Penguatan Kohesi Sosial Modal Bangkit dari Kerentanan
Potret memburuknya legitimasi negara dan pelayanan publik di Indonesia terbaca dari Indeks Negara Rentan 2021. Oleh publik, dua persoalan ini juga diakui kian memburuk. Penguatan kohesi masyarakat menjadi modal bangkit.
Oleh
Gianie/Litbang Kompas
·5 menit baca
Potret memburuknya legitimasi negara dan pelayanan publik di Indonesia terbaca dari Indeks Negara Rentan 2021 yang dirilis sebuah lembaga internasional pada Mei lalu. Oleh publik, dua persoalan ini juga diakui kian memburuk. Penguatan kohesi masyarakat menjadi modal untuk bangkit dari ancaman menjadi bangsa yang rentan.
Dalam laporan Indeks Negara Rentan (Fragile State Index/FSI) 2021 yang mengukur empat aspek, yaitu kohesi, ekonomi, politik, dan sosial, Indonesia memperoleh skor 67,6 dan menempati peringkat ke-99 dari 179 negara yang dikaji. Secara umum, skor ini membaik dibandingkan tahun lalu. Bahkan, dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan perbaikan paling signifikan.
Namun, pada aspek politik, skornya memburuk dari 16 menjadi 16,9. Dalam pengukuran FSI, semakin kecil skor, maka semakin baik ketahanan suatu negara menghadapi tekanan dalam aspek-aspek yang dinilai. Penurunan skor adalah yang diharapkan. Skor total FSI Indonesia turun 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada tiga aspek lainnya, Indonesia mengalami perbaikan dengan skor yang cenderung turun, yakni aspek ekonomi dari 15,7 menjadi 15,4, aspek sosial dari 15,6 menjadi 15,3, dan kohesi dari 20,6 menjadi 20.
Aspek politik yang memburuk ini terutama dilihat dari indikator legitimasi negara dan pelayanan publik. Penilaian ini menunjukkan Indonesia mempunyai masalah yang serius dalam kedua indikator tersebut. Selain itu, meski aspek kohesi mengalami perbaikan skor, angkanya tertinggi dibandingkan tiga aspek lainnya. Dengan demikian, aspek kohesi ini sesungguhnya menjadi persoalan utama di Indonesia.
Persoalan-persoalan ini juga terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada akhir Mei lalu. Legitimasi negara dan pelayanan publik berkaitan dengan penilaian masyarakat terhadap kehadiran dan kinerja pemerintah. Dalam arti kata lain, terkait dengan sejauh mana kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap kehadiran dan pelayanan negara dirasakan oleh masyarakat. Adapun kohesi dapat digambarkan melalui ikatan sosial dan toleransi antarwarga.
Hasil jajak pendapat mengungkap, cukup banyak responden menyatakan kepercayaan terhadap pemerintah secara umum saat ini buruk. Sebanyak 14,8 persen menyatakan tetap buruk, sedangkan 23,5 persen menyatakan semakin buruk. Artinya, hampir 40 persen responden memandang hubungan pemerintah dengan masyarakat tidak dalam kondisi yang baik. Ada gejala distrust atau ketidakpercayaan di sini.
Sebanyak 17,8 persen responden pun memandang hubungan pemerintah dengan masyarakat semakin buruk. Berbagai faktor bisa menyebabkan munculnya penilaian ini. Terutama yang menyangkut pelayanan publik, kualitasnya dinilai buruk seperti yang dinyatakan oleh satu dari empat responden (25,7 persen).
Dalam lima indikator yang ditanyakan kepada publik terkait pelayanan bidang politik, responden menilai pemberantasan korupsi dan kurangnya pelibatan masyarakat dalam pembuatan undang-undang sebagai dua hal yang paling memburuk di negara ini.
Sebanyak 29,9 persen responden menyatakan kualitas pemberantasan korupsi semakin buruk dan 14,9 persen menyatakan tetap buruk. Porsi ini hanya sedikit berbeda dengan responden yang menyatakan sebaliknya, yaitu pemberantasan korupsi tetap baik dan semakin membaik (47,8 persen).
