KKB Dilabeli Teroris, Polri Klaim Densus Bisa Lebih Berperan
Pemerintah telah menetapkan KKB di Papua sebagai kelompok teroris. Dengan labelisasi teroris, Polri mengklaim Densus 88 Antiteror bisa mencari siapa penyokong KKB, siapa yang mendanai, dan siapa pemasok senjatanya.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian menyebut pelabelan teroris bagi anggota kelompok kriminal bersenjata atau KKB dilakukan agar penegak hukum dapat menangani masalah tersebut hingga ke akar-akarnya, termasuk menjerat pihak-pihak yang memasok persenjataan KKB. Dengan penetapan KKB sebagai teroris, detasemen khusus yang menangani terorisme bisa ”masuk” menangani kelompok tersebut.
Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komisaris Jenderal Paulus Waterpauw mengungkapkan, label teroris diberikan karena perbuatan KKB kian mengerikan. Saat ini, target serangan bukan lagi hanya aparat, melainkan juga warga seperti guru dan siswa.
”Perbuatan mereka sangat mengerikan. Label teroris itu bukan untuk masyarakat Papua, melainkan untuk kelompok pembuat teror. Dengan labelisasi teroris itu, paling tidak bisa dicari siapa yang menyokong mereka, siapa yang mendanai mereka. Dengan demikian, Densus (88 Antiteror) bisa masuk ke situ. Karena aneh, itu dana dari mana?” ujar Waterpauw dalam simposium nasional bertema ”Dialog Papua: Refleksi, Visi, dan Aksi” yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stategik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Senin (10/5/2021), di Jakarta.
Selain Waterpauw, hadir sebagai narasumber Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo, dan tokoh Papua, Freddy Numberi. Hadir pula Direktur Eksekutif Institute for Peace and Security Studies Sri Yunanto, dosen kajian ketahanan nasional SKSG U, Margaretha Hanita, dan peneliti masalah Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Pamungkas.
Sepanjang 2021, Polri mencatat ada 18 kasus penembakan dan kontak senjata dengan korban 13 orang meninggal (1 kabinda, 1 Polri, 4 TNI, dan 7 masyarakat) dan delapan orang luka (2 Polri, 3 TNI, dan 3 masyarakat). Sementara 19 anggota KKB ditindak sepanjang 2021, dengan rincian 11 meninggal dan 8 ditangkap, sedangkan 24 orang lainnya menyerahkan diri.
Selain korban jiwa, serangan KKB juga mengakibatkan rusaknya sejumlah properti karena dibakar, seperti satu pesawat, lima sekolah, dua asrama guru, dan enam rumah warga.
Terkait pelabelan teroris, Freddy Numberi menilai, hal itu merupakan suatu shock terapy atau terapi kejut bagi pelaku kekerasan di Papua. Menurut dia, skala teror yang dilakukan KKB saat ini sudah meningkat dan meluas. Awalnya, kelompok tersebut hanya pada tingkatan melawan aparat keamanan.
Namun, kemudian skala serangan yang dilakukan meluas menjadi membakar sekolah, rumah, dan fasilitas umum lainnya. Oleh karena tingkat eskalasi konflik sudah berubah, Undang-Undang Pemberantasan Terorisme kemudian digunakan.
”Manakala rumusan (konfliknya) adalah pasukan pembangkang, TNI bisa masuk. Kalau label teroris, polisi yang dikedepankan dengan back up TNI. Dengan catatan, bilamana eskalasinya meningkat, TNI boleh maju lagi, tetapi dengan ’bungkus’ yang jelas. Kalau kriminal saja atau teroris saja, itu urusan polisi,” ujar Freddy.
Ia sepakat dengan Waterpauw bahwa dengan pelabelan teroris, persoalan tersebut bisa diselesaikan secara tuntas hingga akar-akarnya. Misalnya, siapa penyumbang dana atau pihak yang memasok senjata.
