KPK Dibutuhkan untuk Mengungkap Korupsi di Daerah
LBH seluruh Indonesia mengharapkan KPK dapat diperkuat sehingga dapat menuntaskan korupsi di daerah. Oleh karena itu, KPK tidak boleh diperlemah melalui tes wawasan kebangsaan.
JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak dugaan korupsi politik, lingkungan, hingga dana penanganan Covid-19 di daerah yang menjadi temuan Lembaga Bantuan Hukum di seluruh Indonesia. Mereka berharap Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengungkap kasus tersebut. KPK tidak boleh diperlemah melalui tes wawasan kebangsaan atau TWK.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”LBH se-Indonesia Melawan Pelemahan KPK” yang diselenggarakan secara daring, Minggu (13/6/2021). Dalam diskusi itu hadir perwakilan LBH seluruh Indonesia di antaranya dari LBH Palangkaraya, LBH Manado, LBH Bandar Lampung, LBH Aceh, LBH Medan, LBH Makassar, LBH Padang, LBH Samarinda, LBH Surabaya, LBH Jakarta, LBH Bandung, dan LBH Yogyakarta.
Mereka menyampaikan tentang banyaknya dugaan korupsi di daerah. Mulai dari korupsi izin tambang, pengelolaan dana Covid-19, hingga dana otonomi khusus. Dengan kompleksitas masalah di daerah itu, mereka berharap KPK diperkuat. Namun, justru yang dilakukan pimpinan KPK saat ini adalah upaya memperlemah KPK. Caranya dengan memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK. Padahal, dalam penyelenggaraannya, TWK diskriminatif dan diduga melanggar HAM. Saat ini, dugaan pelanggaran itu sedang diperiksa oleh Komnas HAM dan Ombudsman RI.
Direktur LBH Padang, Sumatera Barat, Indira Suryani menyampaikan, saat ini isu dugaan korupsi yang mengemuka di Sumbar adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai dugaan korupsi dana pengadaan cairan penyanitasi tangan (hand sanitizer) senilai Rp 4,9 miliar. Ada 11 perusahaan abal-abal yang dibentuk untuk proses pengadaan mulai dari cairan basuh tangan, baju hazmat, dan masker medis. DPRD Sumbar bahkan membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas isu tersebut. Belakangan, dugaannya, nilai kerugian negara dalam proyek pengadaan itu bertambah lagi senilai Rp 7,6 miliar.
”Kasus ini ditangani oleh Polda Sumbar. Namun, penyidik seolah galau dengan nilai korupsinya karena pemda mengklaim kerugian senilai Rp 4,9 miliar sudah dikembalikan. Kami khawatir kasus ini akan menguap jika bukan KPK yang menyelidiki,” kata Indira.
Baca juga: Terkait TWK, KPK Berikan Klarifikasi dan Keterangan kepada Ombudsman
Indira menyebutkan, dalam berbagai dugaan korupsi di daerah, temuan di lapangan sudah sering dilaporkan ke Kejaksaan Negeri. Ketika ada dugaan korupsi bantuan beras miskin (raskin), misalnya, hingga pembangunan dana nagari (desa). Namun, respons dari Kejari dinilai lambat. Setelah dilaporkan, kasus hanya menguap tanpa ada perkembangan penyidikannya. Sehingga masyarakat daerah sebenarnya sangat berharap terhadap KPK. KPK masih dipercaya sebagai lembaga yang paling kompeten dalam pemberantasan korupsi.
”Sekarang, KPK kian diperlemah dengan revisi UU baru. KPK akan tebang pilih kasus sehingga para koruptor akan berpesta pora. Khususnya, di dana penanganan Covid-19 ini yang luar biasa besarnya, sangat berpotensi menjadi bancakan politik,” kata Indira.
Direktur LBH Palangkarya, Kalimantan Tengah, Aryo Nugroho menambahkan, dalam hal penuntasan kasus korupsi, KPK masih memiliki utang penuntasan dugaan korupsi penerbitan izin pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi.
Direktur LBH Palangkarya, Kalimantan Tengah, Aryo Nugroho menambahkan, dalam hal penuntasan kasus korupsi, KPK masih memiliki utang penuntasan dugaan korupsi penerbitan izin pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi. Supian ditetapkan sebagai tersangka korupsi sejak 2019. Korupsi penerbitan IUP tiga perusahaan diduga merugikan negara mencapai Rp 5,8 triliun. Namun, sampai saat ini, status penyidikan kasus itu belum dinaikkan.
”KPK yang dulu masih kuat, belum ada revisi UU KPK, saja belum bisa menuntaskan dugaan korupsi tambang di Kalteng. Apalagi KPK yang sekarang,” kata Aryo.
