Anggaran Rancangan Perpres Alutsista Dinilai Masih Bisa Dikoreksi
Rancangan Peraturan Presiden tentang Alutsista masih bisa dikoreksi, baik terkait dengan besaran anggaran maupun skema pembayarannya. Namun, Kemenhan diharapkan transparan dan menjamin akuntabilitas pendanaan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Besaran angka yang diperkirakan dibutuhkan untuk mengadakan alat utama sistem persenjataan di Rancangan Peraturan Presiden terkait alutsista dinilai masih amat mungkin untuk dikoreksi. Masih ada kesempatan bagi Kementerian Pertahanan untuk memperbaiki rancangan itu sebelum disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebutkan, Presiden belum tahu isi dan substansi dari rancangan perpres yang disiapkan Kemenhan itu. Hasil penelusuran Kompas, Jumat (4/6/2021) malam, izin prakarsa rancangan peraturan presiden tentang pengadaan alat pertahanan dan keamanan yang disiapkan Kementerian Pertahanan itu belum diajukan kepada Presiden karena masih dibahas di kementerian.
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Issues Khairul Fahmi, Sabtu (5/6/2021) mengatakan, saat ini raperpres itu belum dapat dipastikan akan disetujui Presiden. Oleh karena itu, masih ada kesempatan bagi Kementerian Pertahanan untuk merumuskan draf rancangan yang lebih baik dan lebih jelas sehingga tidak lagi menimbulkan pro dan kontra di publik.
”Beberapa kemungkinan yang dapat diambil ialah merevisi besaran angkanya, yakni tidak Rp 1.750 triliun, atau merevisi tahapan pembayarannya. Namun, persoalan apakah akan dipadatkan pada tahun 2024, itu harus dipahami sebagai upaya untuk menyesuaikan dorongan memenuhi minimum essential force (kekuatan pokok minimum/MEF) pada 2024,” katanya.
Khairul mengatakan, saat ini pasar alutsista dunia sedang meningkat, dan banyak produsen alutsista yang memberikan promosi. Dalam kondisi seperti itu, dapat dipahami jika ada keinginan untuk menuntaskan pemesanan, dan deal negosiasi pembelian alutsista itu pada 2024. Karena ketika pemesanan dilakukan saat ini, belum tentu barang datang pada hari itu juga, melainkan bisa beberapa tahun ke depan.
”Banyak negara produsen alutsista saat ini mencari pasar. Ada kecenderungan negara-negara produsen ini mencari pasar dengan iming-iming diskon, dan tambahan lain. Artinya, ini dapat dilihat sebagai peluang mumpung harga beberapa alutsista sedang turun. Itu yang menjadi salah satu pemikiran kenapa mau dipesan atau negosiasinya disegerakan pada 2024,” ujarnya.
Oleh karena itu, melihat raperpres alutsista yang berkembang di publik dan menjadi pembicaraan belakangan ini, menurut Khairul, sebenarnya dapat dipahami dalam konteks upaya negara melakukan modernisasi alutsista. Kendati demikian, supaya tidak menimbulkan kebingungan publik, hal itu sebaiknya disampaikan secara transparan.
Transparansi dan akuntabilitasnya tetap menjadi ukuran penting supaya tidak mengundang kecurigaan. Jika rencana pengadaan alutsista itu terjelaskan dengan baik kepada publik, persoalan ini tidak akan melebar ke mana-mana. Hal ini sangat menjadi perhatian publik karena pengadaan alutsista bagaimana pun menggunakan uang negara.
”Oleh karena itu, untuk meletakkan raperpres ini dalam sudut pandang yang tepat, harus pula didengarkan pandangan Istana, Kementerian Keuangan, Bappenas, dan bagaimana postur anggaran kita,” ucapnya.
Sebelumnya, terkait dengan raperpres ini, Juru Bicara Menhan Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan, Raperpres adalah dokumen perencanaan dalam proses pembahasan dan pengujian mendalam, bukan dan belum menjadi keputusan final. Dokumen perencanaan pertahanan tersebut adalah bagian dari rahasia negara dan dokumen internal dalam pembahasan yang masih berlangsung.
”Kami sesali ada pihak-pihak yang membocorkan dan menjadikan dokumen tersebut menjadi alat politik untuk mengembangkan kebencian politik dan gosip politik,” katanya.
Sesuai arahan Presiden kepada Menhan Prabowo Subianto, menurut Dahnil, presiden menginginkan ada kejelasan dalam lima sampai dengan 25 tahun ke depan Indonesia bisa memiliki alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam) apa saja. Melihat kondisi alpalhankam Indonesia yang faktualnya memang sudah tua. Bahkan, 60 persen dinilai sudah sangat tua dan usang serta memprihatinkan, modernisasi alpalhankam adalah keniscayaan.
Oleh sebab itu, lanjut Dahnil, Kemenhan mengajukan sebuah formula modernisasi alpahankam melalui reorganisasi belanja dan pembiayaan alpahankam. Reorganisasi belanja dan pembiayaan alpalhankam ini akan dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan melalui mekanisme belanja alpalhankam lima renstra yang dibelanjakan pada satu renstra pertama, yaitu 2020-2024. Dengan begitu, postur pertahanan ideal Indonesia bisa tercapai pada tahun 2025 atau 2026, dan postur ideal tersebut bertahan sampai 2044.
”Dengan formula ini, pada tahun 2044 akan dimulai pembelanjaan baru untuk 25 tahun ke depan. Apabila dianologikan, formula belanja ini ibarat membangun rumah. Kita membiayai pembangunan rumah dalam waktu tertentu kemudian jadi satu rumah yang ideal, bukan membangun secara mencicil, mulai dari jendelanya dulu, nanti ada duit lagi baru bangun pintu dan seterusnya,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, TB Hasanuddin, mengatakan, besaran angka yang mencapai Rp 1.750 triliun sebenarnya bukan merupakan isu utama. Sebab, yang menjadi perhatian utama ialah akuntabilitas dan transparansi anggaran. Bagaimana uang itu dialokasikan, dan untuk membeli apa saja, itu jauh lebih penting.
”Soal modernisasi alutsista, kita tidak ada masalah soal itu, karena memang faktanya 60 persen alutsista kita sudah tua. Namun, yang harus dipastikan ialah bagaimana dana alutsista itu akan dikelola,” ujarnya.