Wamenhan: Membela Negara Bisa Sesuai Profesi Masing-masing
Wakil Menteri Pertahanan Herindra menegaskan, bela negara merupakan hak dan kewajiban yang diamanatkan konstitusi. Karena itu, diperlukan kesadaran setiap warga negara dalam membela negara sesuai profesi masing-masing.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/EDNA C PATTISINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bela negara yang dilakukan secara sukarela untuk menjaga kedaulatan negara dalam menghadapi ancaman dapat dilakukan sesuai dengan profesi setiap warga negara. Saat ini, ancaman terhadap negara tidak lagi didominasi oleh ancaman militer, tetapi ancaman nonmiliter seperti pandemi dan serangan siber.
Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Muhammad Herindra mengatakan, bela negara merupakan hak dan kewajiban yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
Hak dan kewajiban negara juga diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.
”Dari berbagai ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa bela negara merupakan hak dan kewajiban konstitusional setiap warga negara Indonesia yang tidak bisa ditawar lagi,” kata Herindra.
Pernyataan itu disampaikan Herindra dalam pembukaan acara ”Rembug Nasional Menyatukan Persepsi dan Optimalisasi Program Nasional Bela Negara dalam Rangka Membangun Sinergi dan Sinkronisasi Program Kebijakan Pembinaan Kesadaran Bela Negara Secara Masif dan Berkesinambungan” yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Hadir juga dalam acara ini, antara lain, Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid; Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan pada Kementerian PPN/Bappenas Slamet Soedarsono; Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar; serta Rektor Universitas Pertahanan Laksamana Muda TNI Amarulla Octavian.
Herindra menuturkan, dalam UU No 23/2019, disebutkan bahwa bela negara adalah tekad, sikap, dan perilaku warga negara dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara. Sikap tersebut dijiwai oleh kecintaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menghadapi ancaman.
Menurut Herindra, ancaman dan tantangan saat ini tidak lagi didominasi oleh ancaman militer, tetapi juga nonmiliter. Kompleksitas ancaman ini perlu dipahami sebagai bagian dari unsur pertahanan negara. Karena itu, diperlukan kesadaran hak dan kewajiban setiap warga negara dalam membela negara sesuai profesi masing-masing.
Kesadaran bela negara setiap warga negara ini menjadi modal sosial sekaligus daya tangkal bangsa. Alhasil, setiap warga negara memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Selain itu, mereka juga siap saat dibutuhkan dalam menghadapi ancaman militer yang diaktualisasikan dalam keikutsertaannya secara sukarela sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung.
Menurut Herindra, membangun angkatan bersenjata memerlukan biaya yang amat mahal. Kehadiran komponen cadangan memberikan efek gentar yang akan diperhitungkan sebagai kekuatan pertahanan sebuah negara.
Herindra mengungkapkan, komponen cadangan akan dibentuk untuk melipatgandakan kekuatan utama. Ia mencontohkan negara Amerika Serikat yang memiliki komponen cadangan cukup besar. Karena itu, lahirnya UU No 23/2019 akan membuat pertahanan Indonesia lebih kuat lagi.
Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan Mayor Jenderal Dadang Hendrayudha menyampaikan peta kekuatan militer negara-negara di dunia dibandingkan dengan jumlah penduduk, tentara aktif dan tentara cadangan. Ia mencontohkan, China yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa memiliki 2,25 juta tentara aktif dan 800.000 tentara cadangan. Amerika Serikat dengan 334 juta penduduk punya 2,6 juta tentara aktif dan 2,46 juta tentara cadangan.
Dia menambahkan, komponen cadangan bukan wajib militer. Semua masyarakat boleh menjadi komponen cadangan dengan sukarela. Bela negara dapat dilakukan sesuai dengan profesinya masing-masing. Dia juga mengutip nilai dasar bela negara, yakni cinta Tanah Air, sadar berbangsa dan bernegara, setiap pada Pancasila, rela berkorban, dan punya kemampuan awal bela negara.
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menuturkan, upaya pertahanan negara diselenggarakan dengan Sistem Pertahanan Semesta. TNI menjadi komponen utama dibantu komponen cadangan dan komponen pendukung yang terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana. Ia mengingatkan, ancaman yang terjadi bisa berasal dari pandemi global seperti Covid-19. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, peran sektor pertahanan mutlak diperlukan.
Program bela negara dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak yang lebih buruk, yakni ancaman terhadap keamanan nasional bidang biologi akibat menyebarnya pandemi Covid-19. Penerapan bela negara diarahkan pada perekrutan dan peningkatan kemampuan warga negara yang menguasai bidang nuklir, biologi, dan kimia.
”Ancaman siber juga harus diantisipasi. Saat ini, potensi perang antarnegara tidak lagi menggunakan cara tradisional dan konvensional. Kekuatan negara tidak lagi dilihat pada kekuatan persenjataan, tetapi juga pada segi budaya, perekonomian, politik, dan teknologi,” kata Meutya.
Bentuk peperangan pun berubah pada ruang siber. Ancaman serangan yang terjadi pada ruang suber pada suatu negara dapat dilakukan oleh aktor non-negara seperti hacker, teroris, kelompok kejahatan terorganisasi, dan swasta.
Meutya menegaskan, ancaman dunia maya menjadi bentuk ancaman baru yang menjadi prioritas kebijakan keamanan nasional tiap negara. Karena itu, dibutuhkan perekrutan dan peningkatan kemampuan warga negara yang menguasai bidang siber dan kecerdasaran buatan untuk menghadapi ancaman ruang siber di masa mendatang.