Setelah buron 13 tahun, terpidana pembalakan liar, Adelin Lis, dipulangkan ke Tanah Air. Langkah Kejaksaan Agung RI untuk mengusut kasus lain terkait dengan Adelin dinantikan.
Oleh
KURNIA RAHAYU, DIAN DEWI PURNAMASARI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah buron selama 13 tahun, Adelin Lis yang adalah terpidana perkara pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara, akhirnya dipulangkan ke Tanah Air pada Sabtu (19/6/2021). Selain mengeksekusi putusan Mahkamah Agung, juga ditunggu upaya Kejaksaan untuk mengusut pelanggaran hukum lain yang dilakukan Adelin.
Salah satu kasus itu ialah pemalsuan identitas oleh Adelin hingga dia dapat memperoleh paspor atas nama Hendro Leonardi. Untuk mendapatkan paspor, tentu Adelin harus menyerahkan sejumlah dokumen, seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat penetapan ganti nama.
Pemalsuan identitas seperti yang dilakukan Adelin ditengarai bukan kasus pertama. Karena itu, integrasi data imigrasi serta lembaga lain juga perlu diperkuat dan diaudit.
Adelin dipulangkan ke Indonesia melalui proses deportasi oleh otoritas Singapura. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam jumpa pers, Sabtu malam, mengatakan, Adelin dipulangkan ke Indonesia dengan pesawat komersial Garuda Indonesia GA 837. ”Yang bersangkutan di Singapura ditangkap dengan menggunakan paspor palsu atas nama Hendro Leonardi,” kata Burhanuddin.
Ia mengatakan, pemulangan berhasil dilakukan berkat dukungan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura dan Kementerian Luar Negeri. Kedua institusi aktif berkomunikasi dengan otoritas Singapura untuk memulangkan Adelin Lis.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menambahkan, Adelin diperlakukan sebagai buron berisiko tinggi. Saat memasuki bandara, ia dikawal empat polisi Singapura. Di dalam pesawat, Adelin duduk di kursi nomor 57 T dan dikawal oleh dua petugas Kejagung yang duduk di kursi 57 G dan 57 F. Pesawat berangkat pada pukul 17.40 WIB atau 18.40 waktu Singapura dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 19.56.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, Adelin dibawa ke Gedung Kejagung, Jakarta. Rombongan yang terdiri lebih dari lima mobil itu sampai di Kejagung pukul 20.50. Adelin yang mengenakan celana jins dan kemeja biru berbalut rompi tahanan turun dari mobil dengan dikawal sejumlah petugas bersenjata laras panjang. Pengusaha kayu itu diperlihatkan dalam jumpa pers Kejagung. Namun, ia tak menjawab pertanyaan atau merespons panggilan wartawan.
Karantina
Leonard memaparkan, untuk keperluan kesehatan, Adelin akan dikarantina selama 14 hari di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung sebelum dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan (lapas). Lapas yang dituju belum diputuskan karena harus berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Meski tengah menjalani karantina kesehatan, kata Leonard, hukuman penjara untuk Adelin sudah dimulai sejak Sabtu kemarin. Adapun eksekusi denda akan dilakukan setelah karantina usai.
Adelin Lis merupakan pemilik PT Keang Nam Development Indonesia, pelaku pembalakan liar di hutan Mandailing Natal yang merugikan negara Rp 227 triliun. Sejak Maret 2006, ia ditetapkan sebagai buron Polda Sumut dan kemudian tertangkap saat melakukan perpanjangan paspor di Beijing, China, akhir 2006.
Adelin didakwa melakukan pembalakan liar, tetapi kemudian diputus bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Arwan Bryn pada 5 November 2007. Sejak saat itu Adelin tak diketahui keberadaannya.
Namun, di tingkat kasasi, majelis hakim agung, yang terdiri dari Bagir Manan (ketua majelis), Djoko Sarwoko, Artidjo Alkostar, Harifin A Tumpa, dan Mansyur Kartayasa, memutus Adelin bersalah. Ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, kewajiban negara tidak hanya mengeksekusi putusan MA. Negara melalui Kejagung juga harus memproses hukum dugaan pelanggaran lain yang dilakukan Adelin selama 13 tahun buron.
Perbuatan melawan hukum yang jelas dilakukan adalah memalsukan identitas sehingga bisa mengantongi paspor atas nama Hendro Leonardi. ”Ini bisa dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berlapis karena dia memalsukan dokumen dan memakai dokumen yang tidak berhak dia gunakan,” kata Sigit.
Adelin ditangkap Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) Singapura pada 28 Mei 2018 atas dugaan penggunaan paspor dengan identitas palsu. Dengan menggunakan paspor itu pula, Adelin empat kali memasuki Singapura sepanjang 2017-2018. Akibat perbuatannya, pada 9 Juni, pengadilan Singapura menjatuhi hukuman denda 14.000 dollar Singapura dan deportasi.
Pengadilan baru menetapkan vonis setelah tiga tahun penangkapan lantaran menunggu klarifikasi dari Pemerintah Indonesia. ICA baru menerima klarifikasi pada Maret 2021 setelah empat kali berkirim surat sejak 2018. Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham menyampaikan bahwa Hendro dan Adelin merupakan orang yang sama.
Audit menyeluruh
Sigit mendorong agar kejanggalan dalam proses penerbitan paspor atas nama Hendro diusut tuntas. Audit menyeluruh sistem keimigrasian juga penting dilakukan. ”Harus ditelusuri, apakah ada pemalsuan dokumen yang dilakukan terpidana atau ada andil dari oknum petugas keimigrasian saat proses pembuatan dokumen?” tuturnya.
Bahkan, kata Sigit, audit juga harus dilakukan pada otoritas yang berwenang menerbitkan dokumen administrasi kependudukan. Sebab, sebelum memproses permohonan pembuatan paspor, Adelin sudah mengantongi persyaratan, seperti KTP.
Apalagi, pelanggaran semacam itu tidak hanya sekali terjadi. Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko S Tjandra, juga bisa keluar masuk Indonesia. Joko juga dilayani saat membuat KTP secara cepat di kantor kelurahan.