Putusan MK dalam Sengketa Hasil Pilkada Kalsel Diapresiasi
KPU diminta segera menindaklanjuti putusan MK terkait sengketa pilkada, khususnya di Kalimantan Selatan. Pengawasan perlu ditingkatkan untuk mencegah berulangnya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan terkait pemilihan
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pengamat pemilu mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi untuk perselisihan hasil pilkada di Provinsi Kalimantan Selatan. MK mengabulkan sebagian permohonan pasangan nomor urut 2 Denny Indrayana-Difriadi Derajat. MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di enam kecamatan dengan mengganti personel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 124/PHP.GUB-XIX/2021, mengabulkan sebagian permohonan paslon Denny-Difriadi. Mahkamah memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di beberapa kecamatan di Kalsel. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta untuk menindaklanjuti putusan PSU itu dalam waktu maksimal 60 hari sejak putusan dibacakan. PSU dilaksanakan dengan terlebih dahulu mengganti ketua dan anggota KPPS serta ketua dan anggota PPK di wilayah yang dilaksanakan PSU.
Mahkamah menyatakan penyelenggaraan tahapan, proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalsel di sejumlah TPS di enam kecamatan tidak sesuai aturan pilkada dan melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber, jurdil)
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan penyelenggaraan tahapan, proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur Kalsel di sejumlah TPS di enam kecamatan tidak sesuai aturan pilkada dan melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber, jurdil).
Pelanggaran yang didalilkan pemohon dan terbukti di persidangan di antaranya adalah KPPS dengan sengaja membiarkan pemilih yang tidak memenuhi syarat untuk mencoblos surat suara, sehingga menyebabkan pemilih mencoblos lebih dari kali. Selain itu, juga ada kesengajaan dari KPPS untuk membiarkan pemilih lain menggantikan pemilih yang meninggal dunia. Di beberapa TPS, perolehan suara salah satu paslon mencapai 100 persen dengan kehadiran pemilih 100 persen. Hal itu menyebabkan kemurnian dan validitas perolehan suara dipertanyakan.
Selain itu, selama persidangan juga terbukti bahwa ada pelanggaran pembukaan kotak suara oleh PPK yang tidak disaksikan oleh pejabat terkait maupun saksi dari paslon. Kotak suara yang terbuka dan tidak tersegel itu memengaruhi perolehan suara paslon. Mahkamah juga menemukan fakta bahwa ada eksodus pemilih di beberapa TPS yang menggunakan surat suara cadangan melebihi 2,5 persen dari DPT. Modus tersebut diduga dilakukan untuk menggelembungkan suara salah satu paslon di Kabupaten Banjar.
Progresif
Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana saat dihubungi, Sabtu (20/3/2021), mengatakan putusan MK dalam sengketa hasil pilkada Kalsel layak diapresiasi. Sebab, MK cukup progresif dalam putusannya. MK tidak hanya memerintahkan PSU karena terbukti ada pelanggaran pemilu. Tetapi juga memerintahkan KPU untuk merekrut ulang personel KPPS dan PPK. Artinya, MK melihat ada masalah pelanggaran etika dan aturan pemilu yang dilakukan oleh KPPS dan PPK.
“Untuk mencegah agar kecurangan tidak terulang kembali, dan agar hasil PSU lebih dijaga kemurniannya, MK memerintahkan untuk merekrut ulang penyelenggara pemilu di tingkat PPK dan KPPS,” kata Ihsan.
Dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan kepala daerah, problem etika penyelenggara pemilu adhoc ini memang terus menjadi masalah
Menurut Ihsan, dalam penyelenggaraan pemilu maupun pemilihan kepala daerah, problem etika penyelenggara pemilu adhoc ini memang terus menjadi masalah. Beberapa kali, MK memerintahkan PSU karena terbukti ada masalah di tingkat penyelenggara adhoc. Namun, baru kali ini, MK memerintahkan PSU dengan mengganti penyelenggara pemilu adhoc untuk mencegah pelanggaran terjadi kembali.
“Di sengketa hasil pemilu 2019 pun ditemukan adanya pelanggaran etik petugas penyelenggara pemilu adhoc. Ini merupakan permasalahan yang terus berulang,” kata Ihsan.
KPU diharapkan segera menindaklanjuti putusan MK pasca dibacakan di persidangan. KPU harus segera melakukan perekrutan ulang KPPS dan PPK. Karena jangka waktunya terbatas yaitu maksimal 60 hari, KPU bisa merekrut ulang KPPS atau PPK, di wilayah atau TPS yang tidak diselenggarakan PSU. Hal itu bisa dilakukan untuk mempercepat proses perekrutan.
Selain itu, Ihsan juga mengatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan PSU oleh Bawaslu saat PSU harus ditingkatkan. Sebab, berdasarkan fakta-fakta persidangan di MK, aspek pengawasan Bawaslu terbukti tidak berjalan. Jika berjalan, seharusnya pelanggaran-pelanggaran itu bisa diselesaikan di Bawaslu. Karena permasalahan tidak selesai, kemudian pihak yang dirugikan harus mengajukan sengketa hasil pilkada ke MK.
“Pengawasan harus semakin kuat, jangan malah semakin kendor. KPU dan Bawaslu harus bersama-sama memastikan penyelenggaran pemilu yang luber dan jurdil, serta memiliki legitimasi,” kata Ihsan.
Suara pemilih di tempat-tempat yang akan dilakukan PSU akan menentukan arah politik dan kebijakan di Kalsel
Ihsan mengatakan, pada saat PSU, partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS biasanya tidak sebesar saat pemungutan suara pertama. Selain itu, dinamika politik di Kalsel seperti terjadinya banjir bandang besar serta pernyataan kontroversial dari gubernur petahana juga dinilai dapat memengaruhi preferensi pemilih saat PSU digelar. Namun, kembali lagi, suara pemilih di tempat-tempat yang akan dilakukan PSU akan menentukan arah politik dan kebijakan di Kalsel.
Sementara itu, Anggota Bawaslu Divisi Penindakan Ratna Dewi Pettalolo mengatakan, Bawaslu akan berkoordinasi dengan KPU tentang pelaksanaan putusan MK untuk perkara di Kalsel. Selain itu, Bawaslu akan melakukan pengecekan lapangan kesiapan jajaran Bawaslu di kabupaten, kota, yang akan melaksanakan tugas pengawasan PSU. Bawaslu juga akan melakukan supervisi kesiapan pembentukan pengawas di tingkat kecamatan dan pengawas di TPS. Pembentukan panitia pengawas di tingkat kecamatan dan TPS ini akan disesuaikan dengan anggaran hibah pilkada yang masih tersedia.
“Bawaslu akan melakukan pemetaan kerawanan dalam pelaksanaan PSU berdasarkan hasil pengawasan sebelumnya. Kerawanan dilihat berdasarkan potensi politik uang, netralitas aparatur sipil negara, hingga penggunaan kewenangan yang menguntungkan paslon,” terang Ratna.