Mahfud MD: Pelabelan Teroris KKB Papua atas Usulan Berbagai Kalangan
Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan, keputusan pemerintah mengategorikan KKB di Papua sebagai organisasi teroris berdasarkan usulan dari berbagai pihak, termasuk tokoh di Papua, dan telah melalui diskusi yang panjang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengungkapkan, keputusan pemerintah mengategorikan kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua sebagai organisasi teroris berdasarkan usulan dari berbagai pihak, termasuk dari sejumlah tokoh di Papua. Keputusan itu pun telah melalui diskusi yang panjang. Pemerintah lantas memenuhinya karena KKB tidak berhenti bertindak brutal sekalipun pendekatan-pendekatan, termasuk pendekatan kesejahteraan, telah diupayakan.
Mahfud MD dalam rapat koordinasi secara virtual dengan pimpinan MPR, Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN), di Jakarta, Senin (3/5/21), menyampaikan, pada Desember 2019 atau dua bulan setelah dilantik menjadi Menko Polhukam, ia telah didatangi sejumlah tokoh masyarakat yang mengusulkan agar penyelesaian masalah Papua lebih tegas. Mereka juga mengusulkan agar KKB dimasukkan dalam daftar organisasi teroris.
Namun, pemerintah tidak langsung memenuhi usulan itu. Akhir Desember, dirinya bersama Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, dan Kapolri berkunjung ke Papua untuk melihat dan berdialog langsung dengan tokoh-tokoh Papua. Dalam dialog itu, sejumlah tokoh juga menyuarakan agar pemerintah lebih tegas dalam menghadapi KKB. Bahkan, menurut dia, ada pula yang mengusulkan agar KKB masuk organisasi teroris.
Dari hasil kunjungan itu, pemerintah belum memutuskan KKB untuk dimasukkan organisasi teroris. Mahfud lebih memilih mengusulkan agar Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat direvisi agar penyelesaian masalah Papua dengan pendekatan kesejahteraan lebih komprehensif.
Usul ini diterima Presiden Joko Widodo sehingga terbit Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020. Selain itu, bersamaan dengan akan habisnya waktu berlaku otonomi khusus Papua, pemerintah juga mengajukan revisi UU Otonomi Khusus Papua. Di dalamnya, pendekatan pemerintah untuk Papua masih mengedepankan kesejahteraan, salah satunya menaikkan anggaran otonomi khusus. Saat ini pembahasan revisi UU Otsus Papua masih berlangsung di DPR.
Namun, sekalipun pemerintah telah mengupayakan pendekatan-pendekatan yang mengedepankan kesejahteraan, kekerasan oleh KKB masih terus terjadi. Tiga tahun terakhir, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, 95 orang, terdiri dari masyarakat sipil, prajurit TNI, dan polisi, meninggal karena kekerasan oleh KKB. Adapun jumlah korban luka mencapai 110 orang. Ini juga terdiri atas warga sipil, prajurit TNI, dan polisi.
Karena itu, pemerintah pada akhir April lalu memutuskan mengategorikan KKB sebagai kelompok teroris.
”Karena pendekatan halus sudah puluhan tahun dan sudah bisa dipilih mana yang bisa diajak halus dan mana yang teroris. Sebanyak 90 persen lebih bahkan tak ada masalah dengan Republik Indonesia dan kebijakan NKRI. Yang lain sudah dilakukan pendekatan, tetapi tetap nakal dan membahayakan banyak orang,” tambah Mahfud.
Dengan penetapan KKB sebagai kelompok teroris, Mahfud melanjutkan, aparat keamanan diminta bertindak cepat, tegas, dan terukur terhadap KKB.
”Bahwa sekarang ada kontroversi dengan penetapan KKB sebagai teroris ini, itu sudah biasa. Ada pro dan kontra. Tetapi, mohon juga dipahami karena yang mendukung keputusan pemerintah ini banyak. Belum lagi tindakan KKB yang tak henti-hentinya melakukan kekerasan,” katanya.
Negara harus hadir
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, rangkaian kejadian kekerasan oleh KKB dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa aksi KKB mempunyai karakteristik yang mengkhawatirkan. Serangan dilakukan secara intens, menimbulkan korban jiwa, serta menyasar target yang bersifat acak, yaitu guru, tukang ojek, pelajar, anggota DPR Papua, dan aparat keamanan. Kemudian disertai perusakan fasilitas publik dan tempat tinggal serta menciptakan ketakutan dan teror terhadap kehidupan rakyat.
”Mustahil membangun bumi Papua jika eskalasi aksi kekerasan tidak kunjung usai. Negara harus hadir memastikan hak rakyat Papua menikmati hasil pembangunan, tidak terberangus oleh ancaman sekelompok orang,” katanya.
Oleh karena itu, sekalipun pendekatan lunak tetap diutamakan, saat kondisi memaksa, tindakan tegas dan terukur harus diimplementasikan melalui tindakan represif. ”Demi melindungi rakyat Papua,” tambahnya.
Politisi asal Partai Golkar ini berpandangan, untuk menumpas KKB, TNI-Polri harus menerjunkan kekuatan penuh.
”Setelah memukul mundur dan menguasai kembali berbagai desa dari cengkeraman para teroris KKB, pemerintah perlu memasifkan kembali pembangunan di Papua sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2020 dan Keppres Nomor 20 Tahun 2020. Selain juga melakukan berbagai operasi bakti kesejahteraan. Anggota TNI dan Polri, misalnya, dapat ditugaskan sebagai guru dan membangun kembali fasilitas umum yang rusak. Karena merebut hati dan pikiran masyarakat lokal Papua adalah cara terbaik memulihkan kembali kondisi damai di Papua,” ujarnya.
Putri dari Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, mengingatkan, polemik kebijakan pemerintah terhadap KKB jangan sampai menggeser fokus negara dalam upaya mewujudkan masa depan Papua yang sejahtera. Ia pun meyakini pendekatan kekerasan dalam hal apa pun tidak akan menyelesaikan persoalan, termasuk di Papua. Yang berpotensi terjadi justru lingkaran kekerasan baru yang menimbulkan trauma, terutama bagi generasi masa depan.
Meski demikian, bukan berarti negara tidak bisa bersikap tegas. ”Di sini saya perlu garis bawahi bahwa ketegasan berbeda dengan kekerasan. Ketegasan tetap wajib ditunjukkan terhadap hal-hal berkaitan dengan pelanggaran hukum dan konstitusi. Lebih-lebih terhadap tindakan yang dengan sengaja berusaha menginjak-injak nilai kemanusiaan itu sendiri,” katanya.