Kepala Staf Kepresidenan: Keputusan Sudah Final, KPK Harus Diperkuat
“Kenapa kita mesti bertele-tele mendiskusikan sesuatu yang baik untuk kepentingan masa depan Indonesia. Bangsa ini sungguh kadang kehilangan akal sehat,” kata KSP Moeldoko soal polemik tes wawasan kebangsaan pegawai KPK.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta masyarakat menyudahi energi negatif dan praduga yang tidak konstruktif terkait polemik terkait tes wawasan kebangsaan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara ditegaskan sebagai bagian komitmen pemerintah agar KPK bisa bekerja maksimal sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.
Pada Selasa (25/5/2021), rapat koordinasi antara KPK, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memutuskan, dari 75 pegawai KPK yang tak lolos wawasan kebangsaan, 51 pegawai tidak bisa diangkat menjadi ASN. Mereka dianggap tidak bisa lagi dibina. Sementara itu, 24 pegawai lainnya dinyatakan masih bisa dibina.
”Perlu sikap bijak dari semua pihak untuk menyikapi situasi ini. Kita tahu bahwa ini sudah final. KPK harus terus diperkuat oleh kita semua,” ujar Moeldoko dalam video pernyataan pers yang diterima Rabu (26/5/2021).
Tes wawasan kebangsaan yang diselenggarakan KPK dalam upaya alih status pegawai KPK menjadi ASN, menurut Moeldoko, haruslah dilihat sebagai bentuk penguatan wawasan kebangsaan setiap pegawai pemerintahan. ”Kalau enggak, ya kita hanya melihatnya dari satu sisi. Selama ini sebenarnya sudah berjalan tidak hanya ranah KPK saja, tetapi seluruh mereka yang berproses atas alih status menjadi ASN di semua lembaga. Sekali lagi ini sebenarnya sudah berlaku di semua lembaga dan termasuk juga di BUMN,” tambah Moeldoko.
Tentang mereka yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan, Moeldoko juga menyebut kejadian ini terjadi pula di lembaga lain seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. ”Kenapa tidak ribut? Kenapa di KPK begitu diributkan? Selanjutnya, begitu pula dengan mekanisme tes wawasan kebangsaan yang jadi perdebatan harus dipastikan disusun dengan lebih baik,” ucapnya.
Libatkan NU dan Muhammadiyah
Terkait tes wawasan kebangsaan, KSP merekomendasikan pelibatan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang sudah teruji mampu merajut simbol kebangsaan dan kebinekaan Indonesia.
”Juga perlu dipikirkan sejumlah skenario atas perbaikan terhadap mereka yang wawasan kebangsaannya masih kurang, yaitu melalui pendidikan kedinasan seperti yang diinginkan oleh Pak Presiden, karena ini memang harus diperkuat dari waktu ke waktu,” kata Moeldoko.
Persoalan wawasan kebangsaan dinilai bisa naik turun karena ancamannya juga semakin keras. Untuk itu, penguatan wawasan kebangsaan ini sangat diperlukan. ”Kenapa kita mesti bertele-tele mendiskusikan sesuatu yang baik untuk kepentingan masa depan Indonesia. Bangsa ini sungguh kadang kehilangan akal sehat,” tambah Moeldoko.
Sebelumnya, ketika diwawancara secara terpisah, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK seharusnya dilaksanakan secara obyektif, independen, dan bebas dari berbagai kepentingan. ”Saya kira ketentuan seleksi ASN di KPK tidak seharusnya berbeda dengan lembaga negara lainnya,” tambahnya.
Sejak dulu, menurut Abdul Mu’ti, tes di lembaga negara memang harus memuat aspek tentang wawasan kebangsaan dan loyalitas kepada negara, terutama Pancasila, NKRI, dan perundang-undangan. Problem dalam kasus tes wawasan kebangsaan di KPK terjadi karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dinilai tidak valid dan penilaian dianggap tidak obyektif.
”Sangat disayangkan jika validitas tes bermasalah. Dan, yang juga sangat disayangkan, soal-soal bisa bocor ke publik. Soal-soal ujian apakah tes tulis atau wawancara bersifat rahasia dan bagian dari rahasia negara,” ucapnya.
Lebih utuh
Moeldoko menambahkan, KPK harus diberi kepercayaan penuh untuk membenahi dan memperkuat diri dalam bekerja untuk menindak koruptor secara tidak pandang bulu. Sudah saatnya bagi KPK untuk kembali berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsinya dengan dukungan seluruh masyarakat. Tak kalah penting, KPK harus mulai kembali menjalankan perannya dalam strategi pencegahan korupsi.
Mengutip Presiden Jokowi dalam pernyataan sikapnya di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/5/2021), Moeldoko kembali menyebut bahwa Presiden Jokowi ingin agar KPK memiliki sumber daya manusia yang terbaik dan berkomitmen tinggi dalam pemberantasan korupsi. Proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN diharapkan bisa berdampak pada pemberantasan korupsi yang lebih sistematis.
Saat itu, Presiden Jokowi juga menyatakan proses pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. ”Saya minta kepada para pihak yang terkait, khususnya pimpinan KPK, Menteri PAN dan RB, dan Kepala BKN untuk merancang tindak lanjut bagi 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes,” ungkap Presiden Jokowi.
Langkah pembenahan tersebut, Moeldoko melanjutkan, diperlukan untuk memastikan hadirnya garda terbaik pemberantasan korupsi yang berintegritas dan berjiwa merah putih. ”Jadi, janganlah persoalan ini belum dipahami sepenuhnya oleh kita semua, tetapi justru digoreng kanan kiri, akhirnya keluar dari substansi tujuan yang hendak dicapai. Saya berharap, dengan penjelasan ini, masyarakat bisa melihat dengan lebih utuh,” tambah Moeldoko.
Sebelumnya, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono, Rabu (26/5/2021), mengaku sangat terkejut dan kecewa terhadap keputusan yang langsung memberhentikan 51 pegawai. Selain itu, 24 pegawai lain juga nasibnya belum pasti (Kompas.id, 26/5/2021).
”Tentu ini adalah bentuk dari suatu pembangkangan dari lembaga negara karena Presiden sudah jelas menyatakan bahwa 75 pegawai bisa dilakukan pembinaan, pendidikan kedinasan, sehingga dia tidak harus keluar dari KPK dan dia bisa menjadi bagian dari pegawai-pegawai terbaik dari pemberantasan korupsi,” ujar Giri.