Bentuk Tim Penyidik ”Ad-Hoc” untuk Tindak Lanjuti Penyelidikan Komnas HAM
Pembentukan tim penyidik ”ad hoc” untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Jaksa Agung dibutuhkan untuk melanjutkan penyelidikan yang telah tuntas dilakukan oleh Komnas HAM.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan tim penyidik ad hoc oleh Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke tahap penyidikan diperlukan untuk menyelesaikan 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Direktur Imparsial Al Araf saat dihubungi, Jumat (23/4/2021), mengatakan, pembentukan tim penyidik ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dibutuhkan untuk melanjutkan penyelidikan yang telah tuntas dilakukan oleh Komnas HAM.
Namun, Kejaksaan Agung dinilai gagal untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan dari Komnas HAM tersebut. Beberapa kali berkas yang dikirim Komnas HAM ke Kejaksaan Agung dikembalikan karena dianggap tidak lengkap.
”Bolak-baliknya berkas yang telah dilimpahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung itu hanya memperpanjang rantai impunitas para pelaku dan memperbesar potensi pelanggaran HAM terulang lagi,” kata Araf.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, tim penyidik ad hoc telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tim penyidik ad hoc tersebut dibentuk oleh Jaksa Agung. Di dalamnya terdiri dari unsur kejaksaan dan non-kejaksaan, termasuk masyarakat. Tim tersebut akan memutuskan langkah penyidikan termasuk jika ada bukti yang dianggap tidak mencukupi sehingga kasus harus dihentikan. Namun, sebelum itu, harus ada langkah penyidikan terlebih dahulu, yaitu dengan mengumpulkan bukti, memanggil orang, dan memeriksa tempat terjadinya perkara.
”Selama tim penyidik ad hoc belum dibentuk Jaksa Agung, berkas kasus pelanggaran HAM berat akan tetap seperti saat ini, bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Jaksa Agung sebagai penyidik akan meminta Komnas HAM melengkapi berkas penyelidikan karena dianggap kurang, sementara Komnas HAM menyatakan bahwa berkas penyelidikan sudah cukup. Padahal, permintaan Jaksa Agung merupakan ranah penyidik, bukan penyelidik,” tutur Usman, (Kompas, 27 Maret 2021).
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar juga mendorong pembentukan tim penyidik adhoc. Dengan demikiandiharapkan dapat memberikan harapan pada langkah maju penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus seharusnya bisa dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan. Setelah itu, baru diketahui apakah kasus layak dilanjutkan atau tidak.
Wahyudi juga menuturkan, jangan sampai percepatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hanya menjadi komoditas isu yang digulirkan di setiap periode pemerintahan.
Al Araf menambahkan, tim penyidik ad hoc harus bekerja berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Sudah saatnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dilakukan secara sistematis dan terencana agar permasalahan bolak-baliknya berkas kasus antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung tidak terjadi lagi.
”Pembentukan tim penyidik ad hoc ini juga bisa menjadi pembuktian janji pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Jangan hanya sebatas janji semata, tetapi harus ada realisasi konkret untuk menjawab keadilan bagi korban,” kata Araf.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, pembentukan tim penyidik ad hoc merupakan kewenangan dari Jaksa Agung. Jadi, sekarang bola penyelesaian hukum kasus HAM masa lalu sepenuhnya ada pada Jaksa Agung. Jika memiliki komitmen untuk merealisasikan amanat UU Pengadilan HAM, Jaksa Agung akan membentuknya.
”Sesuai hak dari Komnas HAM, kami berharap penyelidikan yang sudah diselesaikan oleh kami segera dituntaskan. Semua itu telah menjadi ranah dari aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung. Kami juga menunggu bagaimana strategi penyelesaiannya,” kata Beka.
Beka menambahkan, Komnas HAM merasa penyelidikan yang disusun telah selesai dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi mereka sebagai penyelidik. Adapun permintaan perbaikan yang diminta kejaksaan bukan lagi menjadi kewenangan Komnas HAM, melainkan kejaksaan.
”Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo beberapa kali menyampaikan janji dan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini. Apalagi, yang terbaru juga ada dorongan dari Komisi III DPR untuk mencari terobosan dari penyelesaian nonyudisial. Kami menunggu langkah dari Kejaksaan Agung untuk penyelesaian yudisialnya,” kata Beka.
Saat ini, pemerintah masih memiliki utang penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kasus-kasus itu, di antaranya, peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari Lampung 1998; peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II; peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999; dan peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003.