DPR Minta Pemerintah Usut Tuntas Temuan Peredaran Masker Palsu
Sejumlah anggota DPR merespons hasil liputan investigasi ”Kompas” terkait temuan masker medis yang digunakan tenaga medis saat menangani pasien Covid-19 ternyata dipalsukan. Mereka mendesak pemerintah mengusut hal itu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui aparat penegak hukum diminta untuk mengusut tuntas peredaran masker medis palsu di pasaran. Sebab, peredaran masker medis palsu yang tidak sesuai dengan standar itu membahayakan kesehatan pengguna, terlebih jika digunakan tenaga kesehatan.
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan harus pula jeli memeriksa kualitas alat kesehatan yang digunakan oleh rumah sakit-rumah sakit rujukan pemerintah.
Dorongan tersebut disampaikan oleh tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dihubungi terpisah, Sabtu (3/4/2021), dari Jakarta. Mereka merespons hasil liputan investigasi Kompas yang menemukan bahwa masker medis, di antaranya masker respirator yang digunakan tenaga kesehatan saat menangani pasien Covid-19, ternyata dipalsukan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, mengatakan, jika benar masker palsu itu beredar luas dan digunakan tenaga kesehatan yang sedang berjuang menangani Covid-19, pengedar dan produsen masker palsu itu telah melakukan kejahatan kemanusiaan serius. Sebab, tindakan itu sangat membahayakan hidup orang lain, terlebih para tenaga kesehatan yang saat ini berada di garis depan dalam mengatasi pandemi Covid-19.
”Itu jahat betul, dan merupakan kejahatan kemanusiaan. Saya dorong pemerintah mengusut tuntas siapa saja pengusaha, korporasi, ataupun perorangan yang memproduksi masker palsu itu. Karena ini sangat berbaya,” kata Benny.
Menurut anggota komisi hukum itu, pemalsuan masker akan membuat upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 seperti sia-sia. Ini lantaran alat kesehatan yang dipakai tenaga kesehatan dan masyarakat ternyata tidak sesuai spesifikasi yang benar.
”Mereka yang memproduksi masker ini menganut mental aji mumpung karena di masa pandemi mencari untung demi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, mereka harus dihukum seberat-beratnya, karena sama saja dengan kemanusiaan dipertaruhkan. Kejahatan pemalsuan masker ini setara dengan korupsi dana bansos,” ucapnya.
Pemerintah, lanjut Benny, sebaiknya segera memerintahkan Polri untuk mengusut siapa pihak yang dengan sengaja memalsukan masker itu dan secepatnya menghadirkan mereka ke meja pengadilan. Di sisi lain, mesti pula dipastikan apakah pemalsuan masker ini terkait dengan merek dagang tertentu. Jika pemalsuan ini melibatkan merek tertentu, yang dirugikan tak hanya masyarakat, tetapi juga perusahaan yang mengeluarkan merek dagang itu.
”Kalau ada pemalsuan merek dagang, berarti dapat pula dibawa ke ranah perdata atau sengketa merek. Namun, bagaimanapun, pemalsuan masker ini kejahatan serius yang membahayakan kemanusiaan,” katanya.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Nabil Haroen, mengatakan, banyak pihak dirugikan dari peredaran masker medis palsu ini. Selain tenaga kesehatan dan masyarakat luas, pemalsuan ini juga merugikan perusahaan atau produsen masker asli. Di satu sisi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus mulai mengetatkan standar produksi masker dan alat kesehatan (alkes) sehingga tidak lagi terjadi pemalsuan masker.
”Kemenkes harus ikut turun dan mengawasi produk-produk alkes yang beredar di masyarakat dan mereka berikan izinnya,” katanya.
Nabil mengatakan, motif pemalsuan ini bisa macam-macam. Selain untuk kebutuhan mencari uang, boleh jadi pemalsuan masker ini merupakan upaya sengaja untuk mencelakai orang lain. Oleh karena itu, penelusuran kasus pemalsuan masker ini pastinya memerlukan campur tangan kepolisian.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, menuturkan, pemerintah melalui Kemenkes dan Badan POM selama ini yang bertanggung jawab dalam pengadaan masker-masker di rumah sakit rujukan. Oleh karena itu, Kemenkes dan Badan POM harus memeriksa masker-masker di RS rujukan pemerintah, apakah telah sesuai standar atau belum. Kemenkes telah memiliki standar khusus atas setiap alkes. Standar untuk masker, antara lain, meliputi bahan atau materialnya dan daya serap terhadap partikel udara.
Menurut dia, apabila ditemukan masker medis belum sesuai dengan standar, manajemen RS itu harus ditanya soal asal masker itu, apakah pengadaan yang menggunakan uang negara ataukah tidak.
”Kalau pengadaannya dari anggaran negara, dan ternyata tidak sesuai standar kesehatan, tentu ini harus dipertanggungjawabkan oleh RS yang mengadakan masker itu. Namun, jika memang hasil dari sumbangan warga, harus didalami siapa produsen masker ini. Sebab, belum tentu warga itu bermaksud buruk dalam memberikan sumbangannya,” kata anggota komisi kesehatan itu.
Menurut Saleh, bersama dengan kepolisian, Kemenkes harus pula memeriksa masker-masker yang diperjualbelikan secara daring. Masker-masker itu perlu dites apakah telah sesuai standar kesehatan. Jika terbukti palsu, harus ada tindakan tegas bagi mereka yang memalsukan masker medis itu.
”Karena itu kan berarti tindakan pemalsuan atau penipuan, termasuk juga pelanggaran terhadap merek dagang. Kalau terbukti, tentu harus ada tindakan tegas kepada produsen masker itu. Produsen masker medis itu pasti bisa terlacak kalau razia dilakukan oleh Kemenkes dan Badan POM bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan,” ucapnya.