Rancangan Perpres Alutsista Rp 1.750 Triliun Disiapkan, Dipenuhi dari Pinjaman Luar Negeri
Rancangan perpres tentang alat utama sistem persenjataan sedang disiapkan. Rancangan itu masih dibahas, tetapi menimbulkan kehebohan karena mencakup nominal Rp 1.750 triliun. Rencanannya dipenuhi dari utang luar negeri.
Oleh
Edna C Pattisina/Suhartono/Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
Kompas beberapa waktu lalu menerima dokumen berisi rancangan peraturan presiden (perpres) versi bulan Maret 2021. Rancangan perpres itu berjudul Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia tahun 2020-2024.
Juru bicara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Dahnil Simanjuntak, mengatakan, Jumat (28/5/2021), Kementerian Pertahanan akan memberi jawaban terkait dengan rancangan prepres itu. Saat dihubungi kembali pada Sabtu (29/5/2021), Dahnil mengaku masih perlu waktu untuk memastikannya.
”Senin ya Mbak, saya pastikan,” jawabnya melalui pesan Whatspp.
Sementara itu, Kementerian Sekretariat Negara menyatakan, pihaknya sudah menerima rancangan tersebut. Namun, hingga kini rancangan perpres tersebut masih dalam pembahasan lintas kementerian dan belum menjadi naskah yang definitif dan final. Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat dihubungi hanya menjawab, ”Masih berproses di kementerian. Tunggu aja”.
Informasi dari lingkungan Istana Kepresidenan belum diketahui berapa lama waktu pembahasan rancangan perpres itu. ”Naskahnya masih dibahas di tingkat kementerian meskipun telah diterima Kemensetneg beberapa waktu lalu. Sampai kapan pembahasannya, belum tahu ya, terutama terkait dengan perencanaan strategis dan penganggarannya,” ujar seorang staf di lingkungan Istana Kepresidenan baru-baru ini di Setneg, Jakarta.
Dengan masih adanya pembahasan di tingkat kementerian, lanjut staf tersebut, Presiden Joko Widodo belum mengetahui rencana penerbitan perpres tersebut.
”Prosesnya masih lama untuk bisa masuk dan disetujui oleh Presiden Jokowi. Karena, Presiden pasti akan menunggu Menteri Keuangan terkait dengan kemampuan pendanaan dan penganggarannya terlebih dulu di APBN,” kata staf tersebut.
Ada beberapa hal menarik yang tercantum dalam rancangan perpres tersebut. Di bagian awal disebutkan tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan bahwa agar kebutuhan alat pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) terjamin, diperlukan rencana strategis, pembiayaan dan pengadaan yang konsisten dan berkelanjutan.
Di Pasal 2 disebutkan bahwa Menteri menyusun rencana kebutuhan Alpalhannkam Kemhan dan TNI tahun 2020 hingga 2044. Pengadaaannya mulai dilaksanakan tahun 2020-2024. Ini berarti pengadaan lima renstra (rencana strategis) 25 tahun dipadatkan dalam waktu dua setengah tahun yang tersisa.
Rancangan perpres ini terdiri dari 10 pasal. Pasal 1 berisi tentang penetapan definisi. Sementara, di Pasal 2 disebutkan bahwa Menteri menyusun rencana kebutuhan Alpalhannkam Kemhan dan TNI tahun 2020 hingga 2044. Pengadaaannya mulai dilaksanakan tahun 2020-2024. Ini berarti pengadaan lima renstra (rencana strategis) 25 tahun dipadatkan dalam waktu dua setengah tahun yang tersisa.
Pasal 3 merinci kebutuhan finansial untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu sebesar 124,995 miliar dollar AS yang dihitung dengan kurs 1 dollar AS setara Rp 14.000 sekitar Rp 1.750 triliun. Anggaran itu untuk membeli alpahankam, membayar bunga, dan biaya pemeliharaan serta kontijensi.
Masih di Pasal 3, di angka ke-3, disebutkan bahwa dari total kebutuhan itu, telah dialokasikan 20,747 miliar dollar AS di Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus Tahun 2020-2024.
Dengan demikian, ada selisih kebutuhan yang belum terpenuhi sebesar 104,247 miliar dollar AS atau dihitung dengan kurs Rp 14.000 lebih kurang setara dengan Rp 1.459 triliun.
Di Pasal 6 disebutkan, pemenuhan anggaran ini dilaksanakan lewat pinjaman luar negeri yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan. Sementara di Pasal 7 disebutkan beberapa kementerian yang bertanggung jawab, yaitu menteri, menteri di bidang keuangan, menteri di bidang Bappenas, dan menteri di bidang BUMN.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, mengatakan, Indonesia membutuhkan masterplan untuk memberi gambaran tujuan pembangunan pertahanan nasional. Dari gambaran besar itu, kebutuhan alat dan teknologi serta bagaimana memenuhinya juga bisa dipetakan.
Dia mengapresiasi rencana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membuat masterplan perencanaan pengadaan alutsista untuk 25 tahun ke depan yang dituangkan dalam Rancangan perpres. Namun, dia mengingatkan bahwa pembuatan rencana induk itu harus diiringi langkah-langkah untuk memastikan akuntabilitasnya.
Ini, misalnya, dengan menguatkan peran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan membuat pengaturan yang ketat mengenai keterlibatan pihak ketiga. Indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan juga harus disusun.
Selain itu, perlu ada perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan, dan skema penahapan pengadaan jika anggarannya terbatas. Dukungan anggaran juga diperlukan untuk mendorong pengembangan riset dan pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk berinovasi.
Menurut Fahmi, sejumlah dana yang dicantumkan dalam rancangan perpres realistis untuk mewujudkan modernisasi alutsista. Ia membandingkan dengan PDB Indonesia tahun 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun. Apabila diasumsikan PDB Indonesia setiap tahun di angka yang sama dalam 25 tahun ke depan, rencana alokasi Rp 1.750 triliun dari pinjaman luar negeri itu hanya menempati porsi sebesar 0,45 persen PDB.
Ditambah dengan alokasi anggaran pertahanan sebesar rata-rata 0,78 persen PDB per tahun, anggaran pertahanan telah mencapai 1,23 persen PDB yang mendekati target anggaran pertahanan 1,5 persen PDB per tahun.
”Namun, pinjaman luar negeri itu harus dipastikan tidak menjadi beban APBN. Diplomasi pertahanan mesti terus dilalukan untuk mencari peluang pinjaman berbunga rendah dengan tenor yang panjang,” ujar Fahmi.
Tentunya, kata dia, dinanti kebijakan kabinet dan terutama presiden dalam proses politik ini. Di satu sisi, anggaran pertahanan sejak era reformasi tidak pernah berada di atas angka 1 persen PDB, sedangkan ancaman pertahanan kian menjadi kompleks. Di sisi lain, tentunya ada hitungan fiskal karena terkait dengan utang luar negeri yang akibatnya sistemik.
Selain itu, pandemi Covid 19 belum berakhir sehingga tentu kebutuhan kesehatan dan ekonomi masih menjadi prioritas pemerintah. Menjadi pertanyaan pula, bagaimana anggaran Rp 1.750 triliun dan proses pembelian alutsista yang tidak sederhana bisa diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun.
Di sisi lain, proses pengadaan alutsista juga kerap disorot masyarakat sipil karena dinilai masih tidak transparan dan rentan korupsi. Bagaimana kelanjutan rancangan perpres ini? Kita tunggu saja.