Pengaduan Gratifikasi Firli Bahuri Kandas, ICW Minta Polri Profesional
Bareskrim Polri memutuskan untuk tidak menindaklanjuti pengaduan ICW mengenai dugaan penerimaan gratifikasi oleh Ketua KPK Firli Bahuri. ICW mempertanyakan keputusan tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Reserse Kriminal Polri memutuskan untuk tidak menindaklanjuti pengaduan Indonesia Corruption Watch mengenai dugaan penerimaan gratifikasi oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Keputusan itu pun dipertanyakan, karena pengaduan telah disertai dengan bukti terkait dugaan tindak pidana.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono di Jakarta, Selasa (8/6/2021), menjelaskan, pengaduan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang dugaan penerimaan gratifikasi oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri diserahkan kepada Dewan Pengawas KPK. Keputusan itu diambil karena perkara tersebut pernah diselesaikan secara internal melalui sidang etik Dewan Pengawas KPK.
“Kami menghargai apa yang telah dilakukan di internal KPK. Tentunya itu proses yang dilakukan secara cermat oleh Dewan Pengawas KPK untuk masalah itu,” kata Rusdi.
Sebelumnya, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan hal serupa. Menurut dia, persoalan internal KPK jangan ditarik ke Polri. Pihaknya tengah fokus pada penanganan dampak kesehatan dan pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19.
Dikonfirmasi terpisah, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mempertanyakan keputusan Bareskrim Polri. Menurut dia, ranah kewenangan Dewan Pengawas KPK terkait dengan pelanggaran kode etik. Berbeda halnya dengan kepolisian yang menangani dugaan tindak pidana. “Laporan kami terkait dengan indikasi tindak pidana,” kata Adnan.
Pernyataan Bareskrim Polri yang menolak dan mengembalikan pengaduan tersebut kepada Dewan Pengawas KPK juga dinilai terlalu terburu-buru. Bahkan, belum ada pemeriksaan awal terhadap dokumen yang diberikan ICW. “Kami sebagai pelapor pun belum dimintai keterangan,” ujar Adnan.
Menurut dia, hal ini menimbulkan kecurigaan tentang motif penolakan dari Bareskrim Polri. Laporan indikasi tindak pidana semestinya tidak boleh ditolak. Laporan hanya bisa tidak ditindaklanjuti jika bukti yang disertakan lemah.
“Kami menuntut Kabareskrim untuk bertindak profesional, laporan dari masyarakat atas indikasi tindak pidana justru harus jadi perhatian serius dalam upaya menjaga tertib sosial,” kata Adnan.
Profesionalisme yang dimaksud adalah mengenyampingkan berbagai faktor subjektif, termasuk karena Firli Bahuri yang diadukan masih merupakan anggota polisi aktif. "Kabareskrim saat ini (seharusnya) hanya memiliki dua pilihan, melanjutkan laporan ini karena indikasi pidananya kuat, atau meminta data tambahan dari pelapor untuk memperkuat indikasi tindak pidana," kata dia.
Pekan lalu, ICW mengadukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk diskon penyewaan helikopter oleh Ketua KPK Firli Bahuri. ICW mendapatkan perbandingan harga dari penyedia jasa penerbangan lain yang menunjukkan bahwa diskon yang didapatkan Firli terlalu jauh dari harga umum.
Dugaan penerimaan gratifikasi yang dimaksud terjadi pada Juni 2020. Saat itu, Firli menyewa helikopter untuk perjalanan pribadi dari Palembang, Sumatera Selatan menuju Baturaja, Lampung, selama empat jam.
Pada September 2020, Masyarakat Antikorupsi Indonesia melaporkan hal itu pada Dewan Pengawas KPK sebagai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK, yaitu bergaya hidup mewah. Pada bulan yang sama, Dewan Pengawas KPK melalui sidang etik memutuskan Firli melanggar kode etik dan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis.