75 Pegawai KPK, Mereka Bukan Sekadar Angka
Memang 75 pegawai KPK tersebut secara statistik ”hanya” sekitar 5 persen dari keseluruhan pegawai KPK. Namun, setiap dari 75 nama itu punya cerita berbeda-beda pula. Sebab, mereka bukan sekadar angka.
Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan tak memenuhi syarat dari hasil tes wawasan kebangsaan yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Beberapa dari mereka sudah mengabdi di KPK hingga belasan tahun. Dari jumlah itu, 51 orang dinyatakan pimpinan KPK tak lagi bisa dibina sehingga tak bisa bergabung lagi di KPK. Sementara 24 orang masih bisa dibina.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut, 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan hanya sebagian kecil dari jumlah pegawai KPK secara keseluruhan, yakni 1.351 orang. ”Secara statistik, saya kira rekan-rekan sudah sangat paham 75 itu adalah 5,4 persen dari 1.351,” kata Firli seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/6/2021).
Memang 75 pegawai KPK tersebut secara statistik ”hanya” sekitar 5 persen dari keseluruhan pegawai KPK. Namun, setiap dari 75 nama itu punya cerita berbeda-beda pula. Sebab, mereka bukan sekadar angka.
Kompas mewawancarai tujuh dari 75 pegawai itu pada Jumat dan Sabtu (4-5/6/2021). Berikut bagian kecil dari wajah-wajah di balik angka 75 itu. Sosok lain dari nama-nama itu boleh jadi memiliki sisi dan cerita yang berbeda pula.
Harun Al Rasyid (45), yang posisi terakhirnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penyelidik, mulai bekerja di KPK sejak 2005. Namun, dari kata pemberantasan korupsi di lembaga itulah yang membuat dia tertarik bergabung. Ia menyadari, korupsi menjadi persoalan bangsa, bahkan sejak era Orde Lama.
Pada tahun 2018, ia sempat dijuluki ”raja” operasi tangkap tangan (OTT) oleh Ketua KPK Firli Bahuri yang waktu itu masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Pada 2018, saat KPK melakukan 29 OTT, Harun memimpin 12 penangkapan. Ia mengaku menemukan panggilan hati sebagai investigator.
Baca juga: Bukan Ronde Terakhir Melawan Korupsi
”Di KPK, saya bisa berbuat banyak. Menangkap gubernur, bupati, menteri, wakil rakyat yang ingin mengambil banyak uang negara dan menangkap politikus nakal. Saya merasa, di sini sumbangsih saya ke negara,” ujarnya.
Harun masih ingin menuntaskan pekerjaannya yang belum selesai. Sebagai pimpinan tim pemburu daftar pencarian orang, ia ingin menangkap buronan dan menuntaskan kasus lainnya.
Bagi Harun, pekerjaan yang dijalaninya selama ini merupakan bagian dari ibadah. Ia menyadari tugasnya tak mudah dan penuh risiko. Namun, perjuangannya adalah tugas mulia agar masyarakat Indonesia menjadi makmur dan adil.
Berawal dari informasi lowongan pekerjaan yang diberikan teman sekantornya, Novariza (41) memutuskan berkarya di KPK pada 2007 melalui Indonesia Memanggil 2. Ada beberapa kawannya menakut-nakuti, jika masuk di KPK, ia akan sulit pindah kerja. Namun, ia tidak memedulikannya.
Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di kantor KPK, Novariza terkejut. Sebab, ia menemukan rekan-rekannya yang sederhana, sangat ramah, dan ada rasa kekeluargaan yang sangat kuat. Bahkan, ia dengan mudah dapat bertemu dengan pimpinan karena budaya egaliter yang sudah tertanam di KPK.
Baca juga: Demokrasi Itu Mendengar Suara Rakyat
”Ketika saya masuk kantor, semua orang menyapa,” ujar Novariza, yang bertugas sebagai fungsional di Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi.
Ia belajar banyak dari atasannya yang penuh integritas dengan tidak pernah mau menerima pemberian uang ketika mengunjungi suatu instansi. Novariza menanamkan sikap itu ke dalam dirinya. Ia selalu membayar sendiri makanannya ketika dijamu dan tak pernah mau menerima pemberian dari orang lain. Keteladanan dan sistem yang ada, membuatnya selalu mencintai KPK.
Ia menyadari, pekerjaannya turut mendukung upaya pemberantasan korupsi dengan tujuan menyelamatkan rakyat. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum sadar akan bahaya korupsi. Tindak pidana korupsi tidak mudah dilihat seperti pencurian, tetapi dampaknya sangat besar. Ia selalu berharap, korupsi tak ada lagi di Indonesia agar cita-cita negara adil dan makmur tercapai.
