Serangan Siber pada Pegiat Antikorupsi Tak Sejalan Reformasi
Serangan siber terhadap pegiat antikorupsi bertentangan dengan semangat gerakan reformasi. Kemarin, genap 23 tahun gerakan reformasi berlalu, dan korupsi masih jadi tantangan besar.
JAKARTA, KOMPAS – Serangan siber terhadap pegiat antikorupsi menjadi bentuk baru pembungkaman kebebasan berpendapat yang kian melemahkan gerakan antikorupsi. Hal ini bertentangan dengan gerakan reformasi yang ditandai dengan berakhirnya Orde Baru pada 21 Mei 1998, dan melahirkan Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Jumat (21/5) kemarin, genap 23 tahun gerakan reformasi telah berlalu dan hingga kini korupsi masih menjadi tantangan besar.
Peretasan terhadap sejumlah pegiat antikorupsi terus berlangsung selama sepekan terakhir. Dimulai dengan gangguan pada konferensi pers daring yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Senin (17/5/2021). Jumpa pers digelar untuk mengkritisi tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tes wawasan kebangsaan sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Sejumlah anggota ICW, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lokataru, dan enam mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada dalam acara tersebut diduga menjadi korban teror serangan siber. Mulai dari sabotase konferensi pers di aplikasi Zoom, pengambilalihan akun Whatsapp, Instagram, Gojek, hingga bombardir panggilan dari nomor tidak dikenal.
Teror tidak berhenti pada saat acara diselenggarakan. Serangan serupa masih mendera beberapa orang hingga Kamis (20/5/2021) siang. Bahkan, pada Kamis malam, peretasan pun menyasar pegiat antikorupsi dari kalangan pegawai dan mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baca juga: Serangan Siber Berlanjut ke Pegawai KPK
Mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/5/2021), mengungkapkan, beberapa akun media sosialnya diretas pada Kamis malam. Mulanya, ia mendapatkan pesan di aplikasi Telegram, ada pihak yang berusaha masuk menggunakan akunnya melalui perangkat lain. Perangkat yang dimaksud terdeteksi berada di Jepang.
Selang beberapa menit, Febri mengetahui upaya peretasan serupa juga mendera akun Whatsappnya. Selama beberapa jam, akun tersebut tidak bisa diakses. “Untuk aplikasi Whatsapp, saya mengetahuinya dari surel (surat elektronik). Ada pesan yang memberitahukan bahwa verifikasi dua tingkat atau two step verification di akun saya sudah direset,” katanya.
Febri mengetahui upaya peretasan serupa juga mendera akun Whatsappnya. Selama beberapa jam, akun tersebut tidak bisa diakses. “Untuk aplikasi Whatsapp, saya mengetahuinya dari surel (surat elektronik). Ada pesan yang memberitahukan bahwa verifikasi dua tingkat atau two step verification di akun saya sudah direset,” katanya. (Mantan Jubir KPK)
Menurut Febri, peretasan juga terjadi pada Penyidik KPK Novel Baswedan. Novel mengonfirmasinya melalui pernyataan di akun Twitter @nazaqistsha. Selain Novel, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, juga diretas.
Dikonfirmasi secara terpisah, Sujanarko membenarkan bahwa ada akun akun Telegram yang mengaku sebagai dirinya. Padahal, ia tidak pernah mempunyai akun Telegram. “Jam 20.30 WIB, banyak kolega saya yang menyampaikan (akun Telegram saya) bergabung grup ke masing-masing. Padahal, saya tidak memasang Telegram,” tutur Sujanarko.
Sujanarko menambahkan, pada pukul 22.30, akun Whatsapp miliknya juga diretas. Ia baru bisa masuk ke aplikasi tersebut dua jam setelahnya.
Baca juga: Ancam Demokrasi, Penegak Hukum Didesak Usut Dugaan Peretasan Aktivis Antikorupsi
Bertentangan dengan reformasi
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, serangan siber merupakan bentuk baru pembungkaman kebebasan berpendapat. Serangan bertubi-tubi yang terjadi pada aktivis antikorupsi menandakan bahwa pemberantasan korupsi kini berjalan bertentangan dengan semangat reformasi. Sebagai satu dari salah satu enam agenda besar reformasi, pemberantasan korupsi semestinya diprioritaskan.
