Densus 88 Tangkap Pencari Dana, JI Disebut Siapkan Diri Jalankan Aksi
Densus 88 Antiteror Polri terus mengungkap jaringan terorisme. Kali ini, terduga tindak pidana terorisme di Sumatera Utara dan Tangerang Selatan, Banten, yang diduga penyandang dana aksi-aksi mereka, ditangkap.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali menangkap terduga tindak pidana terorisme di wilayah Sumatera Utara dan Tangerang Selatan, Banten. Seorang terduga tindak pidana terorisme yang ditangkap di Tangerang Selatan disebutkan sebagai pencari dana bagi Jamaah Islamiyah atau JI. Langkah itu dinilai sebuah persiapan jangka panjang untuk menjalankan agendanya. Salah satunya, beraksi ketika sebuah daerah dilanda kerusuhan atau konflik dengan sentimen agama, seperti dulu pernah terjadi di Ambon.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, Rabu (24/3/2021), di Jakarta, mengatakan, Densus 88 Antiteror Polri terus mengembangkan dan mengungkap jaringan teror di Indonesia. Setelah pada akhir Februari hingga awal Maret 2021 mengamankan 22 terduga teroris di Jawa Timur, aparat mengembangkannya ke wilayah lain.
Pada 19 Maret, Densus 88 Antiteror kembali mengamankan beberapa terduga tindak pidana terorisme di DKI Jakarta sebanyak 2 orang, di Sumatera Barat 6 orang, dan di Sumatera Utara 14 orang. Mereka adalah bagian dari kelompok JI.
”Informasi terakhir di Sumatera Utara sampai hari ini diamankan lagi 4 terduga terorisme. Jadi (yang diamankan) di Sumut seluruhnya berjumlah 18 orang,” kata Rusdi.
Dari pengembangan tersebut, lanjut Rusdi, pada Rabu (24/3/2021) pagi, Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap seorang terduga tindak pidana terorisme di Tangerang Selatan berinisial AM (54). Di dalam kelompok JI, AM berperan sebagai pencari dana. Tugas AM adalah memberikan pelatihan kewirausahaan kepada semua anggota JI.
Informasi terakhir di Sumatera Utara sampai hari ini diamankan lagi 4 terduga terorisme. Jadi (yang diamankan) di Sumut seluruhnya berjumlah 18 orang.
Menurut Rusdi, pelatihan kewirausahaan diberikan agar di kemudian hari para anggota JI berhasil mengembangkan usaha masing-masing. Ketika usaha para anggota berkembang, nilai infak yang masuk bagi JI diharapkan akan semakin besar.
”Dan, tentunya ketika keuangan semakin besar, hal ini menjadi bagian bagaimana JI bisa menjaga dan mempertahankan eksistensi organisasi,” ujar Rusdi.
Kontra-hegemoni
Secara terpisah, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan, publik mesti memandang kelompok JI bukan hanya sebagai organisasi teror, melainkan sebagai sebuah gerakan budaya melawan budaya lain atau kontra-hegemoni. Di dalam JI terdapat aspek militer dan ada pula aspek nonmiliter.
Menurut Noor Huda, aspek nonmiliter itu termasuk pengembangan ekonomi atau bisnis para anggotanya selain melakukan dakwah. Tidak hanya itu, mereka juga membangun semacam sistem tandingan yang kemudian dijalankan anggotanya, termasuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para anggotanya.
”Jadi, mereka itu tidak nyaman dengan pola-pola yang intinya NKRI harga mati. Tapi, tidak semua dari mereka ingin melakukan aksi kekerasan karena mereka menilai Indonesia bukan saatnya menjadi lahan perang,” kata Noor Huda.
Jadi, mereka itu tidak nyaman dengan pola-pola yang intinya NKRI harga mati. Tapi, tidak semua dari mereka ingin melakukan aksi kekerasan karena mereka menilai Indonesia bukan saatnya menjadi lahan perang.
Meski demikian, lanjut Noor Huda, apa yang mereka lakukan adalah sebuah persiapan jangka panjang untuk menjalankan agendanya. Salah satu kondisi JI untuk beraksi adalah ketika sebuah daerah dilanda kerusuhan atau konflik dengan sentimen agama, seperti dulu pernah terjadi di Ambon. Maka, tidak berlebihan jika kelompok JI merupakan bahaya laten bagi Indonesia.
Noor Huda mengapresiasi gerak cepat Densus 88 Antiteror Polri menangkap tokoh-tokoh dari JI dalam kerangka pencegahan. Hal itu dapat dilakukan karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memungkinkan upaya hukum tersebut.
Meski demikian, pendekatan legal formal yang dilakukan aparat penegak hukum dinilai belum cukup. Sebab, anggota kelompok JI besar, tidak hanya ratusan orang. Oleh karena itu, tindakan tersebut perlu dibarengi dengan upaya pencegahan agar tidak semakin banyak orang yang terpapar dengan paham yang mereka usung.
Selain itu, menurut Noor Huda, diperlukan langkah persuasif bagi para mantan narapidana terorisme agar mereka fokus ke masalah-masalah kemanusiaan. Selain penting, upaya di luar penegakan hukum juga dinilai menghabiskan biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan membawa mereka ke meja hijau.