Serangan Siber terhadap Aktivis Antikorupsi Terus Terjadi
SAFEnet menyebutkan, serangan siber terhadap sejumlah aktivis antikorupsi masih terus terjadi. Serangan dinilai sebagai bentuk ancaman pada demokrasi sehingga kepolisian seharusnya segera mengusutnya.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan siber terhadap sejumlah aktivis antikorupsi masih terus terjadi. Pelaku serangan ditengarai lebih kompeten daripada peretas yang pernah ditemui pada kasus-kasus serupa sebelumnya. Tak hanya itu, peretasan juga ditengarai sudah dipersiapkan dengan matang. Sejumlah pihak pun terus mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dugaan peretasan tersebut.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, hingga Kamis (20/5/2021) siang, serangan siber terhadap sejumlah aktivis antikorupsi yang hadir saat jumpa pers Indonesia Corruption Watch (ICW), Senin lalu, terus terjadi.
Jumpa pers digelar untuk mengkritisi tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dari tes wawasan kebangsaan sebagai syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). SAFEnet merupakan lembaga yang mengadvokasi anggota ICW dan mantan pimpinan KPK yang hadir saat jumpa pers dan diduga menjadi korban peretasan.
Serangan itu mengganggu akun media sosial milik korban. Akibatnya, sampai saat ini beberapa orang belum bisa menggunakan akun media sosialnya. Namun, Damar menolak menyebutkan identitas korban yang masih diserang. ”Dalam kasus-kasus yang kami advokasi sebelumnya, biasanya tahap mengamankan dan memulihkan bisa dilalui dengan lancar. Namun, kali ini luar biasa,” kata Damar.
Menurut dia, lanjutan serangan itu menandakan bahwa peretas lebih kompeten ketimbang peretas yang pernah ditemui pada kasus-kasus sebelumnya. Serangan ini juga tampak dipersiapkan lebih matang karena menggunakan beberapa modus dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu zoombombing atau gangguan pada Zoom, robocall atau panggilan otomatis terkomputerisasi, serta pengambilalihan akun Whatsapp, Telegram, dan Gojek. Selain itu, robocall yang biasanya menggunakan nomor telepon luar negeri, kali ini dilakukan dengan nomor berurut dari operator lokal.
Matangnya rencana serangan juga tampak dari profil korban yang memiliki kesamaan gagasan dan akan melakukan kegiatan bersama. Artinya, pihak yang hendak meretas sudah mengumpulkan sejumlah informasi tentang mereka.
”Serangan kali ini dirancang secara lebih matang dan kuat. Pesan yang ingin disampaikan juga tercapai, yaitu menggembosi gerakan masyarakat yang mengkritisi tes wawasan kebangsaan dalam alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Damar.
Praktisi forensik digital Ruby Alamsyah menjelaskan, serangan siber yang terjadi pada sekelompok orang dalam momen yang sama memang mengindikasikan bahwa korban sudah ditargetkan sejak awal. Selain itu, modus berbeda yang dilakukan dalam waktu bersamaan mengindikasikan bahwa penyerangan dilakukan oleh beberapa orang.
”Namun, itu semua baru bisa dibuktikan dengan analisis digital forensik terhadap seluruh barang bukti digital milik korban. Kalau itu dilakukan oleh penegak hukum atau pihak yang mereka percaya, itu bisa dipastikan dari mana sumbernya, metode yang digunakan apa, menggunakan software apa saja, itu bisa ditelusuri,” kata Ruby.
Oleh karena itu, ia mengimbau pegiat antikorupsi yang diduga diretas untuk segera meminta analisis digital forensik dari pihak yang mereka percaya. Hasil analisis nantinya bisa menjadi bukti yang kuat untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah, mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk menindaklanjuti dugaan peretasan. ”Direncanakan, kami akan meminta bantuan pihak ketiga untuk menguji forensik perangkat-perangkat yang diretas,” katanya.
Akan tetapi, pelaporan kepada kepolisian masih dipertimbangkan. ICW khawatir, pengusutan nantinya dilakukan secara tidak transparan.
Tidak tebang pilih
Damar mengatakan, dugaan peretasan ini semestinya menjadi perhatian khusus bagi penegak hukum. Pengusutan harusnya bisa dilakukan meskipun belum ada laporan resmi dari para korban.
Apalagi, kejadian ini bukan pertama kali. Catatan SAFEnet, sepanjang 2020, ada 147 serangan serupa. Dari semua kejadian, sebagian besar disebutnya belum terungkap. SAFEnet pun pernah melaporkan enam kasus peretasan ke kepolisian. Namun, belum ada tindak lanjutnya hingga saat ini.
Pada 2019 sejumlah akademisi antikorupsi juga diduga diretas saat menggelar forum penolakan revisi Undang-Undang KPK di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat itu, para akademisi menilai muatan revisi bakal melemahkan KPK.
”Kasus-kasus serangan digital seperti ini jika dibiarkan tidak ditangani akan menimbulkan kesan ada tebang pilih dan impunitas kepada para pelaku yang akan menganggap normal serangan semacam ini. Padahal, jelas serangan ini adalah upaya penggembosan gerakan masyarakat sipil dan merugikan demokrasi,” ujar Damar.
Menurut Ruby, pengusutan dugaan peretasan dengan metode analisis digital forensik pun bukan hal yang sulit dilakukan. Saat ini, banyak pihak yang sudah bisa melakukannya, termasuk penegak hukum.
Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan membenarkan, kepolisian bisa menyelidiki sebuah kasus tanpa ada laporan dari masyarakat. Namun, pihaknya harus lebih dahulu memiliki bukti. ”Ketika menemukan bukti awal yang cukup, Polri akan membuat laporan polisi model A, sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan lanjutan,” ujarnya.