Kompolnas Minta Kapolri Revisi Telegram Pelarangan Media Menyiarkan Tindakan Polisi yang Libatkan Kekerasan
Kompolnas meminta Kapolri merevisi surat telegram yang salah satu poinnya melarang media menyiarkan tindakan polisi yang arogan dan melibatkan kekerasan. Kendati disebut surat internal, tapi akan berdampak ke eksternal.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional dan sejumlah lembaga masyarakat sipil mendorong Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo merevisi surat telegram Kapolri yang melarang media menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Hal ini dianggap melanggar kebebasan pers.
Di sisi lain, Polri menekankan bahwa surat telegram tersebut ditujukan bagi internal Polri, bukan media pada umumnya. Surat telegram bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 per 5 April 2021 ditujukan kepada para kepala polda dan secara spesifik kepada kepala bidang humas. Surat ditandatangani Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono.
Melalui surat telegram tersebut, mereka diingatkan kembali, antara lain, bahwa media dilarang menyiarkan upaya atau tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan. Demikian pula media agar tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidikan terhadap tersangka tindak pidana.
Selain itu, rekonstruksi oleh kepolisian secara terperinci tidak boleh ditayangkan. Sementara dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media dan tidak boleh disiarkan secara langsung. Sebaliknya media diimbau menayangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, Selasa (6/4/2021), mengatakan, surat telegram tersebut hanya ditujukan bagi internal Polri. Hal itu ditunjukkan dari tujuan surat telegram tersebut, yakni kepada kepala bidang humas di setiap polda. ”Itu petunjuk dan arahan dari Mabes ke wilayah, hanya untuk internal,” kata Rusdi.
Cabut poin bermasalah
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, saat dihubungi mengatakan, meski surat telegram Kapolri itu bersifat internal untuk jajaran humas dan kepolisian di bawahnya, dampaknya akan dirasakan oleh pihak eksternal, yaitu jurnalis.
Menurut Poengky, beberapa poin yang diatur dalam surat telegram itu sebenarnya bermaksud untuk menjaga prinsip asas praduga tak bersalah. Misalnya, poin empat sampai tujuh, yang melindungi anak yang menjadi pelaku kejahatan atau korban kekerasan seksual. Selain itu, ada upaya kepolisian untuk melindungi materi penyidikan agar tidak terganggu dengan potensi peradilan yang secara tidak langsung dilakukan oleh pers (trial by the press).
”Ada pro dan kontra dalam poin-poin yang diatur dalam surat telegram ini. Yang paling kontradiktif adalah poin 1 tentang larangan meliput tindakan kekerasan dan arogansi polisi. Ini adalah bentuk pembatasan kebebasan pers serta akuntabilitas dan transparansi kepada publik,” terang Poengky.
Poengky berharap, Polri segera merevisi surat telegram itu, khususnya poin yang membatasi kebebasan pers karena berpotensi melanggar UU Pers. Polri tak boleh menutup akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Sebab, pers berperan dalam kontrol terhadap penegakan hukum.
Dalam kasus penyiksaan terhadap Herman di Balikpapan, Kalimantan Timur, misalnya, kasus dapat diungkap karena diangkat oleh media. Kompolnas mengapresiasi peran media yang menyajikan laporan kepada publik untuk mengkritisi kinerja polisi yang melakukan arogansi dan kekerasan berlebihan.
”Kami meminta supaya surat telegram ini segera direvisi,” kata Poengky.
Melanggengkan arogansi dan kekerasan
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, surat telegram Kapolri yang dikeluarkan 5 April 2021 itu bermasalah karena bisa menghalangi akses publik untuk mengetahui fakta sebenarnya. Poin pertama dalam surat tersebut juga dapat diartikan sebagai upaya sensor agar pemberitaan mengenai kepolisian hanya yang positif saja.
”Surat itu justru tidak melarang polisi untuk melakukan arogansi dan kekerasan. Asumsinya, arogansi dan kekerasannya tetap ada, tetapi tidak boleh diliput atau disiarkan. Ini jangan-jangan sebenarnya mau bilang sembunyikan arogansi dan kekerasan dari publik,” kata Asfinawati.