Meski sudah mendapat tawaran pekerjaan baru, Novariza mengaku akan terus berjuang bersama 74 pegawai KPK lain. Ia merasa ada perlakuan tak adil kepada pegawai KPK. Dia menilai ada hal-hal yang tidak beres pada proses tes wawasan kebangsaan, mulai dari pelanggaran hukum dan hak asasi manusia hingga dugaan pelecehan seksual.
Benydictus Siumlala Martin Sumarno (33) tertarik masuk ke KPK pada 2017 karena melihat nama besar KPK yang memiliki rekam jejak sebagai lembaga yang bersih dan berintegritas. Apalagi, saat itu KPK membuka lowongan untuk posisi fungsional pendidikan masyarakat. Dia mengabdi di Direktorat Pembinaan Peran serta Masyarakat. Beny sendiri merupakan lulusan jurusan pendidikan.
Sejak masuk ke KPK, Beny bangga menjadi bagian dari lembaga itu. Sebab, ia merasa bekerja bersama dengan para senior yang memiliki integritas dan kinerja jelas. Apalagi, ketika mendatangi beberapa daerah, ia melihat masyarakat sangat mencintai KPK.
Di sisi lain, ia melihat korupsi sangat berpengaruh pada perekonomian masyarakat, terutama pada masyarakat kalangan bawah. ”Pada kasus impor bawang putih misalnya. Kalau tidak diungkap, harga bawang putih bisa naik Rp 1.000-Rp 2.000. Pengaruhnya signifikan,” ujar Beny.
Beny mengaku sangat sedih jika harus meninggalkan KPK. Sebab, menurut dia, jarang sekali ada tempat berkarya seperti KPK yang selalu mengutamakan kejujuran dan menjaga integritas. Bagi Beny, bekerja di KPK tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga menjadi sesuatu untuk orang lain. Bekerja di KPK memiliki pengaruh yang sangat besar dan berguna bagi orang lain.
Kecintaannya pada gagasan perjuangan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur membuat Ita Khoiriyah memutuskan masuk ke KPK pada 2016. Apalagi, lowongan yang ada pada posisi kehumasan seperti pekerjaannya di Jaringan Gusdurian. Ia juga melihat, KPK juga adalah warisan dari gagasan dan perjuangan Gus Dur. Ia beranggapan, Gus Dur mempunyai cita-cita mewujudkan demokrasi yang sehat dan bersih. Untuk mewujudkan hal itu, harus ditopang pemberantasan korupsi di berbagai sektor dan lini. Gerakan penolakan terhadap korupsi itu harus menjadi budaya bangsa Indonesia.
Selama bekerja di KPK, ia selalu bersinggungan dengan masyarakat. Sebelum menjadi humas, ia tiga tahun bekerja di bagian pelayanan publik. Ia menerima surat dan aksi dari masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Ita selalu merasakan, masyarakat memberi dukungan yang sangat besar untuk KPK.
Menurut Ita, mereka punya harapan yang besar kepada KPK. Bahkan, ada warga yang rela berjalan dari Ponorogo, Jawa Timur, ke Jakarta demi menuntut keadilan. Ia berharap, KPK tetap jadi lembaga yang independen dan selalu menjadi harapan bagi masyarakat untuk mencari keadilan.
Saat ini, Ita masih berjuang mendapatkan keadilan. Sebab, ia dan pegawai lainnya mendapatkan label yang dinilainya sangat kejam. Pegawai yang bertahun-tahun mengabdi, hanya dinilai dalam tiga jam. Padahal, selama bekerja, Ita tidak pernah melakukan pelanggaran.
”Labelling itu kesedihan. Kami mengabdi bertahun-tahun justru dapat labelling merah. Padahal, koruptor masih dibina jadi penyuluh antikorupsi. Koruptor dikasih kesempatan,” ujar Ita, mengacu pada program penyuluhan bagi napi koruptor yang dicetuskan pimpinan KPK Periode 2019-2023.
Melihat KPK yang banyak menangani kasus besar seperti perkara simulator SIM dengan terpidana Djoko Susilo dan kasus suap di Mahkamah Konstitusi dengan terpidana Akil Mochtar, Rieswin Rachwell (29) tertarik bergabung dengan KPK pada 2017. Ia lalu dipercaya bertugas sebagai penyelidik.
”Kerja sesuai passion, tidak juga. Namun, ada kepuasan sendiri. Ada manfaat secara luas. Ada pengaruh pada masyarakat sehingga bersemangat,” kata lulusan teknik sipil itu.
Ia sangat bangga dengan pekerjaannya. Apalagi, menurut dia, sebelum 2019 tidak ada yang bermain kasus dan tidak ada intervensi di KPK. Sayangnya, setelah 2019 ada beberapa kali kasus bocor dan dihambat. Ia mengalami sendiri adanya kasus yang bocor itu.
