Polri menyatakan, dua pelaku bom bunuh diri berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu pasangan suami istri. Keduanya diketahui baru menikah 6 bulan lalu. Selain rumah pelaku, polisi juga menggeledah lokasi lainnya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia memastikan dua pelaku bom bunuh diri yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu adalah pasangan suami istri. Berdasarkan penyelidikan, keduanya diketahui baru menikah selama 6 bulan.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam keterangan tertulis, Senin (29/3/2021), mengatakan, dari penyelidikan yang dilakukan aparat keamanan, kedua pelaku bom bunuh diri di Katedral Hati Kudus Yesus Makassar adalah pasangan suami istri yang baru menikah selama 6 bulan.
Setelah kejadian bom bunuh diri di Katedral Makassar, beredar foto seorang laki-laki mengendarai motor berboncengan dengan seorang perempuan. Motor dengan nomor polisi DD 5984 MD tersebut diketahui dalam kondisi hancur.
Menurut Argo, identitas laki-laki tersebut adalah L, sementara untuk identitas perempuan berinisial YSF. Pekerjaan keduanya adalah swasta. Hingga saat ini, aparat keamanan telah menggeledah sejumlah lokasi untuk mencari bukti-bukti terkait, termasuk menggeledah rumah pelaku.
Identitas laki-laki tersebut adalah L, sementara untuk identitas perempuan berinisial YSF. Pekerjaan keduanya adalah swasta.
Argo mengatakan, pelaku merupakan bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang pernah melakukan pengeboman di Jolo, Filipina. ”Kita tunggu hasil kerja anggota di lapangan dan kami berharap semua dapat diungkap dengan jelas,” ujar Argo.
Hingga saat ini, jumlah korban luka akibat bom bunuh diri yang masih dirawat di rumah sakit tinggal 15 orang, yakni 13 orang dirawat di RS Bhayangkara Makassar dan 2 orang lainnya di RS Siloam. Dari 19 orang yang terluka, sebanyak 4 orang telah diperbolehkan untuk pulang dan menjalani rawat jalan.
Pemulihan korban
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta agar pemerintah dan DPR mengambil langkah dalam rangka pemulihan korban bom bunuh diri di Katedral Makassar. Menurut peneliti ICJR, Iftitahsari, kompensasi untuk korban tindak pidana terorisme mestinya dapat diberikan secara langsung tanpa perlu menunggu proses peradilan.
”Sebab, dalam kasus bom bunuh diri di Gereja Makassar, pelaku telah meninggal pada saat melakukan aksi teror,” kata Iftitahsari.
Selain pemberian bantuan medis serta rehabilitasi psikologis dan psikososial, korban aksi terorisme juga berhak mendapatkan kompensasi tanpa menunggu putusan pengadilan.
Menurut Iftitahsari, selain pemberian bantuan medis serta rehabilitasi psikologis dan psikososial, korban aksi terorisme juga berhak mendapatkan kompensasi tanpa menunggu putusan pengadilan. Sebab, aparat keamanan masih mengejar anggota jaringan terorisme lainnya yang diperkirakan akan membutuhkan waktu yang cukup lama hingga dibawa ke pengadilan.
Hal itu sesuai dengan Pasal 18K Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban bahwa ketika pelaku tidak ditemukan atau meninggal, LPSK dapat langsung mengajukan permohonan kompensasi kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan besaran pembayaran kompensasi bagi masing-masing korban.