Baca juga: Usman Hamid: Pemecatan Pegawai KPK Pelanggaran HAM Berat
Aryo mengatakan, jika KPK bisa konsern mengungkap korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) dan lingkungan, KPK sebenarnya bisa menyentuh praktik oligarki. Menurut dia, di daerah, para oligarki bersekongkol dengan para pengusaha untuk mengeruk SDA daerah. Mereka bermain dengan pejabat daerah untuk mengurus izin-izin tambang dan minerba.
”Apa yang terjadi pada KPK hari ini sangat miris. Pengungkapan korupsi dan penyelamatan lingkungan menjadi semakin berat. Padahal, sebenarnya KPK sudah memberi perhatian pada gerakan penyelamatan SDA dengan membentuk tim sawit dan tim minerba,” terang Aryo.
Terus berjuang
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, para pegawai KPK yang diberhentikan melalui TWK, kini terus berjuang mencari keadilan. Mereka melaporkan dugaan malaadministrasi dan pelanggaran HAM ke Ombudsman RI dan Komnas HAM. Mereka menilai, TWK tidak ada dasar hukumnya baik di UU 19 Tahun 2019 tentang KPK, maupun peraturan pemerintah turunannya. TWK hanya diatur di Peraturan KPK. Tindakan Ketua KPK Firli Bahuri, yang mengatur bahwa TWK menjadi syarat alih fungsi status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) dinilai melanggar konstitusi. Sebab, dalam putusan MK uji materi UU KPK, Mahkamah Konstitusi menyebut bahwa alih status pegawai itu tidak boleh merugikan pegawai lama KPK.
”Orang tidak bisa diadili dari pikirannya, kecuali dia sudah melakukan tindakan nyata. Ukuran yang dipakai dalam TWK ini absurd dan menjadi alat bagi penguasa untuk menstigmatisasi sesorang. Ini mirip dengan penelitian khusus (litsus) orde baru,” kata Asfinawati.
Baca juga: Tjahjo Kumolo Dukung KPK Tolak Panggilan Komnas HAM
Asfinawati menambahkan, saat ini, Komnas HAM masih terus menyelidiki dugaan pelanggaran HAM TWK. Pada hari Senin (14/6/2021), dijadwalkan sejumlah guru besar akan memberikan pandangan kepada Komnas HAM. Selain itu, Komnas HAM juga masih menunggu pimpinan KPK untuk memberikan keterangan. Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga melaporkan Firli Bahuri kepada Kapolri terkait dengan dugaan pelanggaran etik. Kapolri diharapkan dapat menarik kembali Firli jika terbukti melakukan pelanggaran etik.
”Semoga seluruh proses hukum ini akan membuahkan hasil dan tidak ada lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengoreksi proses TWK masuk angin,” kata Asfinawati.
Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Hotman Tambunan menyatakan, jawaban yang diberikan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) terhadap permintaan pegawai KPK untuk meminta keterbukaan hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dinilai aneh.
Janggal
Sementara itu, Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi Hotman Tambunan menyatakan, jawaban yang diberikan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) terhadap permintaan pegawai KPK untuk meminta keterbukaan hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dinilai aneh. Dari surat jawaban yang diberikan, PPID KPK mengatakan masih melakukan koordinasi dengan pihak Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk pemenuhan informasi tersebut.
Kemudian PPID KPK juga mengutip Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa badan publik wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon informasi paling lambat 10 hari kerja. PPID KPK juga menyatakan, badan publik yang bersangkutan dapat memperpanjang waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku paling lambat 7 hari kerja berikutnya dengan memberikan alasan secara tertulis.
Sebelumnya, para pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat setelah asesmen TWK meminta informasi hasil tes kepada PPID KPK. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Pasal 17 huruf h dan Pasal 18 Ayat (2) huruf a, pemilik hasil berhak meminta hasil dengan memberi persetujuan tertulis.
Dua pegawai yang pertama meminta keterbukaan hasil adalah Iguh Sipurba dan Hotman Tambunan yang mengirimkan permintaan keterbukaan informasi sejak 31 Mei 2021. Adapun PPID Komisi Pemberantasan Korupsi telah membalas permintaan informasi pada Jumat, 11 Juni 2021.
Menurut Iguh, jawaban PPID dinilai aneh karena serah terima hasil TWK dari BKN kepada KPK sudah dilakukan sejak 27 April 2021. Itu berarti hasil TWK seluruh pegawai telah berada di KPK. Terlebih, saat itu Ketua KPK Komisaris Jenderal Firli Bahuri menyatakan seluruh hasil tes pegawai KPK berada di lemari besi yang ada di KPK.
Menurut Hotman, pernyataan PPID KPK untuk berkoordinasi dengan pihak BKN tersebut merupakan siasat untuk menghindari penyampaian hasil secara transparan. Padahal, hasil tersebut merupakan hak bagi pihak yang diasesmen TWK.
”Kami akan terus menuntut keterbukaan data dan informasi sesuai jalur yang disediakan hukum dan aturan perundangan yang berlaku,” kata Hotman.