Mensesneg: Presiden Belum Tahu Substansi Rancangan Perpres Alutsista
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyebut bahwa Presiden Joko Widodo belum mengetahui isi dan substansi Rancangan Peraturan Presiden terkait pengadaan alat pertahanan dan keamanan.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo belum mengetahui isi dan substansi dari rancangan peraturan presiden terkait pengadaan alat pertahanan dan keamanan yang disebut menembus Rp 1.750 triliun. Izin prakarsa rancangan peraturan tersebut juga belum diajukan kepada Presiden.
Hasil penelusuran Kompas, Jumat (4/6/2021) malam, izin prakarsa rancangan peraturan presiden tentang pengadaan alat pertahanan dan keamanan yang disiapkan Kementerian Pertahanan itu belum diajukan kepada Presiden karena masih dibahas di kementerian.
Prosesnya juga cukup panjang, bahkan apabila Presiden sudah menyetujui izin prakarsa, draf itu akan diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara untuk dibahas dalam rapat substansi antar-kementerian. Setelah ada persetujuan substansi lintas kementerian dan menteri terkait telah membubuhkan paraf, baru draf itu diajukan kembali kepada Presiden.
Mensesneg Pratikno, saat dihubungi pada Jumat malam, membenarkan proses itu. Pratikno juga menyebutkan, Presiden belum tahu isi dan substansi dari rancangan perpres yang disiapkan Kemenhan itu.
Baca juga: Rencana Alokasi Belanja Alutsista Rp 1.750 Triliun Bisa Bebani Keuangan Negara
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, penyusunan rancangan perpres sepenuhnya kewenangan Presiden. Kalaupun rancangan itu disetujui Presiden, pengajuan anggarannya harus mendapatkan persetujuan DPR. Masalahnya, katanya, dokumen yang beredar di publik baru rancangan, bukan dokumen resmi. Karena itu, Komisi I DPR tak bisa menilai anggaran Rp 1.750 triliun yang ramai diperbincangkan.
Persepsi berkembang
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, banyak yang kurang tepat memahami rancangan perpres alat pertahanan dan keamanan. Menurut dia, minimnya informasi dari pemerintah terkait penyusunan rencana pembelian alat utama sistem persenjataan itu mengakibatkan banyak persepsi liar berkembang.
”Yang dimaksud dengan pengadaan dimampatkan hingga 2024 itu maksudnya bukan Rp 1.750 triliun itu dihabiskan hingga 2024, lalu kita bayar utangnya sampai 2044. Maksudnya, hingga 2024 itu deal dan kesepakatan, negosiasi harga, dan pemesanan dioptimalkan semua untuk kebutuhan alutsista. Sebab, ketika kita pesan alutsista sekarang, datangnya barang itu tidak sekarang, tetapi bisa dua tahun atau beberapa tahun lagi tergantung kesiapan penyedia. Karena itu proses pemesanan dan negosiasi dilakukan hingga 2024,” ujarnya.
Barang yang dipesan atau dibeli dengan kredit ekspor itu hingga 2024 diharapkan memiliki masa pakai hingga 2044 atau 20 tahun, sebab pada umumnya alutsista harus dimodernisasi ketika sudah 20 tahun ke atas. Namun. selama rentang waktu 2024-2044, dana senilai Rp 1.750 triliun yang diperkirkan menjadi total kebutuhan pembelian itu pembayarannya tetap dianggarkan secara bertahap setiap tahun melalui APBN.
”Kalau saya membacanya, ini memang ada komunikasi yang buruk, dan drafting yang buruk dalam penyusunan rancangan perpres ini sehingga kesannya Rp 1.750 triliun itu diterima semua pada 2024 dan dihabiskan untuk membeli alutsista saat itu juga. Padahal, dalam mekanisme pembelian alutsista maksudnya tidak demikian,” katanya.
Terlepas dari kondisi itu, dia menilai, pengadaan alutsista harus dapat dipertanggungjawabkan. Titik berat yang mesti diawasi publik adalah akuntabilitas dan transparansi dana.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, juga mendorong agar Kemenhan melibatkan lembaga-lembaga pengawasan sejak dini untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran.
”Keterlibatan lembaga pengawasan sejak dini menjadi kunci untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran sekaligus meyakinkan publik bahwa anggaran itu digunakan sebagaimana mestinya,” ujar Robert.
Sementara itu, pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Kertopati, menilai, rencana pembelian yang mencapai Rp 1.750 triliun masih masuk akal karena tantangan Indonesia sebagai negara yang sangat luas.
”Memang saat ini harus disesuaikan dengan prioritas negara yang masih menghadapi pandemi Covid-19, tetapi juga jangan lupa memperkuat diri dalam bidang pertahanan keamanan,” katanya.
