Saat Keadilan di MK Tak Terpaku pada Syarat Ambang Batas Suara
”Kompas” mencatat ada empat permohonan perselisihan hasil Pilakda 2020 yang tak memenuhi syarat ambang batas selisih suara, tetapi dikabulkan sebagian dan sepenuhnya oleh MK. Perkecualian syarat formil itu diapresiasi.
Hingga Senin (23/3/2021), Mahkamah Konstitusi telah membacakan 132 putusan sengketa perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020. Dari ratusan perkara tersebut, hanya 17 perkara yang diputus dikabulkan, meski beberapa di antaranya tidak memenuhi syarat ambang batas selisih perolehan suara.
Kompas mencatat ada empat permohonan yang tidak memenuhi syarat ambang batas selisih perolehan suara, tetapi dikabulkan sebagian dan sepenuhnya oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu terkait Pilkada Boven Digoel, Nabire, dan Yalimo di Provinsi Papua, serta di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
MK memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sebagian tempat pemungutan suara (TPS) maupun seluruh TPS.
Merujuk Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, peserta pilkada yang dapat mengajukan sengketa hasil ke MK adalah yang berselisih suara, berkisar 0,5 persen hingga 2 persen berdasarkan suara sah hasil rekapitulasi, dengan pasangan calon yang meraih suara terbanyak.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak dua persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota.
Baca juga: MK Tegaskan Syarat Mantan Terpidana di Pilkada
Sementara itu, jika jumlah penduduk 250.000 jiwa hingga 500.000 jiwa, ambang batasnya 1,5 persen. Kemudian kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa hingga 1 juta jiwa, ambang batas sebanyak 1 persen, dan di atas 1 juta jiwa, selisih suara paling banyak 0,5 persen.
Namun, dalam sengketa Pilkada 2020, Mahkamah dapat menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 sepanjang memenuhi kondisi sebagaimana pertimbangan Mahkamah. Karena itu, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan keberlakuan ketentuan Pasal 158 UU No 10/2016 secara kasuistik.
Dalam perkara perselisihan hasil Pilkada Boven Digoel, Papua, nomor 132/PHP.BUP-XIX/2021, MK mengesampingkan syarat ambang batas. Selisih suara pemohon dengan peraih suara terbanyak 23,21 persen, sedangkan merujuk aturan ambang batas, pengajuan sengketa Boven Digoel maksimal 2 persen.
MK mengabulkan seluruhnya permohonan pemohon dan mendiskualifikasikan pasangan calon bupati dan wakil bupati Boven Digoel peraih suara terbanyak, Yusak Yaluwo-Yakob Waremba. MK juga memerintahkan digelarnya PSU Pilkada Boven Digoel tanpa mengikutsertakan Yusak-Yakob.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK menyatakan, dalam praktiknya masih ditemukan perbedaan pendapat atau tafsir yang berbeda antara KPU dan Bawaslu terhadap makna mantan terpidana yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Akibat perbedaan tafsir itu, Yusak didiskualifikasi karena ternyata belum melewati masa jeda lima tahun pada waktu mendaftarkan diri sebagai bakal calon bupati Boven Digoel tahun 2020. Adapun masa jeda 5 tahun bagi narapidana korupsi pengadaan tanker dan APBD Boven Digoel 2002-2005 tersebut baru berakhir setelah tanggal 26 Januari 2022.
Kemudian dalam perkara perselisihan hasil Pilkada Nabire nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 dan 101/PHP.BUP-XIX/2021, MK juga mengesampingkan syarat ambang batas. Selisih suara pemohon dengan peraih suara terbanyak, 9,15 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan syarat ambang batasnya 2 persen.
MK memerintahkan KPU Kabupaten Nabire untuk menggelar PSU paling lama 90 hari sejak Jumat (19/3/2021). Hal itu karena MK menilai hasil Pilkada Nabire 2020 tidak sah. Selain didasarkan pada daftar pemilih tetap yang tak valid dan logis, pemungutan suaranya juga tak secara langsung.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menemukan ketidakwajaran penentuan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang dijadikan dasar Pilkada Kabupaten Nabire. Jumlah DPT dalam Pilkada Nabire diketahui lebih banyak dari jumlah penduduknya, sehingga sulit diterima akal sehat.
Dari proses pemutakhiran data pemilih, hingga proses perbaikan, jumlah pemilih yang ditetapkan menjadi DPT berjumlah 178.545 pemilih. Jumlah DPT tersebut melebihi jumlah penduduk Nabire yang berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2020 tercatat 172.190 jiwa. Hal ini berarti jumlah pemilih tetap Nabire 103 persen dari jumlah penduduk.
