Modus korupsi semakin canggih. Dalam kasus penetapan izin ekspor benih lobster, modus bank garansi diduga digunakan untuk menutupi kejahatan korupsi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan suap lebih besar dalam kasus penetapan izin ekspor benih lobster (benur) di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang melibatkan bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Tak tanggung-tanggung, ada sekitar 40 perusahaan yang ditengarai terlibat. KPK pun menguak modus baru dalam kasus ini, yakni suap diduga diberikan dalam bentuk bank garansi.
Pada Senin (15/3/2021), penyidik KPK menyita uang tunai Rp 52,3 miliar dari Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Cabang Gambir, Jakarta, terkait kasus dugaan korupsi penetapan izin ekspor benur. Uang itu diduga berasal dari para eksportir yang telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengekspor benur pada 2020.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekretaris Jenderal KKP membuat surat perintah kepada eksportir untuk menyerahkan bank garansi atau jaminan bank.
”Tersangka EP (Edhy Prabowo) memerintahkan Sekjen KKP, lalu Sekjen KKP ke Kepala BIKPM (Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan), kemudian diperintahkan lagi ke Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta agar setiap eksportir menyerahkan bank garansi yang disetorkan di BNI,” ujar Ali.
Baca juga: Pengungkapan Dugaan Suap Menteri Edhy Prabowo Titik Tolak Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan informasi awal, ada lebih dari 40 perusahaan yang telah menyetorkan bank garansi tersebut ke BNI 46.
Padahal, penyidik KPK menengarai tak ada aturan yang menyebutkan perlunya penyerahan jaminan bank dari eksportir. ”Jadi, itu dugaannya sebagai bentuk komitmen dalam pelaksanaan ekspor benih lobster di KKP,” kata Ali, menambahkan.
Untuk lebih memastikan dugaan suap dengan modus bank garansi itu, KPK akan memeriksa saksi-saksi dan meneliti bukti lain yang terkait. Ditanyakan apakah Sekjen KKP Antam Novambar termasuk yang akan diperiksa, Ali belum bisa memastikannya.
”Ada keterbatasan waktu, 2-3 minggu lagi harus selesai, perkembangan ke depan akan disampaikan, termasuk siapa para saksi yang akan dipanggil terkait barang bukti uang ini,” ujar Ali.
Pertengahan Desember lalu atau setelah kasus dugaan korupsi izin ekspor dikuak KPK pada akhir November 2020, KKP mengungkapkan, hanya delapan dari 65 perusahaan eksportir yang layak mengekspor benih lobster berdasarkan hasil evaluasi terhadap para eksportir. Ada indikasi perusahaan tidak memenuhi syarat budidaya seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 (Kompas, 19/12/2021).
Penyitaan uang Rp 52,3 miliar itu menambah panjang daftar aset yang telah disita KPK terkait kasus suap tersebut. Sebelumnya, KPK menyita aset bernilai total sekitar Rp 37,6 miliar. Dengan tambahan Rp 52,3 miliar, total nilai aset yang telah disita Rp 89,9 miliar.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka. Selain Edhy, ada lima orang yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, ditambah satu tersangka pemberi suap, yakni Suharjito, Direktur PT Dua Putra Perkasa. Total penyidik KPK telah memeriksa 115 saksi.
Modus baru
Suap dengan bank garansi menjadi modus terbaru yang dikuak oleh KPK di kasus ini. Di awal terkuaknya kasus itu pada akhir November 2020, Edhy diduga menerima suap dari sejumlah perusahaan penerima izin ekspor benur yang penyerahannya dilakukan lewat PT ACK, satu-satunya penyedia jasa kargo yang ditunjuk untuk mengekspor benur. Total uang suap diduga Rp 9,8 miliar.
Uang yang masuk ke rekening PT ACK kemudian ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri. Selanjutnya Ahmad mentransfernya ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp 3,4 miliar yang antara lain digunakan untuk keperluan Edhy (Kompas, 26/11/2020).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, bahkan menduga bank garansi telah menjadi modus suap atau gratifikasi baru. Dengan kata lain, bank garansi digunakan untuk menyamarkan uang suap atau gratifikasi.
Berdasarkan pengamatannya, modus korupsi kian lama semakin canggih, baik dari cara menyamarkan transaksi maupun menyamarkan harta hasil kejahatan. Karena itu, penting bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan kemampuannya agar bisa mengungkap berbagai modus korupsi yang kian canggih.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta KPK tidak berhenti pada penyitaan uang Rp 52,3 miliar ataupun tujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. KPK juga harus mendalami dugaan keterlibatan perusahaan yang telah menyetorkan bank garansi. Hal ini penting mengingat banyak eksportir sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk ekspor.
Terkait dengan perkembangan terbaru penyidikan KPK, kuasa hukum Edhy Prabowo, Soesilo Aribowo, mengatakan, Edhy pernah bercerita, ada uang pemasukan negara bukan pajak (PNBP) yang masuk di bank garansi karena aturannya belum ada. ”Namun, saya enggak tahu pasti apakah itu bagian dari uang suap, atau uang dari bank garansi PNBP. Saya belum bisa jawab, nanti saya tanyakan dulu (kepada Pak Edhy),” ucap Soesilo.
Edhy, menurut Soesilo, juga tidak tahu soal sekitar 40 perusahaan yang menyetor uang jaminan. Hal itu terlalu teknis dan menjadi bagian dari kerja tim uji tuntas perizinan usaha budidaya lobster. ”Pak Edhy enggak tahu perusahaan apa saja. Terkait ACK, mungkin dia hanya dilaporkan sepintas saja, tetapi saya tanyakan dulu (ke Edhy) nanti,” ujar Soesilo.
Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi pun tidak tahu-menahu persoalan bank garansi. ”Wah, itu urusan Menteri (Kelautan dan Perikanan) sebelumnya (Edhy Prabowo). Kami tak tahu-menahu,” katanya.
Ia mempersilakan hal itu ditanyakan kepada KPK. Adapun Antam Novambar belum menjawab saat dimintai konfirmasi.