Dugaan Peretasan dan "Zoombombing" Usik Konpers Soal 75 Pegawai KPK
Kalangan pegiat antikorupsi kembali alami peretasan pada akun media sosial mereka. Hal itu terjadi saat mereka mengadakan konpers bertajuk “Menelisik Pelemahan KPK melalui Pemberhentian 75 Pegawai”.
Peretasan diduga kembali menyerang pegiat antikorupsi. Kali ini, pada Senin (17/5/2021), konferensi pers secara daring lewat Zoom yang menyampaikan pandangan para pegiat antikorupsi terkait pembebastugasan 75 pegawai KPK, diduga didera peretas.
Dalam konpers tersebut, para pegiat yang pernah menjabat sebagai pimpinan KPK itu kerap kali suaranya menghilang saat menyampaikan pandangannya terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap para pegawai KPK. Pertemuan itu pun dihadiri akun-akun Zoom yang mencatut nama para pegiat antikorupsi. Kehadiran mereka mengganggu konpers.
Tak hanya itu, di saat yang bersamaan, delapan anggota Indonesia Corruption Watch selaku penyelenggara konpers bertajuk “Menelisik Pelemahan KPK melalui Pemberhentian 75 Pegawai” itu pun mengalami peretasan. Akun Whatsapp mereka diambil alih pihak lain.
Konpers daring yang dapat diikuti melalui kanal Youtube dan berlangsung mulai pukul 13.00 itu memang sejak awal sudah berjalan kurang lancar. Kendala selalu muncul setiap kali pegiat antikorupsi di konpers itu menyinggung pembebastugasan 75 pegawai KPK.
Seperti saat Agus Rahardjo, Ketua KPK 2015-2019 ini mulai menyampaikan pandangannya terkait pembebastugasan 75 pegawai KPK karena tidak memenuhi syarat menurut penilaian TWK, suaranya tidak bisa terdengar jelas. Ia sampai mengulangi pandangannya beberapa kali.
“Saya tidak mematikan suara, tetapi terjadi seperti itu terus,” kata Agus.
Baca juga: Yang Vokal yang Diretas (1)
Keluhan serupa muncul ketika Mochammad Jasin, Wakil Ketua KPK 2004—2011 berbicara. Tampilan video di aplikasi Zoom yang dia gunakan tak bisa dinyalakan. Hanya layar hitam bertuliskan namanya yang muncul di hadapan peserta. “Saya bisa lihat wajah saya di kamera, tetapi tidak muncul di sana ya?” tanya Jasin kepada seluruh peserta.
Hilangnya suara dan gambar juga terjadi pada giliran empat mantan pimpinan KPK lain yang hadir dalam konferensi pers. Mereka adalah Saut Situmorang, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Bambang Widjojanto. Seluruhnya sepakat bahwa pembebastugasan 75 pegawai KPK karena tak lolos TWK tidak layak dilakukan.
Lalu, video rekaman yang dikirim mantan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tak bisa diputar. Admin konferensi pers yang juga peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, tampak sudah memutarnya dengan volume suara paling keras. Namun, di hadapan peserta yang menyaksikannya melalui kanal Youtube, tak ada suara dan gambar yang bergerak.
Di saat video dan suara para narasumber terkendala, sejumlah akun yang menggunakan nama mereka dan staf ICW justru bermunculan. Mereka masuk ke ruang diskusi tanpa gambar dan suara. Padahal, ruang daring itu terbatas hanya diketahui para admin dan narasumber. Akun asing itu juga menampilkan konten pornografi di sela-sela testimoni yang disampaikan Mochammad Jasin.
Di saat video dan suara para narasumber terkendala, sejumlah akun yang menggunakan nama mereka dan staf ICW justru bermunculan. Mereka masuk ke ruang diskusi tanpa gambar dan suara. Padahal, ruang daring itu terbatas hanya diketahui para admin dan narasumber. Akun asing itu juga menampilkan konten pornografi di sela-sela testimoni yang disampaikan Mochammad Jasin.
Moderator konferensi pers, Nisa Zonzoa pun kewalahan dengan aksi akun-akun asing itu. Ia meminta semua pembicara mengaktifkan video untuk mengonfirmasi identitas. Saat itu juga, ia juga memegangi telepon selulernya yang terus berdering. Ada pihak yang berusaha mengambil alih akun media sosialnya.
