Diduga Terima Gratifikasi, Ketua KPK Diadukan ke Polisi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri melakukan perjalanan dengan menggunakan helikopter pada Juni 2020. Pimpinan lembaga antirasuah itu diduga menerima gratifikasi berupa potongan harga sewa helikopter.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch atau ICW mengadukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk diskon penyewaan helikopter oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI, Kamis (3/6/2021). ICW mendapatkan perbandingan harga dari penyedia jasa penerbangan lain yang menunjukkan bahwa diskon yang didapatkan Firli terlalu jauh dari harga umum.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, di Jakarta, Kamis, mengatakan telah mengadukan dugaan penerimaan gratifikasi oleh Firli ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri. Pengaduan tersebut diterima oleh petugas bernama M Rendy.
Dugaan penerimaan gratifikasi yang dimaksud terjadi pada Juni 2020. Saat itu, Firli menyewa helikopter untuk perjalanan pribadi dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Baturaja, Lampung, selama empat jam.
Pada September 2020, Masyarakat Antikorupsi Indonesia melaporkan hal itu pada Dewan Pengawas KPK sebagai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK, yaitu bergaya hidup mewah. Pada bulan yang sama, Dewan Pengawas KPK melalui sidang etik memutuskan Firli melanggar kode etik dan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis.
Wana meragukan keterangan Firli dalam sidang etik tersebut. Saat itu, Firli mengaku menyewa helikopter dengan biaya Rp 7 juta per jam, belum termasuk pajak. Oleh karena itu, untuk penyewaan selama empat jam, Firli membayar Rp 30,8 juta kepada penyedia helikopter, yaitu PT Air Pasifik Utama (APU).
”Kami mendapatkan informasi dari penyedia jasa lain bahwa harga sewa helikopter adalah 2.750 dollar AS atau sekitar Rp 39,1 juta per jam,” kata Wana.
Informasi yang dimaksud didapatkan dari korespondensi terhadap sembilan penyedia jasa penyewaan helikopter yang ada di Indonesia. Helikopter yang mereka sewakan spesifikasinya serupa dengan helikopter berkode PK-JTO yang disewa Firli. Dari sembilan penyedia, hanya satu yang memberikan keterangan kepada ICW.
Menurut Wana, dengan asumsi harga sewa helikopter Rp 39,1 juta, maka semestinya biaya sewa untuk empat jam mencapai Rp 172,3 juta. Sementara biaya yang dibayarkan Firli jauh lebih rendah. Selisihnya mencapai Rp 141,5 juta.
”Selisih harga sewa sekitar Rp 141,5 juta itu yang kami duga sebagai penerimaan gratifikasi dalam bentuk diskon yang diterima oleh Firli,” tegas Wana.
Selain itu, ICW juga menelusuri dokumen kepemilikan PT APU. Salah satu komisaris perusahaan tersebut merupakan salah satu saksi dalam kasus suap perizinan pembangunan apartemen Meikarta, Bekasi, Jawa Barat, yang melibatkan mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin pada 2018. Perkara suap itu merupakan salah satu kasus yang ditangani Firli ketika masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.
”Sebagai bukti, kami menyerahkan hasil korespondensi dengan penyedia jasa penyewaan helikopter dan dokumen akta PT APU kepada Dirtipikor Bareskrim Polri,” kata Wana.
Ia menambahkan, ICW akan proaktif menanyakan tindak lanjut pengaduan ini. Jika pengaduan ditolak Bareskrim, pihaknya akan melapor ke penegak hukum lain, yaitu Kejaksaan Agung.
Kompas berusaha meminta tanggapan Firli Bahuri melalui pesan singkat atas pengaduan terhadap dirinya. Namun, hingga kini Firli tidak menjawabnya.