Analis Utama Politik Keamanan Laboratorium Indonesia 2045, Andi Widjajanto, menuturkan, pembelian alutsista untuk jangka panjang yang dilakukan dalam satu termin bisa menghemat anggaran. Sebab ada kenaikan harga alutsista per tahun sekitar 6 persen hingga 10,7 persen. ”Semakin lama menunda, harga semakin tinggi,” katanya.
Selain itu, pembelian untuk jangka panjang bisa memastikan pemenuhan kebutuhan alutsista tidak mudah diubah. Apalagi, jika ada pergantian pemimpin tidak mudah diubah karena kontraknya sudah dilakukan untuk jangka panjang.
”Terpenting, perlu diberi celah bagaimana merevisi rencana tersebut seandainya tiba-tiba ada faktor yang tidak terduga, misalnya kondisi ekonomi, perubahan ancaman, dan lompatan teknologi sehingga harus ada klausul-klausul untuk mengubah rencana strategis,” ujar Andi.
Mengikuti MEF
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Nasdem Muhammad Farhan mengatakan, dokumen rancangan peraturan presiden mengenai alatsista yang diduga bocor, dan kini beredar di tengah publik, menunjukkan adanya upaya pemerintah untuk modernisasi alustsista. Terlepas dari polemik yang berkembang di tengah masyarakat tentang anggaran Rp 1.750 triliun yang diperlukan untuk pengadaan alutsista itu, Komisi I DPR fokus pada pagu indikatif tahun 2022.
Dalam rapat terakhir Komisi I DPR dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rabu (2/6/2021), terungkap terungkap pengajuan anggaran 2022 untuk Kemenhan Rp 244 triliun. Jumlah kebutuhan anggaran itu pun turun dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp 300 triliun. Namun, dari jumlah Rp 244 trilun yang diajukan itu, pagu anggaran yang diindikasikan untuk dipenuhi pemerintah atau pagu indikatif hanya Rp 125 triliun.
”Secara normatif, tugas Komisi I DPR sudah selesai dalam pembahasan anggaran 2022, karena pada tataran formal, kami bicara soal pagu indikatif itu. Soal isi rancangan Perpres Alutsista yang beredar di publik, kami tidak ada kewenangan untuk membahasnya, karena itu domain eksekutif atau Presiden,” katanya.
Kendati demikian, menurut Farhan, kalau Perpres Alutsista itu disetujui oleh Presiden, barulah Komisi I akan ikut mengawasi pelaksanaannya. Kementerian Pertahanan akan memberikan laporan kepada Panitia Kerja (Panja) Alutsista tentang apa saja yang dibeli oleh negara melalui ketentuan itu, dan bagaimana pembiayaannya. Adapun untuk penyusunan perpres itu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden.
”Yang pasti, untuk anggaran 2022, tidak ada alokasi untuk alutsista Rp 1.750 triliun, kecuali dokumen itu disetujui oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Farhan mengatakan, dengan tidak dipaparkannya dokumen itu di dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR yang membahas anggaran, hal itu mengindikasikan dokumen itu tidak digunakan untuk pengajuan anggaran. ”Karena yang dipakai tetap pagu indikatif dari Kemenkeu,” katanya.
Ke depannya, agar tidak lagi menimbulkan polemik, Farhan mendorong semua pihak untuk fokus dan konsisten pada konsep kekuatan pokok minimum (minimum essential force) yang sudah disepakati. Capaian MEF itu pun direncanakan sampai tahun 2024, sama dengan target pengadaan alutsista yang disebutkan di dalam raperpres. Bedanya, jika mengikuti MEF, polemik yang berkembang selama ini di tengah publik tidak akan terjadi.
”Sebaiknya fokus dulu pada MEF, sebab di dalamnya diatur lengkap soal target pengadaan, mekanisme pengadaannya seperti apa. MEF itu dokumen yang memuat pengadaan alutsista secara bertahap. Nanti tinggal dievaluasi jika sudah selesai pada 2024, dan baru dipikirkan proposal baru,” katanya.
Dengan kondisi ekonomi yang belum membaik saat ini, memberikan tekanan berat pada ekonomi dengan pengadaan alutsista dalam jumlah besar pada waktu tertentu, menurut Farhan, berpotensi membahayakan stabilitas keuangan negara. Oleh karenanya, dengan MEF yang sudah ada, pemenuhan alutsista itu bisa tetap diupayakan.
Kalaupun MEF dianggap tidak maksimal, harus ada evaluasinya sebelum membuat proposal atau rencana induk pengadaan alutsista yang baru. ”Harus ada kajian ekonomi makro yang jelas dengan pengadaan alutsista yang dimampatkan hingga 2024. Jangan sampai itu menimbulkan ekonomi kita overheat (kepanasan),” katanya.