Pemberhentian Dianggap Abaikan Presiden, 75 Pegawai KPK Tempuh Upaya Hukum
Dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan, 51 orang akan diberhentikan, sedangkan 24 orang akan dibina agar memenuhi syarat aparatur sipil negara. Pegawai KPK tersebut berencana menggugat keputusan itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perwakilan dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, yang tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan, menyebut pemberhentian terhadap 51 pegawai dan pembinaan bagi 24 pegawai lain merupakan pembangkangan terhadap arahan Presiden Joko Widodo. Segala upaya akan ditempuh demi melindungi hak pegawai, termasuk menggugat surat keputusan penonaktifan pegawai ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Seperti diberitakan sebelumnya, dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), ada 24 orang yang dinilai masih bisa dibina agar memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun, jika mereka tak bisa lolos pendidikan dan pelatihan bela negara serta wawasan kebangsaan, nasibnya akan sama seperti 51 pegawai lainnya yang dinilai tak bisa dibina, yaitu diberhentikan dari KPK.
Keputusan itu diambil dalam rapat membahas nasib 75 pegawai KPK yang diikuti pimpinan KPK, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan tim asesor dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Rapat dipimpin oleh Tjahjo Kumolo.
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono saat dihubungi Kompas, Rabu (26/5/2021), mengaku sangat terkejut dan kecewa terhadap keputusan yang langsung memberhentikan 51 pegawai. Selain itu, 24 pegawai lain, juga nasibnya masih belum pasti.
”Tentu ini adalah bentuk dari suatu pembangkangan dari lembaga negara karena Presiden sudah jelas menyatakan bahwa 75 pegawai bisa dilakukan pembinaan, pendidikan kedinasan, sehingga dia tidak harus keluar dari KPK dan dia bisa menjadi bagian dari pegawai-pegawai terbaik dari pemberantasan korupsi,” ujar Giri.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, hasil TWK terhadap pegawai KPK tidak serta-merta dijadikan dasar memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Hasil tes cukup jadi bahan perbaikan di KPK. Salah satu bentuknya melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Giri berharap Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dapat mengambil alih proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS ini. Sikap tersebut diharapkan bisa menengahi polemik yang terjadi. Ia juga menyadari, semestinya energi pemberantasan korupsi tidak dihabiskan dengan hal-hal seperti ini.
”Harapannya ada kebijaksanaan dan penyelesaian bagi 75 pegawai karena sebenarnya kami bukan orang yang tidak lulus. Kami adalah orang-orang berintegritas, menjunjung sikap kami dalam memberantas korupsi. Dan kami tidak pandang bulu, siapa pun yang korupsi akan kami tangkap,” ucap Giri.
Giri tak memungkiri bahwa pihaknya akan melakukan upaya hukum lebih lanjut untuk menyikapi polemik ini, termasuk menggugat surat keputusan penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK yang tak lolos tes. Sebab, ia menilai, sejak awal pelaksanaan TWK ini cacat hukum. Seiring berjalan waktu, proses pelaksanaan tes juga dianggap jauh dari wawasan kebangsaan.
”Segala upaya hukum akan kami lakukan. Hak kami dilindungi konstitusi,” ujar Giri.
Tidak terganggu
Deputi Penindakan KPK Karyoto menyampaikan, pemberhentian 51 pegawai KPK tidak akan mengganggu proses penindakan yang tengah berjalan. ”Semua penyidikan berjalan sebagaimana mestinya dan kami belum mengalami kendala,” katanya.
Sebab, menurut Karyoto, dalam menangani suatu perkara, hal itu tidak hanya ditangani orang per orang, tetapi tim, yang disebut satuan tugas. Misal, jika suatu satgas terdapat delapan orang dan tiga di antaranya berhalangan, lima pegawai lain masih bisa melanjutkan penyidikan.
”Jadi, semua pejabat hilir mudik berganti, penyidik, berganti, semuanya akan running dengan baik. Jadi, tidak tergantung harus ada ini, harus ada ini, tidak, tidak seperti itu. Nanti bahaya dong kalau orangnya mati bergantung kepada dia, kan tidak bisa,” tutur Karyoto.
Karyoto mengungkapkan, sebenarnya saat ini penyidik di Deputi Penindakan masih membutuhkan 100 pegawai. Kebutuhan terhadap sumber daya penyidik ini sudah berlangsung sebelum ada keputusan penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK yang tak lolos tes.
”Waktu itu, saya yang merencanakan, saya akan menambah di asset tracing (penelusuran harta) di penyelidik, penyidik, ataupun JPU (jaksa penuntut umum),” ujar Karyoto.
Untuk kebutuhan JPU, misalnya, menurut Karyoto, ini sudah sangat mendesak karena pekerjaan JPU sudah berlebihan (overload). Alhasil, penanganan kasus berjalan lambat.
”Kalau memang betul, nanti putusan terakhir ada beberapa rekan kami yang tidak bisa bergabung, apalagi profesinya sebagai penyidik, tentunya juga slot ini akan kami manfaatkan,” tutur Karyoto.
Berkaitan dengan siapa yang akan menjadi penyidik, Karyoto mengatakan, hal itu merupakan kebijakan pimpinan KPK dan Sekretaris Jenderal KPK.
”Saya tidak berandai-andai. Kalau saya, kami punya jalur, kami mungkin minta ke kejaksaan, ke penyidik, untuk mempersiapkan saja apabila sewaktu-waktu ada rekrutmen lagi,” ucapnya.