Asfinawati sangat menyayangkan surat telegram tersebut. Sebab, apabila ada upaya kepolisian untuk menyembunyikan arogansi dan kekerasan kepada publik secara sistematis, hal itu justru akan melanggengkan kekerasan di tubuh Polri. Padahal, dalam melakukan tugas penegakan hukum, kepolisian sudah memiliki Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 soal Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia.
Hal itu, katanya, sangat disayangkan karena pada saat uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon tunggal Kapolri di DPR, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dinilai banyak menyebutkan soal reformasi Polri yang lebih humanis. Salah satunya adalah prinsip penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana tertentu.
”Sudah banyak contoh kasus yang diangkat oleh media, kemudian mendorong reformasi di tubuh Polri. Misalnya, ada polisi memukul orang, akhirnya bisa ditindak karena ada beritanya,” kata Asfinawati.
Berdampak pada pers
Asfinawati menyebutkan, Polri tidak bisa berdalih bahwa surat telegram itu hanya ditujukan untuk kalangan internal. Menurut dia, surat telegram memang ditujukan untuk kalangan internal. Namun, dalam implementasinya, hal itu akan berdampak pada tindakan ke luar. Sebab, surat telegram memerintahkan jajaran internal untuk mengatur pola relasi dengan pihak luar, khususnya pers yang bertugas meliput dan menyiarkan berita.
Menurut Asfinawati, jika tidak direvisi, surat telegram terbaru itu berpotensi melanggar UU Pers. Sebab, fungsi pers adalah memberitakan kebenaran kepada publik. Ketika ada aksi arogansi atau kekerasan yang dilakukan polisi, publik berhak tahu. Jika ditutupi, hak publik untuk mengetahui akuntabilitas dan transparansi penegakan hukum dilanggar. Polisi harus mau dikoreksi serta melakukan evaluasi untuk perubahan dan perbaikan.
”Tuntutan kami agar surat telegram itu direvisi di beberapa poin, seperti poin nomor 1, 2, 3, dan 4, karena bertentangan dengan kebebasan pers dan hak publik untuk tahu,” ujarnya.
Di luar poin yang membatasi kekebasan pers, Asfinawati melihat ada beberapa poin yang positif dan sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil. Misalnya, poin untuk tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan korban kekerasan seksual, serta bunuh diri.
Ada pula larangan untuk menayangkan berita kriminal dengan unsur kekerasan yang bisa berdampak masyarakat kebal atau mengglorifikasi aksi kekerasan. Sudah banyak kritik yang dilayangkan oleh masyarakat sipil terkait itu sehingga jika memang Polri hendak mengatur soal itu dipersilakan.
”Beberapa poin yang mengatur mengenai asas praduga tak bersalah itu bagus dan kami mendukung. Namun, untuk larangan penyiaran rekonstruksi dan reka ulang, itu juga tidak sesuai dengan prinsip transparansi publik. Bagaimana jika ada masalah saat reka ulang, publik menjadi tidak tahu,” kata Asfinawati.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin menambahkan, pelarangan peliputan kekerasan yang dilakukan oleh aparat berlebihan dan berpotensi melanggar UU Pers. Fungsi pers sebagai kontrol pemerintahan dan penegakan hukum harus dijaga. Ketika ada pelanggaran yang dilakukan pejabat publik atau aparat, pers berkewajiban mewartakan peristiwa tersebut. Hal itu untuk memenuhi hak publik atas informasi.
”Tahun kemarin, LBH Pers juga mencatat ada banyak kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat karena meliput demonstrasi. Jika ini tak boleh diberitakan, berarti ada upaya menutupi kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,” terang Ade.
Berdasarkan catatan LBH Pers, tahun 2020 merupakan tahun yang suram bagi kebebasan pers. Sebab, ada peningkatan angka kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 32 persen dari 79 kasus pada 2019 menjadi 117 kasus pada 2020. Kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak ditemui saat mereka meliput demonstrasi sepanjang 2020, termasuk demonstrasi pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober. Institusi negara yang dominan melakukan kekerasan terhadap jurnalis adalah Kepolisian RI.
”Institusi yang mestinya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan penegakan hukum ini justru tampil sebagai aktor kekerasan. Dari 117 kasus yang terdata, 76 kasus dilakukan aparat kepolisian,” kata Ade.