Dalam kasus perselisihan hasil Pilkada Yalimo, Nomor 97/PHP.BUP-XIX/2021, syarat ambang batas juga dikesampingkan. Selisih suara pemohon dengan peraih suara terbanyak 5,29 persen, sedangkan menurut ketentuan ambang batas maksimal hanya 2 persen.
Mahkamah memutuskan terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan pemungutan suara di Distrik Welarek dan 29 TPS di Distrik Apalapsili. Pelanggaran berupa pemilihan atau pemungutan suara dengan cara yang tidak sesuai peraturan perundang-undangan, serta adanya mekanisme, praktik pencatatan, dan/atau rekapitulasi sejak tingkat TPS hingga Distrik yang juga tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
MK kemudian memerintahkan KPU melaksanakan PSU di semua TPS di Distrik Welarak serta 29 TPS di Distrik Apalasili paling lambat 45 hari sejak putusan diucapkan.
Senada dengan tiga daerah di Papua tersebut, MK juga mengesampingkan syarat ambang batas untuk perkara perselisihan hasil Pilkada Kota Banjarmasin, Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021. Syarat ambang batas 1 persen dikesampingkan. Selisih suara pemohon dengan peraih suara terbanyak 7,23 persen.
Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, telah terjadi penyelenggaraan tahapan/proses pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kota Banjarmasin di seluruh TPS di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mantuil, Kelurahan Murung Raya, dan Kelurahan Basirih Selatan di Kecamatan Banjarmasin Selatan.
Pelanggaran itu diyakini oleh Mahkamah tidak sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, khususnya proses penyelenggaraan yang harus berpedoman pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. MK akhirnya memutuskan mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
KPU Banjarmasin diperintahkan melaksanakan PSU di semua TPS di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Mantuil, Kelurahan Murung Raya, dan Kelurahan Basirih Selatan dalam waktu paling lama 30 sejak putusan dibacakan.
Bukan pertama
Penundaan pemberlakukan syarat ambang batas tidak hanya dilakukan MK pada empat perkara di perselisihan hasil Pilkada 2020. Sebelumnya, MK pernah melakukan hal serupa pada perselisihan hasil Pilkada Mimika tahun 2018. Adapun pada 2017, MK mengesampingkan syarat ambang batas pada tiga permohonan, yakni untuk kasus Pilkada Intan Jaya, Puncak Jaya, dan Kepulauan Yapen.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (23/3), enggan menanggapi putusan hakim yang mengesampingkan ambang batas selisih perolehan suara.
Namun, saat sidang sengketa hasil Pilkada Kabupaten Asahan, Sumut, Senin (15/2), Hakim MK, Suhartoyo, menjelaskan, Mahkamah dapat menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 sepanjang memenuhi kondisi sebagaimana pertimbangan Mahkamah. Karena itu, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan keberlakuan ketentuan Pasal 158 UU No 10/2016 secara kasuistik.
”Terhadap eksepsi termohon (KPU) dan pihak terkait (calon yang digugat) tersebut penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah terdapat alasan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 UU No 10/2016 sehingga perkara a quo dapat dilanjutkan ke pemeriksaan dalam persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian,” katanya.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, terjadi perbaikan soal penerapan Pasal 158 UU Pilkada. Meskipun tetap digunakan MK, tetapi Mahkamah masih menimbang melalui proses persidangan dan dapat mengabaikan syarat ambang batas dalam kondisi-kondisi tertentu.
Dengan demikian, MK masih menerapkan mekanisme pelanggaran terstruktur, masif, dan sistematis alternatif maupun kumulatif untuk membaca kekurangan yang terjadi di pilkada.
Menurut dia, empat putusan MK di Boven Digoel, Nabire, Yalimo, Banjarmasin menjawab banyak kekhawatiran bahwa MK hanya mengubah prosedur untuk menerapkan Pasal 158 UU Pilkada yang awalnya di proses administrasi saat ini dipindahkan di proses persidangan awal.
”Ternyata terjawab, tidak hanya memindahkan proses, MK juga memastikan jika ada kasus-kasus yang menunjukkan pelanggaran yang signifikan luar biasa dapat dibatalkan dan bahkan diperintahkan PSU,” ucap Feri.
Dari beberapa persidangan di MK, ia menilai masih banyak paslon yang lemah dalam mempersiapkan bukti. Sering kali pengajuan perkara dibangun dari narasi pihak lawan melakukan kecurangan, tetapi tidak menyampaikan alat bukti yang cukup untuk meyakinkan hakim. Mereka sering kali kewalahan ketika ditanya alat bukti.
”Padahal, dalam hukum acara di MK, alat bukti paling banyak berbicara,” katanya.