Masih adanya laporan penyiksaan oleh aparat keamanan menunjukkan reformasi kultural belum tuntas. Pendidikan mengenai hak asasi manusia harus dimaksimalkan saat tahap pendidikan.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aparat keamanan dilaporkan masih kerap melakukan penyiksaan saat penindakan. Mayoritas yang menjadi korban merupakan masyarakat miskin. Berangkat dari hal itu, kurikulum mengenai hak asasi manusia diusulkan agar diajarkan saat tahap pendidikan.
Hal ini disampaikan Shaleh Al Ghiffari, perwakilan dari LBH Jakarta, dalam diskusi yang diadakan secara virtual oleh Imparsial, Jumat (16/4/2021), dengan tema ”Evaluasi Implementasi Perkap HAM dalam Mencegah Praktik Penyiksaan dalam Penegakan Hukum”.
Ghiffari mengatakan, LBH Jakarta setiap tahun menangani sekitar 1.500 kasus, di mana 10 persennya melibatkan oknum polisi. Dari 10 persen itu, sebagian besar, yaitu 70 persen, adalah kasus penyiksaan. ”Dan 70 persen yang disiksa itu adalah orang miskin,” kata Ghiffari.
Selain itu, dari beberapa kali penelitian oleh LBH Jakarta, salah satunya di semua rumah tahanan di DKI Jakarta, sekitar 80 persen dari tahanan mengaku mengalami penyiksaan. Ia mencontohkan kasus Mispo Gwijangge yang merupakan anak muda dari Nduga, Papua, yang dituduh ikut dalam pembunuhan karyawan PT Istaka Karya.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Maneger Nasution mengatakan, selama tahun 2019 dan 2020 ada 24 pengaduan tentang penyiksaan yang diterima Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini menurutnya hanya puncak gunung es. Dari pengaduan itu, pelakunya terdiri dari anggota polisi sebanyak 8 orang, 5 anggota TNI, dan 2 sipir.
Padahal, dalam konteks laporan penyiksaan oleh polisi, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 telah mengadopsi konvensi internasional anti-penyiksaan. Bahkan, aturan-aturan yang diadopsi dinilai Maneger cukup lengkap. Tidak ada substansi yang abu-abu di dalam peraturan, semuanya jelas. ”Masalahnya di implementasi,” katanya.
LPSK merekomendasikan agar kurikulum mengenai HAM ditambahkan dalam tahap pendidikan calon anggota Polri. Kemudian, perlu ada regulasi yang menyatakan bahwa penyiksaan adalah tindak pidana serta memaksimalkan mekanisme ganti rugi dan pemulihan bagi korban.
Poengky Indarti dari Komisi Kepolisian Nasional mengatakan, setelah 21 tahun reformasi ABRI masih ada praktik penyiksaan oleh oknum polisi. Hal ini disebabkan belum tuntasnya reformasi kultural. Ia juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan HAM secara maksimal di berbagai jenjang pendidikan Polri.