”Apakah ada impor senjata langsung? Itu pertanyaannya juga. Harusnya bertanya itu berlangsung, dari mana orang-orang ini mendapatkan senjata. Berarti ada yang beli senjata. Ada yang kasih uang mereka untuk beli senjata. Kalau mereka mencuri dari gudang senjata, gudang senjata mana yang mereka bongkar. Pernah terjadi iya, tetapi habis itu tidak, kan?” katanya.
Hanya saja, ia mengingatkan ada dampak ikutan dari pelabelan tersebut yang harus dijaga. Dalam operasi militer atau operasi apa saja, ada potensi terjadi salah tangkap, salah tembak, muncul kasus-kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan atau perempuan. ”Itu masuk rumpun pelanggaran HAM. Jadi, harus hati-hati dalam pelabelan teroris dan implementasinya,” kata Freddy.
Pemetaan
Paulus Waterpauw mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan pemetaan pergerakan separatisme Papua. Selama ini, gerakan tersebut menggunakan soft approach dan hard approach secara konsisten dengan militansi tinggi.
Dalam peta separatisme Papua yang dijabarkan dalam diskusi, Waterpauw menyebut adanya beberapa kelompok, di antaranya kelompok diaspora Papua, yang selalu membawa permasalahan Papua ke berbagai negara, seperti Oktovianus Mote di Amerika Serikat, Jacob Rumbiak (Australia), Rex Rumakiek (Vanuatu), Leonnie Tanggahma (Belanda), dan Benny Wenda (Inggris). Benny Wenda dengan kelompoknya, ULMWP, disebut berkolaborasi dengan media, gereja, badan eksekutif mahasiswa, AMPTI, Aliansi Mahasiswa Papua, dan KKB.
Khusus untuk KKB, dijelaskan ada empat kabupaten yang rawan gangguan KKB, yaitu Intan Jaya, Mimika, Puncak, dan Nduga. Ada tiga kelompok KKB di Intan Jaya, yaitu kelompok Sabinus Waker, Undius Kogoya, dan Lewis Kogoya. Sementara di Kabupaten Puncak terdapat lima kelompok KKB yang terdiri dari Goliat Tabuni, Lekagak Telenggen, Peni Munib, dan Ardo Waker. Di Mimika terdapat satu kelompok KKB pimpinan Joni Botak dan di Nduga terdapat satu kelompok, yaitu Egianus Kogoya.
Terkait dengan pemetaan konflik di Papua, Cahyo Pamungkas mengatakan, ada kompleksitas persoalan dan aktor-aktor politik di Papua. Gerakan separatis atau pemisahan diri itu dilakukan melalui gerakan sipil ataupun bersenjata.
Namun, setelah tahun 2000, ada transformasi gerakan bersenjata menjadi gerakan sipil yang melibatkan sejumlah kelompok, mulai dari Presidium Dewan Papua, West Papua National Authority, West Papua Coalition Liberation Front, Negara Federal Papua Barat, Parlemen Nasional West Papua, dan yang terakhir wadah koordinasi gerakan politik, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Cahyo yang telah melakukan penelitian yang kemudian dituliskan dalam Papua Roadmap mengungkapkan, ada tiga kategori aktor dalam konflik Papua, yaitu kelompok biru (pro-NKRI), kelompok tengah, dan kelompok merah. ”Dari hasil penelitian 2015, semakin ke sini semakin banyak kelompok tengah yang ke kanan. Di kelompok merah, banyak pergerakan politik seperti yang dilakukan oleh banyak ormas yang disebutkan Bapak Baintelkam tadi,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan konflik Papua, ia merekomendasikan perlunya pendekatan dialogis yang dilakukan secara inklusif dan komprehensif, dengan membahas agenda bersama dengan kelompok yang memiliki legitimasi dan komitmen bersama. ULMWP menjadi salah satu pihak yang signifikan untuk diajak berdialog secara politik.
Margaretha sepakat pentingnya berdialog. Menurut dia, KKB merupakan salah satu pihak yang perlu diajak berdialog. Persoalannya, dengan penetapan KKB sebagai teroris, perlu dipikirkan apakah peluang dialog dengan pihak-pihak tersebut masih ada ataukah tidak.