Hal yang kasatmata dilihat publik mengenai penurunan kualitas pemberantasan korupsi belakangan ini tentu terkait dinamika yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Publik mencermati perubahan-perubahan yang terjadi di KPK, mulai dari revisi Undang-Undang KPK, terpilihnya pimpinan KPK yang belakangan tersangkut masalah etik, penanganan korupsi yang bersifat tebang pilih, hingga pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara dengan instrumen tes wawasan kebangsaan yang kontroversial.
Publik memandang semua itu mengarah pada pelemahan KPK yang bisa bermuara pada semakin memburuknya independensi pemberantasan korupsi ke depan. Harapan pada tegaknya hukum dan keadilan pun pudar.
Apalagi korupsi masih mewarnai pelayanan publik di pusat dan daerah. Bahkan, terdapat pejabat negara yang terjerat korupsi terkait langsung dengan hak publik di masa pandemi, seperti bantuan sosial. Hal ini tentu menambah distrust publik kepada pemerintah.
Selain itu, kurangnya pelibatan masyarakat dalam pembuatan undang-undang dirasakan publik. Dua contoh yang menonjol adalah pembahasan revisi UU KPK yang menghasilkan UU Nomor 19 Tahun 2019 dan pembahasan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Ancaman demokrasi
Bagaimanapun, aspek pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama untuk perbaikan.
Indonesianis R William Liddle di surat kabar ini pada 19 Oktober 2019 atau sehari sebelum pelantikan periode kedua Presiden Joko Widodo mengingatkan, korupsi merupakan satu dari empat ancaman besar bagi keberhasilan demokrasi di Indonesia. Ancaman lainnya adalah radikalisme, komunisme, dan separatisme. Korupsi yang kian meluas lama-kelamaan akan menggerogoti kepercayaan warga terhadap absahnya negara demokratis. Legitimasi negara bisa merosot.
Di tengah ancaman itu, kohesi masyarakat bisa menjadi modal untuk perbaikan. Skor FSI aspek kohesi yang masih tinggi menunjukkan masih ada persoalan terkait kohesi di Indonesia, ditandai dengan masih kentalnya keterbelahan masyarakat sisa-sisa persaingan elite sejak 2017. Namun, upaya ke arah perbaikan mulai terasa.
Publik pun menilai ikatan sosial antarwarga tergolong baik (73,4 persen). Begitu juga dengan toleransi antarwarga yang kian baik (81,9 persen). Hal ini bisa menjadi modal untuk bangkit dari kerentanan, termasuk memberikan jaminan ekonomi bisa segera pulih.
Keberhasilan demokrasi memengaruhi kebangkitan ekonomi dari keterpurukan. Namun, pemulihan ekonomi tak semata dipengaruhi oleh kondisi tunggal di dalam negeri, tetapi juga oleh kondisi global. Jika Indonesia tidak berhasil mengatasi tekanan, baik dari internal maupun eksternal, bisa dipastikan tingkat kerentanan negara akan semakin tinggi.
Dari sudut pandang ekonomi global, karakter perekonomian Indonesia masuk dalam kelompok empat negara rentan (fragile four), bersama Brasil-Meksiko-Afrika Selatan, yang rawan krisis saat negara besar seperti Amerika Serikat justru pulih.
Jika aspek politik dan ekonomi memburuk dalam waktu yang bersamaan, aspek sosial pun akan terimbas. Oleh sebab itu, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat untuk memperbaiki legitimasi negara, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memberantas korupsi jika tidak ingin jatuh ke jurang kerentanan yang lebih dalam.
Sejauh ini, publik masih menganggap negara ini dijalankan dalam koridor yang benar sesuai dengan tujuan didirikannya negara Indonesia. Namun, butuh kohesi yang semakin kokoh untuk bergerak bersama-sama agar tidak menjadi negara rapuh. Semoga.