Imigrasi Singapura Diduga Sudah Minta Konfirmasi Status Adelin Lis sejak 2018
Dari 2018 hingga 2021, Imigrasi Singapura empat kali bersurat ke KBRI Singapura meminta klarifikasi identitas Adelin Lis, buronan yang kabur 13 tahun lalu. Kejagung baru mengetahui Adelin di Singapura pada Maret 2021.
JAKARTA, KOMPAS —Informasi mengenai penangkapan buronan kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Adelin Lis, oleh Imigrasi Singapura di Bandara Changi diduga sudah pernah disampaikan kepada otoritas Indonesia sejak tahun 2018. Dalam kurun waktu 2018 hingga 2021, Imigrasi Singapura empat kali mengirim surat ke KBRI di Singapura.
Dari dokumen yang diterima Kompas, Otoritas Keimigrasian Singapura (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada otoritas berwenang di KBRI di Singapura sebanyak empat kali, yakni pada 12 Juni 2018, 19 November 2018, 3 Juli 2019, dan terakhir 4 Maret 2021. Surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai dua nama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi.
Pada surat tertanggal 12 Juni 2018 dengan nomor referensi D/0002284/18, ICA menjelaskan bahwa Adelin Lis diproses hukum di Singapura karena memberi pernyataan bohong saat mengisi formulir disembarkasi ketika masuk Singapura dengan paspor atas nama Hendro Leonardi dengan nomor paspor B7348735 yang diterbitkan Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Selatan tahun 2017.
Dalam surat itu disebutkan bahwa saat ditanya, ia mengklaim nama sebenarnya adalah Adelin Lis yang mendapat identitas Hendro Leonardi pada tahun 2008. Di surat ICA disebutkan pula bahwa ia merupakan buronan Indonesia sejak 19 November 2007.
Di surat yang sama, ICA meminta klarifikasi apakah Adelin dan Hendro merupakan orang yang sama; mana identitas yang sebenarnya; dan apakah paspor B 7348735 itu sah dikeluarkan oleh otoritas di Indonesia. Surat pada November 2018 dan Juli 2019 juga menanyakan hal yang sama dengan merujuk pada surat yang lebih dahulu dikirimkan.
Pada 4 Maret 2021, ICA kembali mengirim surat dengan referensi D/002284/18 yang diserahkan by-hand ditujukan kepada Atase Imigrasi KBRI Singapura. Isinya merujuk pada tiga surat terdahulu. Menanyakan tiga hal yang sama diajukan di surat terdahulu. Selain itu, ICA juga menjelaskan Adelin Lis yang disebut bekas permanent resident Singapura sedang menjalani persidangan dengan sidang berikutnya pada 15 Maret 2021.
Disebutkan pula setelah persidangan selesai, ia akan direpatriasi atas nama Adelin Lis. Di surat disebutkan, dalam sidang sebelumnya, kuasa hukum Adelin melampirkan surat yang dikeluarkan Ditjen Imigrasi tertanggal 25 Juli 2018 yang menyebut bahwa paspor atas nama Hendro Leonardi benar dikeluarkan Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Selatan pada 19 Juli 2017, tercatat dan tidak bermasalah.
ICA meminta ada klarifikasi hal-hal terkait identitas Adelin dan keaslian paspor atas nama Hendro yang paling lambat ditunggu hingga 10 Maret 2021. Tanpa surat balasan, ICA akan menyampaikan kepada Attorney-General’s Chambers bahwa mereka tidak bisa membuktikan bahwa Adelin Lis bukanlah pemilik sah dari paspor atas nama Hendro Leonardi.
Pada 4 Maret 2021, KBRI Singapura kemudian meneruskan surat ICA tersebut ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, Ditjen Imigrasi membalas surat tersebut pada 10 Maret 2021. Ditjen Imigrasi menyebutkan, antara lain, tidak pernah mengeluarkan surat tertanggal 25 Juli 2018 yang dimaksud oleh kuasa hukum Adelin dalam persidangan.
Dikonfirmasi mengenai kronologi permintaan konfirmasi identitas Adelin Lis dan paspor Hendro Leonardi, Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan HAM Tubagus Erif Faturahman, Kamis (17/6/2021), menyampaikan, staf imigrasi sedang membuat kronologi terkait paspor Adelin Lis.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arya Pradhana Anggakara mengatakan, ia memerlukan waktu untuk melakukan konfirmasi terkait paspor Adelin Lis.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam jumpa pers, Kamis (17/6/2021), di Jakarta, menyatakan, Adelin ditangkap pihak imigrasi Singapura pada 2018. Kemudian, baru pada 4 Maret 2021, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura menerima surat dari ICA yang berisikan permintaan verifikasi atas identitas sebenarnya dari Adelin Lis.
”Karena ICA mendeteksi dan melakukan penangkapan terhadap yang bersangkutan di Bandara Changi, ditemukan identitas yang sama dengan identitas Adelin Lis,” terang Leonard.
Terkait dengan adanya surat dari otoritas imigrasi Singapura yang ditujukan kepada KBRI pada 2018 sampai 2021, Leonard menyatakan, penangkapan Adelin baru diketahui setelah ada surat dari ICA kepada KBRI pada 4 Maret 2021.