Dalam waktu bersamaan, akun WhatsApp tujuh anggota ICW diambil alih pihak lain. Mulanya, mereka menerima panggilan berulang dari nomor luar dan dalam negeri. Panggilan itu merupakan jalan masuk peretas untuk mengambil alih akun. “Ada nomor yang sudah diambil alih, ada yang berhasil dipulihkan, sedangkan beberapa orang lainnya masih percobaan,” ungkap Peneliti ICW, Wana Alamsyah, saat kembali dikonfirmasi pada Selasa (18/5/2021).
Baca juga: Misteri Peretasan Akun Para Pengkritik (2)
Bambang Widjojanto mengaku, upaya serupa juga terjadi pada akun WhatsApp-nya sejak dua jam sebelum konferensi pers berlangsung. Sementara itu, Abraham Samad, tidak bisa mengakses tautan konferensi yang sudah diberikan oleh staf ICW.
Wana melanjutkan, peretasan tidak hanya terjadi pada mantan pimpinan KPK dan ICW. Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Lokataru mengalami hal yang sama. “Kami menduga ini dilakukan pihak yang tidak sepakat dengan advokasi masyarakat sipil terkait penguatan pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Chairman Communication and System Security Research Center Pratama Persadha menilai, konferensi pers daring ICW didera zoombombing atau ancaman kepada para pengguna Zoom. Peretas bisa masuk melalui tautan yang disebarkan, celah keamanan Zoom yang dikenal rawan, atau menggunakan akun yang diperjualbelikan di darkweb.
Sementara itu, upaya pengambilalihan akun WhatsApp dengan bombardir panggilan dari nomor asing perlu dibuktikan dengan metode forensik digital. Kemungkinan, peretas menggunakan robocalls atau panggilan telepon otomatis terkomputerisasi untuk mengirimkan pesan seolah-olah dari robot. Pengambilalihan juga bisa dengan serangan malware yang mampu mengendalikan ponsel korban.
Baca juga: Ancaman Demokrasi dari Dunia Maya (3-Habis)
Chairman Communication and System Security Research Center Pratama Persadha menilai, konferensi pers daring ICW didera zoombombing atau ancaman kepada para pengguna Zoom. Peretas bisa masuk melalui tautan yang disebarkan, celah keamanan Zoom yang dikenal rawan, atau menggunakan akun yang diperjualbelikan di darkweb.
Usut tuntas
Peretasan akun media sosial para aktivis bukan pertama terjadi. Pada September 2019, modus dan momentum serupa dilakukan terhadap sejumlah akademisi pegiat antikorupsi. Saat itu, peretasan terjadi ketika mereka menggelar jumpa pers penolakan revisi Undang-Undang KPK di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pertemuan itu juga dihadiri Agus Rahardjo, di akhir masa jabatannya.
Peretas mengambil alih akun WhatsApp beberapa orang melalui panggilan nomor luar negeri sebagai pemancing. Nomor yang bisa diambil alih lalu mengirimkan pesan ajakan secara acak untuk mendukung revisi UU KPK.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, peretasan akun media sosial para aktivis merupakan pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ini juga bukan serangan pertama kali.
“Jika Presiden Jokowi benar-benar berkomitmen untuk melindungi dan menjamin kebebasan berekspresi maka pemerintah dan aparat penegak hukum harus mengusut kasus ini secara transparan, akuntabel, dan jelas. Semua pelaku peretasan wajib ditangkap, diproses dengan adil dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”
Namun, selama ini peretasan terhadap aktivis antikorupsi belum pernah diusut, karena tidak dilaporkan ke kepolisian. Padahal, peretasan masuk dalam pelanggaran hukum yang diatur dalam Pasal 30 Ayat (1), (2), dan (3); serta Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Hukuman pidananya tercantum dalam Pasal 46 UU ITE, yaitu penjara mulai dari enam sampai delapan tahun dan/atau denda mulai dari Rp 600—800 juta.
Direktur Tindak Pidana Siber Polri Brigadir Jenderal Slamet Uliandi tidak menjawab pertanyaan Kompas terkait penanganan dan pencegahan peretasan aktivis melalui pesan singkat.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, akan membahas tindak lanjut peretasan dengan tim hukum, di antaranya Safenet dan LBH. Pelaporan ke kepolisian juga dipertimbangkan, asalkan ada jaminan transparansi dalam pengusutan. “Bagaimanapun kejadian ini berulang, tapi tidak ada penegakan hukum atas pidana peretasannya,” ujar dia.