Pengujian UU KPK Hasil Revisi, Setelah 1,5 Tahun Berlalu...
Sudah 1,5 tahun UU KPK hasil revisi diuji ke Mahkamah Konstitusi. Namun, MK belum kunjung memutus permohonan uji formil dan materi UU KPK. Muncul banyak tanya dan spekulasi, mengapa pengujian UU KPK di MK begitu lama?
Sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi disahkan pada September 2019, gelombang uji materi ke Mahkamah Konstitusi membeludak. Namun, hingga 18 bulan sejak permohonan, MK belum kunjung memutus perkara tersebut. Muncul banyak tanya dan spekulasi, mengapa pengujian UU KPK di MK begitu lama?
Sudah 1,5 tahun berlalu, sejak para pemohon meminta MK menguji konstitusionalitas UU KPK hasil revisi. Total ada tujuh perkara yang diregistrasi di MK, meliputi uji formil dan materiil yang diajukan berbagai elemen masyarakat, termasuk oleh mantan unsur pimpinan KPK; Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang.
Uji formil diajukan karena pembentukan UU KPK dinilai cacat prosedur. Sementara uji materi, diajukan di antaranya karena ada pasal yang mengatur soal izin penyadapan harus melalui Dewan Pengawas KPK dan masuknya KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif.
Permohonan oleh tiga mantan unsur pimpinan KPK misalnya sudah diajukan sejak 20 November 2019. Perkara itu kemudian diregistrasi 26 November 2019 dengan nomor perkara 79/PUU-XVII/2019. Hingga saat ini, pemeriksaan perkara itu sudah mencapai 17 bulan. Padahal, sepanjang 2020, rata-rata waktu yang dibutuhkan MK untuk menyelesaikan perkara hanya 93 hari atau 4,4 bulan.
Jika ditelusuri melalui fitur case tracking di situs mkri.id, uji materi UU KPK sudah sampai pada tahapan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Namun, tidak ada informasi detail mengenai kapan RPH pertama kali dilakukan. Saat dikonfirmasi, Selasa (20/4/2021), juru bicara MK, Fajar Laksono Suroso, tidak memberikan jawaban soal itu.
Fajar hanya menjelaskan mengapa proses penyelesaian perkara pengujian UU KPK terkesan lama. Pertama, perkara itu membutuhkan proses persidangan yang panjang. Mulai dari pemeriksaan pendahuluan, hingga keterangan ahli atau saksi sebagaimana dikehendaki para pemohon.
Berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya sudah digelar 12 kali persidangan sejak Desember 2019-23 September 2020. MK menentukan batas akhir Penyerahan Kesimpulan para Pihak pada 1 Oktober 2020.
”Usai persidangan perkara a quo selesai, MK melakukan pembahasan dalam RPH. Namun, belum usai pembahasan, MK sudah harus memasuki masa penanganan perselisihan hasil pilkada mulai 23 Desember 2020. Mengingat perkara perselisihan hasil pilkada harus selesai dalam jangka waktu 45 hari kerja sejak permohonan diregistrasi, maka praktis MK fokus dan berkonsentrasi penuh mengadili perkara perselisihan hasil pilkada,” kata Fajar.
Berdasarkan risalah persidangan, sekurang-kurangnya sudah digelar 12 kali persidangan sejak Desember 2019-23 September 2020. MK menentukan batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak pada 1 Oktober 2020.
Fajar menjelaskan, apabila dihitung sejak batas akhir penyerahan kesimpulan para pihak yaitu 1 Oktober-23 Desember 2020, MK melakukan pembahasan perkara dalam RPH dalam jangka kurang dari tiga bulan.
Jangka waktu itu dinilai masih wajar mengingat isu konstitusional perkara tersebut membutuhkan konsentrasi, kecermatan, kehati-hatian, serta diskusi panjang di antara hakim konstitusi.
