Ketika Lukisan Emas 24 Karat Disita karena Terkait Korupsi Asabri
Barang seni kini digunakan untuk pencucian uang. Sebanyak 36 lukisan dari emas senilai Rp 109 miliar disita Kejaksaan Agung dari apartemen di Jakarta Selatan sebagai barang bukti terkait dugaan korupsi di PT Asabri.
Belum lama ini penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung, mengangkut 36 lukisan dari Raffles Apartemen, Kuningan Jakarta Selatan, milik salah satu tersangka dugaan korupsi PT Asabri, berinisial JS. Lukisan yang disita bukan sembarang lukisan karena itu semua lukisan emas karya pelukis Kim Il Tae yang dikenal sebagai pelukis dengan emas murni 24 karat.
Ini menjadi bagian dari perburuan penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung mengumpulkan sejumlah aset milik para tersangka yang diduga sebagai bukti tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait dugaan korupsi pengelolaan dana dan keuangan PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Korupsi ini diduga merugikan keuangan negara sekitar Rp 23 triliun.
Berdasarkan hasil pengamatan, penaksiran, dan penilaian terhadap 36 lukisan emas milik tersangka JS, diperoleh taksiran penilaian Rp 109.066.455.304.
Sebelumnya ada aset berupa tanah, properti, kendaraan mewah, perhiasan, dan perusahaan tambang milik beberapa tersangka telah disita penyidik. ”Total aset sitaan sudah mencapai Rp 13 triliun,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah, Jumat (21/5/2021), di Jakarta.
Sementara 36 lukisan emas yang diangkut dari Raffles Apartemen, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, ditaksir senilai Rp 109 miliar. Penaksiran dilakukan Direktur Cemara 6 Galeri-Museum.
”Berdasarkan hasil pengamatan, penaksiran, dan penilaian terhadap 36 lukisan emas milik tersangka JS, diperoleh taksiran penilaian Rp 109.066.455.304,” kata Leonard.
Dikutip dari laman aureo.com, Kim Il Tae lahir di Korea Selatan pada 1956. Bakat seninya berkembang atas bimbingan ibunya yang seorang guru seni. Meski berbakat sejak kecil, Kim Il Tae baru menekuni hasrat seninya di akhir usia 30-an tahun.
Kim Il Tae tercatat pernah melakukan pameran di Jakarta pada tahun 2014. Ketika ditanya alasan melukis dengan emas, dalam wawancara yang dimuat di laman my.asiatatler.com, ia menjawab, ”Emas adalah sesuatu yang sangat murni. Emas abadi dan tidak akan berubah warnanya”.
Sarana pencucian uang
Di dunia telah banyak ditemukan barang seni yang digunakan untuk pencucian uang hasil kejahatan atau korupsi. Di dalam artikel ”The Art of Money Laundering” yang dimuat Finance and Development (September, 2019), Tom Mashberg, jurnalis yang banyak menulis mengenai kejahatan seni dan barang antik, mengatakan, benda seni adalah sarana menarik untuk mencuci uang. Sebab benda seni bisa disembunyikan atau diselundupkan dengan transaksi jual beli yang bersifat pribadi.
Di dunia, telah banyak ditemukan barang seni yang digunakan untuk pencucian uang hasil kejahatan atau korupsi. Di dalam artikel ”The Art of Money Laundering” yang dimuat Finance and Development (September, 2019), Tom Mashberg, jurnalis yang banyak menulis mengenai kejahatan seni dan barang antik, mengatakan, benda seni adalah sarana menarik untuk mencuci uang.
”Dan harga ditentukan secara subyektif, dimanipulasi dan sangat tinggi,” kata Mashberg mengutip mantan jaksa di Amerika Serikat, Peter D Hardy.
Disebutkan, pada 2014, di AS terdapat kasus dengan terdakwa Ronald Belciano. Saat itu polisi menyita uang tunai lebih dari 4 juta dollar AS, sekitar 56 kilogram mariyuana dan 33 lukisan senilai lebih dari 619.000 dollar AS. Jaksa mengatakan, para pengedar narkoba telah menerima karya seni itu sebagai pengganti uang tunai setelah dijanjikan bahwa mereka dapat menjualnya kembali.
Kasus lainnya, seorang bankir dan kolektor seni asal Brasil, Edemar Cid Ferreira, dituduh menggelapkan jutaan dollar dari banknya dan mencoba mencuci uang dengan membeli karya seni mahal, termasuk Hannibal karya Jean-Michel Basquiat. Menurut jaksa federal di New York, Edemar Cid Ferreira telah mencoba menyelundupkan lukisan tersebut beserta sekitar 90 karya seni bernilai tinggi lainnya ke Amerika Serikat menggunakan dokumen yang menyatakan nilai setiap benda tersebut hanya seharga 100 dollar AS.
Pada akhir 2018, Mashberg mencatat, diperkirakan nilai transaksi pada pasar seni global yang dilakukan secara legal mencapai 67,4 miliar dollar AS. Sementara, menurut Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, pasar seni bawah tanah yang mencakup pencurian, pemalsuan, impor ilegal, dan penjarahan terorganisasi nilainya mencapai 6 miliar dollar AS per tahun. Dari jumlah itu, porsi yang dikaitkan dengan pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya berada dalam kisaran 3 miliar dollar AS.
