Benahi Aturan Pencalonan di Pilkada untuk Cegah Kasus Orient Terulang
Syarat pencalonan di pilkada perlu ditambah surat pernyataan dari calon bahwa mereka berkewarganegaraan Indonesia. Selain aturan yang perlu diubah, sinergi antarinstansi penting untuk mencegah kasus Orient terulang.
Oleh
IQBAL BASYARI/NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lolosnya warga negara asing mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus menjadi bahan evaluasi bagi Komisi Pemilihan Umum. Peraturan mengenai pencalonan kepala daerah perlu direvisi untuk mencegah warga negara asing kembali mengikuti kontestasi seperti yang dilakukan Orient P Riwu Kore.
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah tidak secara spesifik mengantisipasi adanya warga negara asing yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Dalam Pasal 7 UU Pilkada, hanya disebutkan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai calon kepala daerah. Adapun Pasal 4 PKPU tentang Pencalonan Kepala Daerah menggunakan frasa semua calon kepala daerah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi sejumlah persyaratan. Di dalam persyaratan tersebut, tidak ada satu pun syarat yang bisa memastikan seluruh kandidat merupakan warga negara Indonesia.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, di Jakarta, Jumat (16/4/2021), menilai, UU Pilkada dan PKPU Pencalonan Kepala Daerah mengasumsikan semua bakal calon yang mendaftar adalah warga negara Indonesia. Dengan demikian, tidak ada mekanisme pengecekan kewarganegaraan selain dari dokumen Kartu Tanda Penduduk elektronik yang memuat kolom kewarganegaraan.
Oleh sebab itu, perbaikan aturan mengenai pencalonan perlu segera dilakukan. KPU bisa mengubah PKPU tentang Pencalonan tanpa perlu menunggu perubahan UU Pilkada. Salah satunya menambah syarat warga negara Indonesia dan menambah poin yang menyatakan sebagai warga negara Indonesia dalam surat pernyataan bakal calon kepala daerah.
”Pernyataan kewarganegaraan sebagai salah satu syarat pencalonan membuat KPU harus melakukan pengecekan dan mengikat bakal calon untuk jujur mengenai status kewarganegaraannya. Jika saat pengecekan ternyata tidak sesuai, bakal calon bisa tidak memenuhi syarat sekaligus bisa dijerat pidana karena menyampaikan informasi palsu,” katanya.
Selanjutnya dalam proses verifikasi kewarganegaraan calon, KPU perlu bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Luar Negeri.
”Semua nama bakal calon kepala daerah dilakukan pengecekan kewarganegaraan melalui kedutaan besar untuk memastikan bahwa semua yang mendaftar adalah warga negara Indonesia,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Junimart Girsang juga menekankan pentingnya kerja sama penyelenggara pemilu dengan sejumlah instansi pemerintah seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk memastikan setiap calon yang maju di pilkada berkewarganegaraan Indonesia.
”Lembaga-lembaga negara ini harus saling koordinasi. Sinergi harus dibangun. Sebagai contoh, KPU dan Bawaslu harus koordinasi dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) untuk melihat identitas atau rekam jejak seseorang, apakah calon masih WNI atau tidak walaupun mereka punya KTP,” jelasnya.
Begitu pula KPU dan Bawaslu seharusnya saling koordinasi. Dalam kasus Orient, KPU dilihatnya sudah memverifikasi kewarganegaraan Orient ke dinas kependudukan dan catatan sipil (Dispendukcapil). Dispendukcapil pun menyatakan Orient berkewarganegaraan Indonesia. Namun, Bawaslu sebagai pengawas dinilainya tidak langsung mengecek kebenaran status kewarganegaraan Orient tersebut. Akhirnya baru ketahuan belakangan atau setelah Pilkada Sabu Raijua usai, Orient berkewarganegaraan ganda.
”Ini menjadi pembelajaran terbaik ke depan. Harus membangun sinergi yang betul-betul profesional. Kalau istilah saya, jangan main kucing-kucingan. Bawaslu menunggu KPU salahnya di mana, tidak boleh begitu, harus saling koreksi, enggak bisa saling menjatuhkan,” ujarnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya, Kamis (15/4/2021), membatalkan penetapan Orient dan pasangannya, Thobias Uly, sebagai bupati dan wakil bupati terpilih Sabu Raijua. Selain itu, MK juga memutuskan pemungutan suara ulang tanpa melibatkan pasangan Orient-Thobias.
Putusan itu dijatuhkan karena Orient berkewarganegaraan Amerika Serikat. Padahal, syarat pencalonan di pilkada mengharuskan calon berkewarganegaraan Indonesia.