Sementara itu, hakim konstitusi MK, Enny Nurbaningsih, juga mengatakan, pemeriksaan perkara pengujian UU (PUU) di MK memang sempat tertunda selama hampir 3,5 bulan karena ada sengketa hasil pilkada serentak 2020. Mulai pekan ini, MK sudah memeriksa kembali perkara PUU. Dia meminta agar masyarakat menunggu proses di MK sampai putusan dibacakan.
Baca juga: Sudah Setahun, MK Didesak Segera Putus Uji Formil UU KPK
”MK telah kembali fokus menyelesaikan PUU baik uji formil dan materiil. Mohon ditunggu supaya kami bisa fokus dengan putusan PUU tersebut,” kata Enny.
Pada akhir November 2020, Enny mengatakan, pengujian UU KPK masih berproses. Sesuai Pasal 54 UU MK, proses sidang memerlukan beberapa tahapan, seperti pemeriksaan saksi dan ahli. Proses tersebut memakan waktu hingga sampai pada tahap penyampaian kesimpulan dan RPH.
Ia memastikan, pemeriksaan pengujian UU KPK sesuai dengan prosedur. Tak ada niatan dari MK untuk menunda-nunda proses penanganannya. ”Tidak ada unsur menunda atau niatan menunda, tidak ada sama sekali,” tuturnya.
Terang benderang
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode M Syarif mempertanyakan mengapa pengujian UU KPK yang dia ajukan bisa memakan waktu lama. Padahal, menurut dia, dalam permohonan uji formil UU KPK, cacat prosedur pembentukan UU itu dapat dilihat secara terang benderang.
Jika dilihat dari asas pembentukan perundang-undangan yang baik, banyak prosedur dan tahapan yang dilanggar. Sesuai UU No 12/2011 yang telah direvisi menjadi UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, untuk membuat atau merevisi UU, lebih dahulu harus ada naskah akademik, konsultasi dengan pihak terkait dalam hal ini KPK, dan melibatkan partisipasi publik.
Namun, faktanya, kata Laode, dalam revisi UU KPK tidak ada unsur-unsur tersebut yang dipenuhi. KPK yang merupakan obyek atau lembaga yang diatur dalam UU itu pun tidak dilibatkan dalam pembahasan.
Saat pimpinan KPK berusaha meminta ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, RUU KPK itu juga tidak diberikan.
Bahkan, Laode menuturkan, saat pimpinan KPK berusaha meminta ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, RUU KPK itu juga tidak diberikan. Pimpinan KPK hanya dijanjikan akan diundang ke DPR untuk pembahasan. Namun, hingga UU itu disahkan, KPK tak pernah diundang ke DPR.
Proses pembahasan hingga pengesahan UU KPK itu hanya memakan waktu sekitar dua pekan. Selain itu, diduga saat pengesahan UU KPK, jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang juga tak memenuhi syarat kuorum.
”Dari sisi hukum acaranya perkara uji formil revisi UU KPK ini gampang dan terang benderang. Semua prosedur formil pembentukan UU dilanggar sehingga perkara ini clear cut. Saya heran mengapa (putusannya) memakan waktu lama sekali,” kata Laode.
Belum ada parameter pengujian
Mantan hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, mengatakan, penyelesaian perkara uji formil sebenarnya bisa lebih cepat karena yang diuji hanya prosedur pembentukan UU. Unsur pembuktian perkara pun dinilai lebih sederhana dibandingkan jika harus memutus substansi norma yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Namun, sejak dirinya menjabat sebagai hakim konstitusi hingga tahun 2020, MK belum memiliki kesepakatan mengenai parameter pengujian syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam pembentukan UU. Syarat itu pun belum disepakati apakah sifatnya kumulatif atau bisa alternatif.
”Jangan-jangan, tidak adanya parameter pengujian untuk menyatakan bahwa suatu UU harus memenuhi syarat formil itulah yang membuat lama penyelesaian perkara,” kata Palguna.
MK belum memiliki kesepakatan mengenai parameter pengujian syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam pembentukan UU. Syarat itu pun belum disepakati apakah sifatnya kumulatif atau bisa alternatif.