”Mengenai 2018 sampai sekarang, kita baru, sebagaimana tadi saya katakan, tanggal 4 maret, KBRI Singapura baru mendapatkan surat dari ICA. Dan dari saat itu kita melakukan proses. Ini proses di sistem peradilan Singapura. Memang cukup lama,” kata Leonard.
Leonard menyampaikan, pemulangan Adelin dilakukan seiring persidangannya. Persidangan terhadap Adelin pertama dilakukan pada 15 Maret 2021. Pada persidangan tersebut, jaksa penuntut umum meminta sidang ditunda menjadi 27 April 2021 untuk mempelajari terlebih dahulu surat dari KBRI Singapura ke ICA.
Pada 27 April sidang dilanjutkan. Pada sidang tersebut, Adelin Lis mengaku bersalah atas dakwaan pelanggaran keimigrasian. Pada 4 Juni lalu, Duta Besar RI untuk Singapura bersurat kepada Jaksa Agung terkait perencanaan pemulangan Adelin Lis ke Indonesia.
Skenario pemulangan
Skenario pemulangan Adelin Lis ada dua, yakni melakukan penjemputan dengan pesawat sewa atau pengembalian melalui pesawat komersial, yakni Garuda Indonesia. Waktu penjemputan diperkirakan pada 14-20 Juni 2021. Namun, hingga saat ini hal tersebut belum ada konfirmasi pasti.
Menurut Leonard, Jaksa Agung telah berkirim surat kepada Dubes Indonesia untuk Singapura pada 16 Juni yang menyatakan Adelin Lis adalah buronan kejaksaan berisiko tinggi. Jaksa Agung juga meminta agar Adelin dipulangkan ke Jakarta melalui sarana transportasi yang aman, yakni pesawat sewa atau Garuda Indonesia.
”Sebagai langkah melaksanakan kedaulatan hukum Indonesia, Jaksa Agung juga meminta KBRI agar surat perjalanan laksana paspor atau SPLP itu tidak diserahkan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan atau otoritas pihak imigrasi di Singapura sebelum mendapat kepastian dan jaminan keamanan terhadap penjemputan terpidana yang berisiko tinggi tersebut,” tutur Leonard.
Hingga saat ini, lanjut Leonard, pihaknya tetap berkoordinasi dengan otoritas terkait agar pesawat yang disewa Pemerintah Indonesia diizinkan mendarat di Singapura. Selain itu, kejaksaan terus berkomunikasi dengan KBRI di Singapura untuk menahan SPLP agar Adelin Lis tidak terbang ke mana pun dengan pesawat lain, kecuali pesawat yang dioperasikan Garuda Indonesia.
Deportasi
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana berpandangan, yang terjadi pada Adelin Lis adalah proses deportasi, bukan ekstradisi. Deportasi dilakukan karena Adelin Lis, oleh otoritas Singapura, dianggap melanggar hukum keimigrasian setempat yang telah diputus bersalah pada 9 Juni 2021.
Dalam konteks tersebut, lanjut Hikmahanto, dikembalikannya Adelin Lis bukan karena kejahatan yang dilakukan di Indonesia. Demikian pula ketika terdapat permintaan dari keluarga Adelin Lis agar Adelin dipulangkan oleh pihak keluarga juga harus ditolak.
”Benar yang disampaikan oleh Jaksa Agung agar Adelin Lis dipulangkan oleh Kejaksaan Agung untuk mencegah Adelin Lis tidak menuju Indonesia, malah ke negara lain dengan pesawat yang mungkin disewa oleh keluarga. Memang Kejagung mungkin harus menyewa pesawat komersial, tetapi ini penting dilakukan untuk memastikan kepulangan Adelin Lis ke Indonesia,” kata Hikmahanto.
Berbeda dengan proses ekstradisi yang mana buron dalam keadaan diborgol dalam proses penyerahan, dalam proses ekstradisi yang bersangkutan tidak dalam keadaan diborgol. Adelin kemudian diborgol ketika pesawat sudah memasuki wilayah udara Indonesia.
Jika akhirnya otoritas Singapura tak mengizinkan pesawat sewa dari Indonesia mendarat, Adelin tetap dapat dipulangkan dengan pesawat komersial. Di pesawat, aparat dari kejaksaan dapat ikut duduk sebagai penumpang. Setelah pesawat memasuki wilayah udara Indonesia, baru aparat kejaksaan melaksanakan tugas menangkap dan memborgol Adelin Lis sampai ke Jakarta.
Mahkamah Agung (MA) menghukum Adelin Lis selama 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS. Namun, kejaksaan kesulitan mengeksekusi terdakwa kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumut, itu, karena tak diketahui keberadaannya.
Sebelumnya, Maret 2006, Adelin dinyatakan buron oleh Polda Sumut. Pemilik PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam Development Indonesia itu diduga melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal. Ia tertangkap di Beijing, China, akhir tahun 2006, saat akan memperpanjang paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing. Namun, Pengadilan Negeri Medan akhirnya membebaskannya (Kompas, 7/11/2007). Sejak itu, Adelin tidak diketahui lagi keberadaannya.