Anggaran pertahanan masih belum ideal dari sisi nominal dan dari sisi proporsi alokasi belanja modernisasi alutsista. Di tengah keterbatasan itu diperlukan konsistensi kebijakan, penganggaran, dan penggunaan anggaran.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Modernisasi dan penguatan alat utama sistem persenjataan atau alutsista menjadi sebuah kebutuhan di tengah upaya memenuhi kekuatan pokok minimum. Di tengah sempitnya ruang fiskal untuk modernisasi alutsista, konsistensi kebijakan serta pengalokasian dan penggunaan anggaran amat diperlukan.
Insiden tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402 di utara pantai Bali, akhir April 2021, kembali memantik isu modernisasi alutsista. Jajak pendapat Kompas, 17-19 Mei, yang melibatkan 511 responden di 34 provinsi, menunjukkan, 92,8 persen responden menyatakan, untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir.
Di satu sisi, nominal anggaran pertahanan Indonesia terus meningkat. Di sisi lain, jumlahnya belum ideal dan belum memberi ruang fiskal cukup bagi modernisasi alutsista.
Alokasi anggaran pertahanan tahun 2021 sebesar Rp 134,25 triliun. Angka ini naik 14,12 persen dibandingkan tahun 2020. Namun, 55,2 persen anggaran itu untuk anggaran rutin, seperti gaji. Untuk program modernisasi, anggaran dialokasikan 29 persen, sisanya untuk operasi, latihan, dan pendidikan.
Wakil Menteri Pertahanan Herindra di Jakarta, dalam wawancara pertengahan Mei 2021, mengatakan, dengan profil anggaran itu, Kemenhan tak banyak punya ruang fiskal untuk modernisasi alutsista. Hal ini membuat keterbatasan pembelian alutsista terbaik dan berdampak juga pada perawatan rutin alutsista TNI.
Menurut dia, sejak awal, Menhan Prabowo Subianto berkomitmen memodernisasi persenjataan TNI. Hasil evaluasi Kemenhan menunjukkan, banyak alutsista yang sudah tua. Sebelumnya, ada rencana membeli alutsista bekas agar kebutuhan operasi dan latihan TNI bisa segera terpenuhi (Kompas, 24/7/2020).
”Komitmen kami sekarang untuk beli yang baru sesuai arahan Presiden kepada Menteri Pertahanan,” katanya.
Terkait hal itu, Ketua Panitia Kerja Alutsista Komisi I DPR Utut Adianto mendorong agar ada penambahan anggaran untuk modernisasi alutsista. Namun, Utut mengingatkan Kemenhan agar mempertimbangkan jarak waktu kedatangan alutsista jika ingin melakukan pembelian. Sebab, alutsista tak bisa langsung dipakai setelah pemesanan karena perlu 4-5 tahun untuk bisa digunakan.
Sementara itu, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, Kemenkeu akan meningkatkan anggaran perawatan alutsista. Isa mengatakan, rencana peningkatan anggaran untuk perawatan alutsista diiringi evaluasi menyeluruh terhadap sistem penganggaran pertahanan nasional, termasuk ketersediaan investasi dan ketimpangan anggaran antarmatra.
Industri pertahanan
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Suharso Monoarfa mengatakan, anggaran pertahanan Indonesia memang masih kecil. Ia mengutip data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) tahun 2021. Dari 192 negara yang disurvei lembaga independen riset pertahanan itu, ada 152 negara yang anggaran pertahanannya di atas 1 persen produk domestik bruto masing-masing.
”Indonesia masuk 25 persen negara yang anggaran pertahanannya di bawah 1 persen,” kata Monoarfa.
Dia menilai solusi peningkatan anggaran pertahanan harus diikuti strategi lain. Misalnya, dengan memenuhi kebutuhan persenjataan dan pada saat yang sama membangun industri pertahanan. Dengan demikian, pengeluaran pembelian persenjataan bisa sebagian kembali ke dalam negeri.
”Efek ekonomi dari industri pertahanan itu nilainya bisa tiga kali lipat dari nilai produksinya. Misalkan kita keluarkan 10 juta dollar AS untuk membeli persenjataan dari dalam negeri, efek ekonomi yang kita terima gerakan ekonomi senilai 30 juta dollar AS,” kata Monoarfa.
Untuk itu, cara yang harus ditempuh adalah langsung membeli ke pabrik senjata, bukan lewat rekanan.
Perlu konsistensi
Koordinator Klaster Riset Konflik, Pertahanan, dan Keamanan LIPI Muhamad Haripin mengatakan, anggaran yang besar dan setiap tahun bertambah harus diikuti efektivitas dan transparansi penggunaan anggaran.
Dia juga mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan. Namun, yang selama ini tampak, inkonsistensi. Semisal, alih-alih membeli alutsista terbaru, pemerintah memutuskan membeli alutsista bekas. Hal itu dinilai tak hanya mengorbankan kualitas, tetapi juga bisa membahayakan jiwa prajurit TNI.
Haripin mendorong alih-alih membuat kebijakan baru, Kemenhan menyelesaikan dulu kebijakan Kekuatan Pokok Minimum (MEF) yang direncanakan terpenuhi pada 2024. Perubahan kebijakan di tengah jalan dikhawatirkan semakin membuat tidak jelas arah modernisasi alutsista. (DIM/SYA/NAD/EDN)