Sandi Yudha, Kemampuan Rahasia Kopassus
Doktrin Sandi Yudha menjadi salah satu kunci keberhasilan operasi-operasi Kopassus beberapa waktu lalu. Namun, kini zaman berubah, cara berperang ke depan pun berubah, Kopassus dituntut untuk berevolusi.
Paruh pertama tahun 1996, ada 24 anggota tim Ekspedisi Lorentz, tujuh di antaranya warga negara asing, disandera Kelly Kwalik di Mapenduma, Papua. Operasi Pembebasan Sandera digelar, sebagian besar merupakan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Situasi yang dihadapi tidak mudah. Medan yang luas berupa hutan padat dan gunung serta suhu yang dingin. Sementara kelompok Kelly Kwalik menguasai wilayah seperti halaman rumahnya sendiri. Mereka terus berpindah. Kunci operasi adalah kalau tim bisa menemukan penculik dan sandera.
Zacky Makarim, yang ikut operasi itu bercerita, tim yang dipimpin Danjen Kopassus Prabowo Subianto telah menggunakan drone (pesawat nirawak). Drone produksi tercanggih Israel saat itu banyak digunakan dalam pertempuran-pertempuran di Timur Tengah.
”Masalahnya, drone itu kan didesain untuk operasi di gurun. Nah ini di pegunungan hutan tropis yang rapat dan gelap. Kita pakai heat sensor. Tapi heat sensor kan tidak bisa bedakan kerumunan orang dan hewan,” kata purnawirawan mayor jenderal itu.
Singkatnya, alat deteksi canggih itu gagal. Akan tetapi, operasi tetap dilakukan dan berhasil membebaskan sandera pada 15 Mei 1996. Menurut Zacky, operasi berhasil berkat kemampuan Sandi Yudha. Sandi Yudha adalah salah satu kemampuan yang harus dimiliki setiap prajurit Kopassus. Sandhi Yudha meliputi kemampuan intelijen dan bertempur.
Baca juga: 69 Tahun Kopassus, Ketangguhan Pasukan Baret Merah
Doktrin
Doktrin Kopassus mengharuskan prajurit Kopassus memiliki kemampuan melaksanakan Operasi Para Komando (Parako)—pasukan terjun yang terlatih bertempur di semua medan—Operasi Sandi Yudha, dan Operasi Penanggulangan Teror. Sebagai perbandingan dengan struktur militer AS, para komando setara dengan pasukan ranger, penanggulangan teror setara dengan Delta Force, dan Sandi Yudha setara dengan Special Force. Sementara, The United States Army Special Operations Command (USASOC) adalah organisasi yang setara dengan Kopassus.
Sekitar lima tahun yang lalu, Kopassus mengubah organisasinya untuk menghadapi tantangan perang yang modern. Awalnya, organisasi Kopassus terdiri dari Grup 1 Para Komando (Parako) di Serang, Grup 2 Parako di Solo, Grup 3 Sandi Yudha, Satuan-81 Penanggulangan Teror di Jakarta, dan Pusat Pendidikan Kopassus di Batujajar. Setelah reorganisasi, Grup 2 yang tadinya berkualifikasi Parako dengan kemampuan seputar penghancuran musuh, perebutan, dan penculikan diubah menjadi Sandi Yudha. Dengan demikian, saat ini Kopassus memiliki dua grup Sandi Yudha dan satu grup Parako. Sandi Yudha memiliki kualifikasi intelijen, seperti perang rahasia, infiltrasi, dan kontragerilya dengan metode perang psikologi memenangi hati dan pikiran masyarakat.
Sandi Yudha memiliki kualifikasi intelijen, seperti perang rahasia, infiltrasi, dan kontragerilya dengan metode perang psikologi memenangi hati dan pikiran masyarakat.
Dalam Operasi Pembebasan Sandera di Mampenduma, tim Sandi Yudha berhasil memenangkan hati dan pikiran beberapa orang suku Komoro. Suku Komoro adalah suku yang memiliki sebagian gunung dan hutan di Pegunungan Tengah Papua, yang saat ini dikuasai Freeport. Mereka hafal jalur dan seluk-beluk hutan di Mapenduma. Bisa dibayangkan sulitnya Operasi Sandi Yudha untuk merekrut suku Komoro. Pelaksana dari operasi itu tidak hanya harus bisa rinci memetakan masyarakat, tetapi juga meyakinkan ia untuk bekerja sama dengan berbagai resiko yang harus dimitigasi termasuk pengkhianatan.
Sandhi Yudha adalah kemampuan Kopassus yang harus terus dikembangkan. Zacky mengatakan, operasi teritorial untuk merebut hati dan pikiran masyarakat Papua perlu berdampingan dengan operasi Sandi Yudha. Salah satu catatan penting adalah merangkul dan menggunakan masyarakat setempat.
”Bagaimana bisa orang Papua percaya kepada orang-orang yang rambut lurus, muka Jawa, tidak makan babi juga. Genetik operasinya adalah local people for local jobs,” katanya.
TNI AD telah mengupayakan perekrutan orang-orang Papua. Akan tetapi, perekrutan ini belum konsisten dan tidak spesifik dilatarbelakangi kebutuhan operasi Sandi Yudha. Ali Hamdan Bogra, mantan Panglima Kodam Kasuari, pada tahun 2020 merekrut 1.000 pemuda Papua berusia 17-24 tahun masuk menjadi bintara TNI AD. Ini dilatarbelakangi ketika menjadi letkol tahun 2003, ia menyaksikan bagaimana perang antarsuku di Papua hanya bisa didamaikan oleh orang Papua sendiri.
