Menkumham: Pasal di UU ITE Jangan Karet, Jangan Multitafsir
Pemerintah serius ingin merevisi sejumlah pasal yang multitafsir di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menkumham Yasonna Laoly kembali menegaskan keseriusan itu saat rapat dengan Komisi III DPR.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Pemerintah serius ingin merevisi sejumlah pasal yang multitafsir di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Setelah sikap resmi pemerintah itu diumumkan, Selasa (8/6/2021), Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly juga menyampaikan rencana revisi terbatas itu dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/6/2021). Masyarakat sipil mengingatkan agar revisi terbatas itu tidak menambah masalah baru.
Dalam rapat kerja itu, Yasonna mengatakan, pemerintah serius akan melakukan revisi terbatas terhadap sejumlah pasal yang multitafsir di UU ITE. Pasal yang akan direvisi itu, antara lain, adalah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36.
Pasal 28 mengatur penyebaran berita bohong serta ujaran kebencian dan permusuhan. Pasal 29 mengatur ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Adapun, Pasal 36 mengatur perbuatan melawan hukum pada Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Selain merevisi keempat pasal tersebut, pemerintah juga akan menambahkan satu pasal, yakni Pasal 45C. Pasal ini akan mengatur penjelasan mengenai tindak pidana yang diatur di luar ketentuan UU ITE.
”Revisi terbatas UU ITE itu akan kami lakukan. Pemerintah sudah tegaskan supaya pasal itu jangan karet, pasal akan dipertegas supaya tidak multitafsir,” kata Yasonna dalam rapat yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Yasonna menjelaskan, pasal direvisi secara terbatas karena pemerintah berpendapat UU ITE masih diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi dunia digital. Dengan perkembangan pesat dunia digital, terutama media sosial, sejumlah negara dinilai telah merasakan pengaruh negatifnya. Dia menyebut media sosial terkadang lebih brutal daripada dunia nyata sehingga masih dibutuhkan regulasi untuk mengaturnya.
”Kami berharap revisi terbatas ini bisa dilakukan dengan baik,” kata Yasonna.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Habiburokhman mengatakan, revisi terbatas UU ITE diharapkan dapat menghentikan kriminalisasi terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah.
Selama ini, dengan penerapan pasal karet UU ITE, orang dengan pandangan politik berbeda kerap mendapat ancaman hukuman dengan pasal-pasal tersebut. Revisi terbatas yang saat ini digagas oleh pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan masalah itu secara komprehensif.
”Saya berharap tidak hanya UU ITE yang jadi perhatian, tetapi juga UU No 1/1946 karena itu banyak digunakan untuk kriminalisasi kelompok berseberangan dengan pemerintah. Kami mendorong supaya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa didorong untuk segera disahkan agar setengah beban kita terhadap ancaman pasal-pasal karet ini bisa dihilangkan,” terang Habiburokhman.
Sebelumnya, dalam konferensi pers dengan wartawan, Ketua Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo mengatakan, tim merekomendasikan agar empat pasal karet UU ITE, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36, direvisi. Pasal 36, misalnya, mengatur hukuman pidana yang lebih berat, apabila tindak pidana yang diatur di Pasal 27-Pasal 34 yang menimbulkan kerugian bagi korban. Ancaman pidana yang diatur menjadi lebih berat, yaitu maksimal 12 tahun penjara.
”Di dalam ketentuan Pasal 36 UU ITE tidak pernah dijelaskan apa yang dimaksud dengan kerugian korban itu. Ini menyebabkan multitafsir penerapan di lapangan dan sangat subyektif. Dalam revisi ini, akan kami jelaskan kerugian yang dimaksud itu seperti apa,” kata Sugeng.
Adapun, untuk ketentuan di pasal 27, 28, dan 29 akan direformulasi dengan penjelasan mengenai unsur-unsur perbuatan yang dilarang sehingga menjadi lebih tegas. Salah satu pertimbangannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebenarnya telah mengubah atau membatalkan sumber yang dirujuk di pasal itu, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Saat ditanya mengenai detail bunyi pasal yang akan direvisi, anggota Staf Khusus Bidang Media Menko Polhukam itu mengatakan, hal tersebut akan dijelaskan dalam konferensi pers pada Jumat (11/6/2021). Menurut rencana, Kemenko Polhukam akan memberi penjelasan bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga Polri.
Sebelumnya, Mahfud MD mengatakan, pasal-pasal karet yang akan direvisi itu sedang disinkronisasi dan diharmonisasi di Kemenkumham. Nantinya, Kemenkumham pula yang akan menjadi leading sector proses legislasi di DPR melalui mekanisme perubahan program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.
Multitafsir
Terkait dengan rencana pemerintah menambah satu pasal baru di UU ITE, yaitu pasal 45 C, peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, khawatir hal itu justru akan menambah masalah baru.
Menurut Hemi, apabila Pasal 45 C itu akan menjelaskan pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran, justru akan menambah multitafsir aturan. Sebab, sumber yang dirujuk dalam aturan itu adalah Pasal No 14 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang sudah tidak relevan dalam perkembangan hukum dan zaman.
”Pasal baru yang akan menjelaskan tentang keonaran ini dikhawatirkan justru akan mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia atau digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang. Sebab, frasa dapat menyebabkan keonaran itu bisa ditafsirkan bebas oleh pelapor dan penegak hukum,” kata Hemi.
Kepala Departemen Hukum Telekomunikasi, Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual (TIK-KI) Universitas Padjadjaran Sinta Dewi Rosadi berpendapat, pemerintah harus lebih transparan mengenai naskah akademik dan draf revisi UU ITE. Sebab, menurut dia, revisi empat pasal karet itu sudah dilakukan pada tahun 2016. Namun, permasalahan multitafsir pasal karet oleh aparat penegak hukum tetap berulang.
Selain itu, Sinta mengamini bahwa delik pidana yang diatur dalam Pasal 27 memang terlalu luas dan tegas. Demi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, draf revisi UU ITE harus ditinjau ulang secara lebih komprehensif.
”Masyarakat Indonesia ini unik karena memang literasi digitalnya kurang baik sehingga aktivitas di dunia maya bisa merugikan pihak tertentu. Dengan kondisi literasi digital rendah itu, hukuman yang diterapkan seharusnya juga tidak terlalu berat,” kata Sinta.
Sinta juga sependapat dengan Habiburokhman. Menurut dia, revisi UU ITE harus dilakukan bersamaan dengan RKUHP. Sebab, pasal-pasal yang dirujuk dalam UU ITE itu bersumber dari KUHP. Apabila sumber pasal yang dirujuk diubah dengan konsep dan pemidanaan yang mengedepankan keadilan restoratif, masalah pasal-pasal karet niscaya dapat diselesaikan.
”Jangan sampai masalah revisi terbatas UU ITE ini dilihat secara parsial, tetapi harus lebih komprehensif. Pemerintah harus transparan mengenai naskah akademik dan draf revisinya,” ujar Sinta.