Transformasi digital seluruh aspek kehidupan masyarakat diikuti dengan perkembangan berbagai jenis kejahatan siber, tidak terkecuali peretasan, pencurian data pribadi, dan penyebaran kabar bohong. Penanganan sejumlah kasus yang terjadi di ruang siber oleh kepolisian selama ini cenderung represif sehingga banyak kalangan menilai dapat menghambat kebebasan berekspresi.
Namun, memasuki usia yang ke-75 tahun, Polri berupaya mengubahnya. Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam wawancara khusus bersama Kompas, Rabu (30/6/2021), mengungkapkan pengubahan pendekatan yang dimaksud.
Di tengah pandemi, transformasi digital masyakarat semakin tinggi. Hal ini juga berpotensi diikuti dengan kejahatan siber, seperti peretasan, pencurian data, dan kabar bohong. Apa upaya yang sudah dan masih akan dilakukan untuk mengatasi dan mencegahnya, seperti semangat prediktif dalam konsep Presisi?
Kecepatan perkembangan teknologi informasi ini membawa dampak positif ketika dimanfaatkan dengan baik. Di sisi lain, ini juga membuka ruang kejahatan jenis baru di ruang siber.
Kami di kepolisian mencoba mengedukasi masyarakat dengan upaya cyber campaign. Kami memiliki program Cyber TV dan TV Polri, kami mencoba memperkenalkan berbagai jenis kejahatan baru, seperti konten-konten provokatif, penipuan menggunakan fasilitas online, termasuk Whatsapp hijacking (pembajakan), doxing (pembongkaran serta penyebaran data pribadi), dan cyber bullying (perundungan siber). Kami juga buat semacam pop up, fitur layanan masyarakat untuk memberikan peringatan akan terjadi hal-hal semacam ini di masa yang akan datang terkait dengan penggunaan ruang digital.
Selain itu, kami juga punya program baru untuk mengedukasi masyarakat agar bisa memanfaatkan ruang virtual dengan baik, yaitu Virtual Police. Program ini memang awalnya memunculkan pro dan kontra, tetapi kami pelan-pelan melakukan sosialisasi. Ini merupakan wajah baru kami dalam penegakan hukum di dunia siber.
Dalam menangani ujaran kebencian, dulu kami dianggap terlalu represif. Begitu muncul, kami tangkap dulu karena, kalau tidak ditangkap, barang buktinya akan dihilangkan. Namun, ternyata itu mengganggu kebebasan berekspresi.
Kemudian kami mencoba memunculkan Virtual Police, yaitu program yang memberikan peringatan kepada masyarakat jika hal yang dilakukan berisiko ada pelanggaran hukum. Ini adalah wajah baru kami dalam melakukan penegakan dalam penggunaan ruang digital yang tetap beretika.
Terkait penegakan hukum kasus-kasus yang ada, kami juga berupaya secara maksimal. Beberapa waktu lalu ada situs yang memperjualbelikan data pribadi, itu kami tangani. Beberapa waktu lalu juga ada upaya memanfaatkan ruang siber untuk penipuan jual beli alat kesehatan, itu kami ungkap bekerja sama dengan kepolisian Belanda.
Jadi, di satu sisi kami mengedukasi, tetapi juga menegakkan hukum terkait hal-hal yang merugikan masyarakat.
Mengenai kebebasan berekspresi, kami mengubah pendekatan. Ini selaras dengan keinginan Bapak Presiden, kami diarahkan agar melakukan langkah-langkah secara lebih selektif dalam menegakkan hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kemudian kami membuat surat edaran Kapolri dan membuat surat keputusan bersama (SKB) kejaksaan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menyesuaikan, di satu sisi agar ruang berekspresi tetap bisa diberikan bagi masyarakat karena saat ini kita berada di alam demokrasi.
Di sisi lain, memperkecil adanya multitafsir pasal-pasal karet. Ini yang kami akan sangat hati-hati. Hal seperti itu perlu ada perbaikan, ada ruang kosong yang tentunya harus diperbaiki dengan regulasi.
Meski demikian, terhadap hal-hal yang berdampak pada disintegrasi bangsa, misalnya ada konten yang memunculkan konflik di beberapa wilayah, kami harus mengambil langkah tegas. Kalau tidak, dampaknya akan merugikan masyarakat. Apalagi, dampaknya memecah belah bangsa. Kita berikan ruang mediasi, tetapi jika tetap memunculkan reaksi yang berdampak pada kerusakan, itu harus kita proses tegas.
Masih banyak hal yang harus dilakukan terkait perbaikan regulasi untuk mengawal kemajuan teknologi. Sebab, di satu sisi bisa dimanfaatkan masyarakat untuk hal baik. Namun, ruang-ruang yang memungkinkan untuk digunakan berbuat kejahatan itu akan kita jaga.
Ke depan, perlindungan data pribadi itu memang menjadi penting. Bagaimana kita menjaga sektor privat, tinggal mengatur siapa ke depan yang akan menjadi pengawasnya sehingga ke depan kita memiliki kedaulatan di ruang siber.
Mengenai keberadaan Virtual Police, sejauh mana efektivitasnya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban di ruang siber?
Seperti saya jelaskan tadi, Virtual Police ini banyak yang memprotes karena dianggap akan membatasi kebebasan berekspresi. Namun, dalam program 100 hari ini (100 hari Listyo menjabat Kapolri), kami telah memberikan peringatan kepada 119 konten. Dari mereka yang mendapat peringatan ada yang mematuhi, ada juga yang tidak mematuhi. Yang tidak mematuhi itu kami minta untuk take down (konten).
Kami juga melakukan jajak pendapat terkait pro dan kontra Virtual Police untuk menentukan program ini dilanjutkan atau tidak. Dari survei nasional, ada sekitar 82,5 persen yang puas dengan adanya Virtual Police. Dengan kata lain, program ini bisa kita lanjutkan. Responsnya cukup bagus.
Ini akan terus kami kembangkan untuk mewujudkan etika penggunaan ruang digital yang baik, bersih, sehat, dan ini untuk perbaikan Indonesia ke depan.
Tulisan petikan wawancara khusus ini bagian dari empat tulisan yang menyajikan wawancara Kompas dengan Kapolri. Salah satunya sudah terbit di harian Kompas dan Kompas.id. Adapun tiga lainnya tayang di Kompas.id.