Ancam Demokrasi, Penegak Hukum Didesak Usut Dugaan Peretasan Aktivis Antikorupsi
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor menilai dugaan peretasan di konferensi pers daring ICW merupakan kemunduran kebebasan berpendapat. Karena itu, penegak hukum didesak untuk mengusut tuntas aksi tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dugaan peretasan yang mengusik forum publik para pegiat antikorupsi mengancam kebebasan berpendapat di era demokrasi. Penegak hukum didesak mengusut peretasan terhadap sejumlah aktivis, meski tidak ada laporan ke kepolisian.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/5/2021), menilai dugaan peretasan yang dilakukan pada konferensi pers daring Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 17 Mei 2021 merupakan kemunduran dalam kebebasan berpendapat. Di negara demokrasi, semua warga bebas menyampaikan kritik. Ketidaksetujuan pada kritik harus disampaikan secara argumentatif.
Dugaan adanya peretasan dalam forum publik yang diselenggarakan secara daring dapat berdampak buruk. Semangat warga untuk berbicara secara bebas bisa menurun. ”Ini akan membuat masyarakat merasa jengah berbuat sesuatu bagi negaranya,” kata Firman.
Kondisi itu, lanjut dia, akan memperburuk iklim demokrasi di Indonesia. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), skor Indeks Demokrasi Indonesia pada 2020 adalah 6,3. Itu merupakan capaian terendah selama 14 tahun terakhir.
Merujuk survei Komnas HAM pada 2020, 29,4 persen dari 1.200 responden di 34 provinsi pun merasa tidak bebas dalam mengeluarkan pendapat untuk mengkritik pemerintah. Sebanyak 36,2 persen responden juga merasa ketakutan berpendapat melalui kanal internet.
”Ini membenarkan bahwa kita mengalami stagnasi demokrasi. Jika dibiarkan, tentu berlawanan dengan esensi demokrasi terkait kebebasan berekspresi,” ujar Firman.
Dugaan peretasan pada akun media sosial aktivis tidak hanya terjadi pada ICW saat mengadakan konferensi pers daring untuk mengkritisi tes wawasan kebangsaan (TWK) dalam pengalihan status pegawai KPK. Hal serupa juga pernah terjadi pada 2019 ketika sejumlah akademisi antikorupsi menggelar forum penolakan revisi Undang-Undang KPK di Unversitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun, keduanya belum ditindaklanjuti secara hukum karena tidak dilaporkan ke kepolisian.
Padahal, peretasan masuk dalam pelanggaran hukum yang diatur dalam Pasal 30 Ayat (1), (2), dan (3); serta Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hukuman pidananya tercantum dalam Pasal 46 UU ITE, yaitu penjara mulai dari enam sampai delapan tahun dan/atau denda Rp 600 juta-Rp 800 juta.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo masih mempertimbangkan untuk melaporkan dugaan peretasan ke kepolisian. Pihaknya khawatir pengusutan akan dilakukan secara tidak transparan sehingga merugikan pelapor. Salah satunya dengan menyita gawai anggota ICW yang menjadi korban peretasan.
Meski demikian, ia mendesak penegak hukum agar lebih proaktif mengusut kasus tersebut, karena persoalan ini tidak termasuk dalam delik aduan. Jangan sampai peretasan menjadi hal yang dianggap normal dan boleh dilakukan. ”Kami (mempertimbangkan) untuk membuat surat secara resmi kepada Kapolri, agar ada perhatian,” kata Adnan.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, semua kejadian yang meresahkan masyarakat menjadi perhatian kepolisian. Akan tetapi, Polri membutuhkan bukti permulaan yang cukup untuk menindaklanjutinya. Untuk itu, pihaknya terbuka jika masyarakat melaporkan bukti tindak pidana yang terjadi.
Polisi, kata Ramadhan, juga bisa mengusut kasus tanpa ada laporan dari korban. ”Ketika Polri menemukan bukti awal yang cukup, Polri akan membuat laporan polisi model A, sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan lanjutan,” katanya.
Firman Noor menambahkan, kejadian ini merupakan momentum bagi kepolisian untuk menunjukkan posisinya sebagai penjaga demokrasi. Apalagi sudah ada pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa hasil TWK tidak bisa menjadi dasar untuk membebastugaskan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes tersebut.