Operasi teritorial untuk merebut hati dan pikiran masyarakat Papua perlu berdampingan dengan operasi Sandi Yudha. Salah satu catatan penting adalah merangkul dan menggunakan masyarakat setempat.
Saat menjadi Pangdam, ada kekurangan sekitar 4.000 personel. Sekaligus untuk merebut hati masyarakat Papua, ia mengompromikan syarat fisik dan psikotes sebagai bentuk afirmasi. ”Saat ini mereka masih pendidikan, nanti ada yang bisa jadi babinsa, Kostrad atau Kopassus,” kata purnawirawan letnan jenderal itu.
Baca juga: Panglima TNI: Jaga Negara dari Gangguan Musuh
Sandi Yudha adalah sebuah totalitas. Operasi ini bukan sekadar mengerti, melainkan menyelami, bahkan menjalani kultur, bahasa, kebiasaan, bahkan bisa jadi harus menjadi keluarga. Konon beberapa prajurit Kopassus yang melaksanakan Sandi Yudha menikah dengan masyarakat setampat. Operasi Sandhi Yudha yang efektif bisa membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun. Personelnya juga tidak mudah untuk selalu berganti-ganti.
Dengan struktur sosial masyarakat Papua yang terdiri dari lebih dari 250 suku dengan bahasa yang berbeda, hal ini tentunya sulit dilakukan. Tidak saja sulit dimulai, tetapi juga sulit menjaganya agar tidak malah nanti membelot ke pihak lawan. Akan tetapi mengingat tuntutan operasi di medan yang sangat sulit juga dari sisi logistik dan komunikasi, hal ini harus dilakukan. Apalagi mengingat belakangan ini begitu banyak korban yang jatuh yang tidak saja merugikan jiwa tetapi juga legitimasi pemerintah Indonesia yang sah baik secara lokal di mata orang Papua maupun internasional.
”Situasi di Papua sekarang jauh lebih berat. Senjata mereka semakin banyak, juga ada media sosial,” kata Zacky
Evolusi Sandi Yudha
Ke depan, perang menjadi tidak linier. Kalau pasukan khusus biasa dikenal dengan tugas-tugas behind enemy lines, dibutuhkan evolusi dalam cara berperang karena tidak ada lagi garis yang memisahkan musuh dan kawan. Selama ini Kopassus menjadi pasukan yang khusus karena tugas-tugas operasi yang berhasil dilakukan. Sandi Yudha adalah kemampuan khusus yang perlu mendapat dukungan alat maupun organisasi.
Peneliti militer Rene L Pattiradjawane melihat eksistensi Kopassus muncul karena sejarah operasi yang pernah dilakukan terhadap separatisme dan terorisme. Operasi-operasi yang mengangkat nama Kopassus seperti Woyla 1981 dan pembebasan sandera di Mapenduma memberikan persepsi akan kemampuan Kopassus menggabungkan kemampuan sandi yudha, parako dan antiteror. ”Karena Kopassus lahir duluan, penugasan-penugasannya memberinya sifat khusus,” katanya.
Akan tetapi, tantangan ke depan adalah perang dengan teknologi yang diwarnai meluruhnya nilai nasionalisme. Rene yang juga Ketua Centre for Chinese Studies mengatakan, China kini mengedepankan propaganda tentang nasionalisme dan patriotisme dalam pertahanannya. Perang generasi berikutnya bersifat kian kompleks tetapi salah satu indikasi penting adalah terjadinya perpecahan dalam negara-bangsa.
Di China, keputusan politik negara menjadi dasar dan arah pengembangan pertahanan dan militer. Sebangun dengan itu, upaya untuk mengevolusi Kopassus tidak bisa diserahkan hanya pada Kopassus saja. ”Sepanjang panglima tertingginya tidak memutuskan bagaimana kita bertahan 30-50 tahun ke depan, semua akan terombang-ambing. Malah bisa timbul narsisme militer di mana organisasi menjadi besar tetapi kemampuannya tidak relevan,” kata Rene.
Tantangan ke depan adalah perang dengan teknologi yang diwarnai meluruhnya nilai nasionalisme.
Ia merujuk pada pemikiran dwi fungsi ABRI dan bela negara. Kedua konsep tersebut berupaya menggabungkan kekuatan sipil dan militer. Dalam dwi fungsi kemudian terjadi dominasi militer dan politik, sementara ia mengharapkan bela begara akan lebih dari sekadar pembentukan komponen cadangan. ”Bela negara adalah bagaimana posisi sipil yang punya kemampuan tertentu, seperti IT (teknologi informasi), dalam sebuah operasi,” kata Rene.
Tantangan bagi Kopassus dengan kemampuan Sandi Yudha-nya adalah membuat sistem yang mengintegrasikan kemampuan sipil yang spesifik seperti siber bisa digunakan oleh Kopassus dalam tugas operasinya. Sistem yang permanen medan perang tidak lagi terbatas secara fisik, tetapi juga sangat dipengaruhi dunia maya.
Ruang informasi teramat luas untuk bisa dikelola sendiri. Dalam perang yang asimetri, kerja sama antara militer dan sipil profesional dalam tataran praktis menjadi kekuatan inti. Kopassus bisa menjadi pilot project untuk membuat sistem ini karena organisasinya yang kecil tetapi penggunaannya yang punya rentang operasi yang sangat lebar.