Menghadapi hal itu, Pemerintah AS melalui Undang-Undang Pencegahan Perdagangan Seni dan Barang Antik Terlarang akan mewajibkan dealer barang seni dan barang antik untuk membuat program anti-pencucian uang, menyimpan catatan pembelian tunai, dan melaporkan segala aktivitas ataupun transaksi mencurigakan yang nilainya melebihi 10.000 dollar AS kepada pemerintah federal. Selain itu, industri seni juga akan diminta melihat latar belakang klien serta memeriksa catatan pembelian dan penjualan untuk mengetahui asal uang tersebut.
Di Uni Eropa, melalui Petunjuk Anti-pencucian Uang Kelima, pebisnis benda seni akan diwajibkan meningkatkan pemeriksaan terhadap pelanggan atau klien. Mereka juga diminta upaya untuk memahami sejauh mungkin transaksi yang besar, rumit, atau rahasia dari pelanggan.
Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melelang barang sitaan berupa 12 lukisan pada 2017 terkait perkara suap pembahasan reklamasi di teluk Jakarta dan tindak pidana pencucian uang. Terdapat lukisan yang dibuka dengan penawaran seharga Rp 69,5 juta, Rp 22,5 juta, dan Rp 45 juta. Mengutip laman Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, lelang lukisan tersebut baru pertama kali ditawarkan kepada publik dengan penentuan harga awal dilakukan oleh DJKN Kemenkeu.
Peneliti di Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, pada Sabtu (22/5/2021), menyampaikan, pemanfaatan karya seni untuk pencucian uang bukan hal baru. Hal ini biasanya disebabkan harga sebuah karya seni tidak memiliki nilai mutlak dan karya seni dapat dijual dengan harga setinggi apa pun selama peminat bersedia membayar. Selain itu, budaya kerahasiaan juga masih sangat kental dalam dunia kesenian.
”Pada saat proses lelang atau pembelian, biasanya anonimitas menjadi hal utama sehingga identifikasi terhadap pembeli akan cukup mengalami kesulitan,” kata Alvin.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpandangan, kejahatan korupsi itu unik karena selalu mengikuti perkembangan zaman.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berpandangan, kejahatan korupsi itu unik karena selalu mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu pelaku korupsi menyembunyikan uang dengan membeli aset berupa properti, dengan perkembangan pasar keuangan, bisa jadi mereka menyamarkan hasil kejahatannya melalui instrumen investasi di pasar keuangan.
”Ketika dana yang dikorupsi itu besar, pasti dia akan berupaya mentransformasi uang tersebut ke barang atau aset tertentu yang orang tidak mengira dan kesulitan melacak bahwa barang itu hasil korupsi,” kata Kurnia.
Namun untuk kejahatan suap, lanjut Kurnia, pelaku kejahatan justru akan menggunakan uang tunai karena tidak akan bisa dideteksi otoritas keuangan dan aparat penegak hukum. Itulah sebabnya Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal sangat diperlukan untuk membatasi penggunaan uang tunai sekaligus memperbesar ruang pengawasan.
Kerugian keuangan negara
Koordinator Masyarakat Anti-korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, dalam kasus dugaan korupsi Asabri, penyidik dinilai perlu mendalami kemungkinan adanya aset lain yang terkait dengan kasus tersebut. Sebab, yang penting dalam kasus tersebut adalah sedapat mungkin memulihkan kerugian keuangan negara.
”Semisal aset hotel, terdapat sekitar 6 hotel yang diduga terkait kasus tersebut, tapi baru 3 hotel yang disita. Kemudian ada beberapa aset lain, seperti kendaraan, yang belum disita penyidik. Dalam kasus Asabri ini, Kejaksaan Agung belum se-progresif kasus Asuransi Jiwasraya,” kata Boyamin.
Di dalam kasus Asuransi Jiwasraya, kerugian keuangan negara sekitar Rp 16,8 triliun. Sementara aset yang disita senilai hampir Rp 18 triliun dengan sebagian besar berupa saham. Dalam kasus Asabri, nilai kerugian keuangan negara diperkirakan Rp 23 triliun. Sementara aset yang telah disita penyidik sampai saat ini sekitar Rp 13 triliun.
Menurut Boyamin, dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara, penyidik diharapkan juga menelusuri keterlibatan korporasi. Sebab, kasus Asabri memiliki kesamaan dengan kasus Asuransi Jiwasraya yang telah menetapkan 13 tersangka korporasi berbentuk perusahaan manajer investasi.
”Jadi, menurut saya, masih banyak yang perlu didalami penyidik dalam kasus Asabri, baik orang maupun korporasi. Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan penyidik untuk mendapatkan aset untuk menutup kerugian negara,” ujar Boyamin.
Mampukah penyidik menemukan seluruh aset yang diduga terkait dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri, untuk menutupi seluruh kerugian negara? Kita tunggu.