Terlebih, korupsi yang terjadi belakangan ini kian masif. Mulai dari tingkat pusat, hingga daerah. Dilakukan oleh pejabat di level tinggi hingga rendah.
“Tantangan gerakan antikorupsi kita semakin besar, seharusnya itu semakin diperkuat. Jadi, energi dan sumber daya yang dimiliki oleh negara digunakan semaksimal mungkin untuk memperkuat gerakan antikorupsi. Siapapun yang mau bergabung dengan upaya itu, seharusnya diberikan tempat yang pantas,” kata Firman.
Namun, kini eksistensi pegiat antikorupsi tidak didukung. Ada upaya yang terus menerus dilakukan untuk menggerus peran mereka. “Ini ironis, menyedihkan. Kita sudah merasakan betapa merusaknya korupsi dan mengapa itu kita perjuangkan dengan menegakkan orde reformasi,” ujar Firman.
Baca juga: Dugaan Peretasan dan "Zoombombing" Usik Konpers Soal 75 Pegawai KPK
Menurut dia, upaya pelemahan gerakan antikorupsi sudah tampak sejak dua tahun lalu. Mulai dari revisi Undang-Undang KPK, pemilihan pimpinan KPK yang kontroversial, kini ditambah pula dengan polemik tes wawasan kebangsaan untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN. Seluruh bentuk pelemahan terhadap KPK sama saja menggerogoti semangat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih sejak 1998.
Padahal, 23 tahun lalu masyarakat melawan Orde Baru untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN.
Padahal, 23 tahun lalu masyarakat melawan Orde Baru untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN. Pemaknaannya pun sangat mendalam, karena mengandung semangat untuk membebaskan diri dari kondisi tersebut. “Itulah raison d’etre atau alasan induk adanya orde reformasi, sehingga tidak boleh ditinggalkan,” tutur Firman.
Firman menilai, jika kondisi ini dibiarkan, demokrasi Indonesia berpotensi jatuh lebih buruk ketimbang masa Orde Baru. Oleh karena itu, ke depan, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bisa berpikir lebih komprehensif mengenai penanganan korupsi. Diperlukan pula penyadaran dan pemahaman bahaya korupsi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, pemerintah saat ini harus berkomitmen mewujudkan visi reformasi. Salah satunya dengan menuntaskan sejumlah kasus peretasan. Sepanjang 2021, Amnesty mencatat setidaknya ada 14 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 26 korban. Korban terbanyak adalah 12 orang aktivis, termasuk mereka yang diretas pada konferensi pers ICW.
“Pemerintah harus menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan visi reformasi dengan menginvestigasi kasus-kasus seperti ini dan melindungi hak warga untuk mengutarakan pendapatnya secara damai, sekalipun pendapat tersebut berbeda dengan pandangan pemerintah,” kata Usman.
Menunggu laporan
Para pegiat antikorupsi yang menjadi korban peretasan mendesak agar penegak hukum mengusut kasus tersebut. Sebab, kejadian berulang ini bisa dianggap sebagai hal yang boleh dilakukan.
“Negara atau pemerintah perlu mengambil sikap terhadap peretasan aktivis antikorupsi. Kalau tidak, negara atau pemerintah abai terhadap premanisme dengan teknologi informasi ini. Dan ini merusak nilai-nilai demokrasi,” kata Sujanarko.
Menanggapi hal itu, Kepala Badan Reserse Kriminal Umum Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mempersilakan para aktivis untuk melaporkan dugaan peretasan tersebut. “Kalau mereka merasa keberatan dan (ada) kerugian yang ditimbulkan, silakan saja melaporkan. Kami pedomani Surat Edaran Kapolri dalam pelaksanaannya,” kata Agus.
Surat edaran yang dimaksud adalah Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Dalam surat tersebut, terdapat prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif) dalam penyelesaian perkara.
“Korban yg harus melaporkan, dibuka ruang untuk mediasi setelah dimintakan pendapat ahli pidana, bahasa, dan ahli lainnya yg diperlukan,” ujar Agus.