Menurut Palguna, meskipun memiliki kewenangan menguji perkara formil UU, MK sampai saat ini masih belum tegas mengenai batu ujinya. MK harus merujuk pada peraturan di atas UU, yaitu UUD 1945. Sementara itu, pasal-pasal di UUD 1945 dinilai tidak secara rinci mengatur mengenai prosedur pembentukan UU.
Oleh karena itu, para hakim konstitusi seharusnya segera membuat kesepakatan mengenai parameter pengujian formil UU. MK harus menafsirkan konstitusi dan menemukan sendiri parameter yang sesuai untuk pengujian formil. Dengan tren uji formil yang meningkat saat ini, MK harus bisa membuat terobosan hukum sehingga lebih serius dalam pengujian formil UU.
Selain itu, menurut Palguna, permohonan perkara yang dicampur antara uji formil dan uji materiil terkadang juga bisa membuat penyelesaian perkara lebih lama. Para pemohon kerap menggunakan strategi itu agar jika uji formil ditolak, mereka masih bisa mempersoalkan konstitusionalitas pasal-pasal tertentu.
Namun, bagi hakim, apabila perkara digabungkan, tentu membutuhkan waktu pemeriksaan yang lebih lama. Sebab, hakim harus menguji secara prosedural dan substansi norma-norma pasal yang diuji.
Lebih lanjut, Palguna menerangkan, cepat atau lamanya penyelesaian pengujian UU, juga sangat ditentukan oleh kompleksitas perkara. Pengalamannya di MK, beberapa perkara yang sulit, membutuhkan sampai lima kali RPH. Padahal, satu kali RPH bisa berselang dua pekan, tergantung dari banyaknya perkara yang ditangani MK. Dengan asumsi itu, RPH untuk perkara yang kompleks bisa memakan waktu 10 minggu atau 2,5 bulan.
”Lamanya RPH ini tidak bisa ditentukan karena sangat bergantung pada kompleksitas perkara. Yang bisa diukur itu hanya batas maksimal sejak RPH selesai sampai putusan dibacakan. Karena itu, biasanya proses drafting saja sehingga bisa ditagih,” ujar Palguna.
Prioritaskan perkara lama
Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda, mengatakan, panjangnya proses pemeriksaan tak terlepas dari banyaknya saksi dan ahli yang dihadirkan dalam perkara tersebut. Selain itu, sidang juga sempat tertunda karena pandemi Covid-19 di awal tahun 2020. Setelah itu, pada akhir 2020-awal 2021, MK juga harus menangani sidang perselisihan hasil pilkada.
Meskipun demikian, ia tetap berharap perkara uji formil dan materiil UU KPK segera diputus. MK diharapkan lebih efisien dalam memeriksa perkara. Namun, di sisi lain, juga jangan sampai kualitas pembuktian tereduksi.
Menurut Violla, salah satu kunci mengefisienkan penanganan perkara di MK yaitu dengan mengatur tenggat rapat permusyawaratan hakim (RPH) dan penyusunan dokumen putusan.
”Kami pernah ada pengalaman di pengujian UU Pilkada tahun 2019. Sidang terakhir pada Oktober 2019, RPH digelar akhir Oktober 2019, tetapi pembacaan putusan baru Desember 2019. Kami berharap, setelah ada putusan, bisa segera disusun sehingga bisa segera dibacakan di persidangan,” ujar Violla, yang juga anggota tim kuasa hukum uji materi UU KPK.
Terkait dengan lamanya pemeriksaan uji formil dan materiil UU KPK, Palguna mengingatkan MK agar perkara-perkara yang lama, terutama yang sudah berulang tahun, agar lebih diprioritaskan untuk segera diputus.
Sebab, lamanya penyelesaian perkara dapat berdampak pada munculnya spekulasi yang tidak sehat. Apalagi, jika UU yang diuji adalah UU yang mendapatkan sorotan masyarakat, seperti UU KPK, UU MK, dan UU Cipta Kerja.
”Perkara-perkara lama itu harus jadi perhatian serius MK untuk segera diputus. MK juga harus menjawab harapan publik,” kata Palguna.