Kawal PSU di Empat Kabupaten di Papua dan Papua Barat
KPU perlu meningkatkan supervisi pada empat KPU kabupaten di Papua dan Papua Barat yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi menggelar pemungutan suara ulang Pilkada 2020. Ini penting agar kesalahan serupa tak terulang.
Oleh
IQBAL BASYARI/RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum atau KPU perlu meningkatkan supervisi pada empat KPU kabupaten di Papua dan Papua Barat yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi untuk menggelar pemungutan suara ulang Pemilihan Kepala Daerah 2020. Hal ini penting untuk mencegah kesalahan serupa terulang.
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, ada 20 daerah di Papua dan Papua Barat yang menggelar pemilihan. Namun, satu daerah di Papua Barat, yakni Teluk Wondama, dan tiga daerah di Papua, yakni Nabire, Boven Digoel, dan Yalimo, harus melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Nabire dan Boven Digoel menggelar PSU di seluruh tempat pemungutan suara (TPS), sedangkan Yalimo di 105 TPS dan Teluk Wondama 32 TPS.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, dihubungi dari Jakarta, Jumat (26/3/2021), mengatakan, ada dua persoalan mendasar penyelenggaraan pilkada di Papua dan Papua Barat yang diputus PSU. Pertama, masalah profesionalitas penyelenggara dan manajemen pelaksanaan pilkada.
Dari sisi profesionalitas terkonfirmasi dari adanya keberpihakan penyelenggara sehingga bertindak tidak profesional dalam mengelola dan menyelenggarakan tahapan pilkada. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan tahapan pilkada menjadi bermasalah, baik secara integritas maupun keadilan.
Adapun dari segi manajemen, persoalan yang muncul, seperti daftar pemilih dan adanya pemilih tidak terdaftar yang ikut memilih, menjadi persoalan yang patut diperhatikan agar tidak kembali terulang saat PSU. Meskipun dimungkinkan pemilih yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap untuk memilih, hal itu menjadi ukuran berjalannya tahapan pendaftaran dengan baik. Semakin sedikit jumlah pemilih tambahan, pendataan pemilih semakin baik.
”Putusan MK harus dijadikan refleksi secara kelembagaan dan memastikan hal-hal itu tidak terulang lagi,” ujar Fadli.
Untuk diketahui, MK memutus PSU di sejumlah TPS di Pilkada Teluk Wondama dan Yalimo karena telah terjadi pelanggaran dalam pemungutan suara.
Adapun dalam kasus Pilkada Boven Digoel, MK menyatakan membatalkan Keputusan KPU Boven Digoel dan mendiskualifikasikan pasangan calon nomor urut 4, Yusak Yaluwo dan Yakob Weremba, karena belum memenuhi masa jeda lima tahun mantan terpidana.
Untuk Pilkada Nabire, MK menyatakan hasil pemungutan suara tidak sah karena DPT tidak valid dan logis serta pemungutan suara tidak dilakukan dengan menggunakan sistem pencoblosan langsung.
Anggota KPU, Viryan Aziz, mengatakan, untuk kasus di Nabire, KPU akan melakukan perbaikan DPT sesuai putusan MK. Perbaikan dilakukan sesuai tahapan pemutakhiran data pemilih yang bersumber dari DPT pemilu terakhir dengan mempertimbangkan daftar penduduk potensial pemilih (DP4) dari Kementerian Dalam Negeri.
KPU akan melakukan sinkronisasi dua sumber tersebut dan melakukan verifikasi lapangan untuk mengantisipasi adanya data yang belum sinkron. KPU kemudian melakukan rapat pleno berjenjang untuk memastikan validitas dan faktualitas DPT hingga akhirnya diperoleh DPT perbaikan.
”KPU RI akan melakukan supervisi dengan memastikan prosesnya berjalan dengan efektif dan faktual di semua tahapan,” ucap Viryan.
Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) Papua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma, ada sejumlah persoalan umum yang ditemui di Papua dan Papua Barat sehingga beberapa kali pilkada di sejumlah daerah harus dibawa ke MK dan akhirnya diputuskan untuk PSU. Hal yang menonjol ialah minimnya supervisi KPU RI, maupun KPU provinsi, kepada KPU kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat.
”Pemahaman teknis penyelenggaraan pemilu di Papua dan Papua Barat memang belum baik sehingga dalam pelaksanaan pilkada sangat dibutuhkan supervisi dan panduan teknis dari KPU pusat maupun KPU provinsi. Dalam beberapa kali kasus, penyelenggara di daerah belum memiliki pemahaman hukum ataupun teknis mengenai penyelenggaraan pilkada sehingga mereka melakukan pilkada itu berdasarkan pengalaman mereka saja dan tidak merujuk pada aturan yang ada,” ucapnya.
Selain itu, Filep melihat ada problem validasi daftar pemilih tetap (DPT) yang dari tahun ke tahun terus berulang. Ia menyebutkan, beberapa kali pilkada di wilayah Papua dan Papua Barat terkendala karena persoalan DPT yang bermasalah. Sebab, banyak ditemui pemilih ganda atau warga yang telah meninggal tetap tercantum di DPT. Ketidakvalidan data itu mengakibatkan DPT rentan dimanipulasi untuk kepentingan pemenangan salah satu pihak.
”Harus ada kerja sama dan sinergi yang baik antara pemerintah daerah di Papua dan Papua Barat mengenai validasi DPT ini. Sebab, DPT ini kan data politik, bukan data statistik sehingga rentan sekali untuk dimanipulasi demi menguntungkan salah satu pihak. Validasi data penduduk yang berhak memilih ini tentu sangat penting karena data itu yang menentukan siapa yang akan memilih para calon di dalam pilkada,” ujarnya.
KPU daerah di satu sisi harus memiliki independensi dalam melakukan pengecekan dan pemutakhiran data pemilih. Jangan sampai KPU daerah memainkan data itu untuk kepentingan salah satu calon.