Jika pada akhirnya harus meninggalkan KPK, ia sedih karena tak lagi jadi bagian dari pemberantasan korupsi. Rieswin hanya berharap, KPK bisa lebih baik. Ia yakin rekan-rekannya di KPK akan tetap semangat menjaga integritas.
Saat ini, ia berjuang bukan untuk dirinya sendiri atau pegawai lain yang akan dipecat. Pemberantasan korupsi juga tak hanya bergantung pada 75 pegawai ini, tetapi perjuangan yang dilakukannya demi masa depan KPK dalam memberantas korupsi.
Menurut dia, jika pegawai KPK dengan mudah dipecat lewat tes wawasan kebangsaan, ke depan hal serupa akan terjadi lagi. Apalagi, tes itu telah memberi stigma buruk terhadap pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Bagi Rieswin, selain memperoleh penghasilan, bekerja di KPK memiliki bonus karena dapat berkontribusi pada negara. Sebagai minoritas, ia ingin menghilangkan stigma negatif padanya. Minoritas juga bisa berkontribusi pada negara. Ia menegaskan, sebagai kaum minoritas dan beragama Buddha, dirinya tidak pernah memiliki masalah selama bekerja di KPK.
Berbekal pengalamannya menjadi jurnalis, Tri Artining Putri (32) atau akrab dipanggil Puput melihat KPK sebagai lembaga penegak hukum yang transparan. Dari ketertarikan itu, ia memutuskan masuk ke KPK pada 2017. Ia berkarya di Biro Hubungan Masyarakat.
Selama bekerja di KPK, Puput merasakan budaya egaliter yang sangat kuat. Ia bisa berdiskusi tentang tugas dan program. Bahkan, ia diberikan ruang untuk tetap bisa skeptis. Dukungan yang besar dari masyarakat juga membuatnya selalu menyayangi KPK.
Ia bangga dengan KPK yang berani menangani perkara besar dengan pelaku orang-orang dari kalangan atas. Hal tersebut menunjukkan, hukum tidak hanya tajam ke bawah, tetapi juga tajam ke atas.
Puput meyakini, KPK masih menjadi harapan masyarakat dalam memberantas korupsi. Ia masih memiliki keinginan besar dapat terus bekerja di KPK yang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.
Bagi Puput, bekerja di KPK tidak sekadar mencari gaji yang baginya sudah sangat cukup. Namun, agar rakyat mendapatkan hak-haknya.
”Di slip gaji KPK, ada tulisan, ingat gaji Anda dari rakyat. Karena itu, sering pulang malam jadi tidak terasa. Ketika melakukan hal yang benar, saya suka dengan pekerjaan saya,” tuturnya.
Merasa terpanggil untuk membaktikan diri kepada negara dalam memberantas korupsi, Yudi Purnomo Harahap (38) masuk ke KPK pada 2007 melalui proses rekrutmen Indonesia Memanggil. Ia menyayangi lembaga KPK karena kekompakan pegawai dan solidaritas satu sama lain. Ia menganggap mereka sebagai keluarga.
Sebagai Ketua Wadah Pegawai, ia aktif membantu sesama pegawai yang butuh pertolongan. Di sisi lain, sebagai penyidik, ia bangga karena ikut serta menangkap koruptor yang mengambil uang rakyat. ”Saya melihat sendiri bagaimana para koruptor ini begitu rakusnya mencuri uang rakyat,” tutur Yudi.
Sejak masuk KPK, ia menegaskan akan terus berkarya di KPK hingga pensiun. Karena itu, ia berani menghadapi risiko melawan koruptor. Namun, jika pada akhirnya dia sudah tidak kerja di KPK lagi, tentu banyak rasa sedih yang dirasakan. Ia akan merindukan suasana tegang seperti saat OTT dan kesabaran dalam memburu buronan atau menginterogasi tersangka serta saksi.
Yudi menyadari, inilah dinamika hidup. Ia juga sudah menyampaikan kepada istrinya untuk tegar. Saat ini, ia masih berusaha berjuang. Jika pada akhirnya harus keluar dari KPK, ia akan keluar dengan kepala tegak karena diberhentikan oleh pimpinan KPK, bukan atas kemauannya sendiri.
Bagi Yudi, bekerja di KPK bukan sekadar mencari gaji. Apalagi, menjadi penyidik, tidak ada jam kerja dan tidak mengenal hari libur. Pernah suatu ketika ia sedang rekreasi bersama istri dan dua anaknya di hari Minggu, tetapi ia diminta segera ke kantor untuk menangani kasus korupsi KTP elektronik. Hal itu dijalani sebagai bagian dari pekerjaan. Ia meyakini, pekerjaannya adalah bagian dari ibadah sekaligus juga sebagai bentuk pengabdian bagi bangsa dan negara.