Elsam: Pemantauan Konten Lebih Tepat Dilakukan Penyedia Platform
Elsam menilai kegiatan polisi virtual rawan pelanggaran terhadap hak privasi. Pemberian peringatan terkait konten ujaran kebencian dinilai akan lebih tepat jika melibatkan penyedia platform.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian peringatan kepada pemilik akun yang mengunggah konten berisi ujaran kebencian melalui kegiatan polisi virtual akan lebih tepat dan maksimal jika melibatkan penyedia platform. Penyedia platform semestinya dilibatkan untuk turut memberikan edukasi kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Minggu (14/3/2021), mengatakan, polisi virtual dengan pendekatan notice dan takedown dalam menangani konten internet tidak tepat jika dilakukan kepolisian. Sebab, fungsi kepolisian adalah penegakan hukum.
”Pendekatan notice and take down itu lebih pas dilakukan penyedia platform karena penyedia platform memiliki panduan penggunaan. Kalau fokusnya adalah edukasi publik, maka seharusnya mengoptimalkan penyedia platform digital untuk turut bertanggung jawab,” kata Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, di Jerman, pendekatan tersebut dilakukan oleh penyedia platform. Mereka juga diwajibkan membuat laporan transparansi terkait aduan yang diterima dan langkah yang diambil penyedia platform beserta alasannya. Sementara di Australia, fungsi pengawasan, pemberian peringatan, sampai penghapusan dilakukan oleh lembaga independen.
Menurut Wahyudi, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika juga sudah memiliki unit yang menangani hal itu. Tim tersebut akan memverifikasi laporan yang masuk dan akan menghapusnya jika memang tidak sesuai dengan regulasi. Namun, tim ini tidak memberikan peringatan kepada pemilik akun.
Terkait ujaran kebencian, lanjut Wahyudi, fungsi kepolisian adalah mengidentifikasi dan memverifikasi suatu unggahan mengenai mens rea dari unggahan itu hingga menganalisis dampaknya jika suatu konten ujaran kebencian menyebar. Dari situ polisi dapat menentukan tindakan hukum selanjutnya, mediasi atau pemidanaan.
”Kegiatan polisi virtual ini justru rawan tindakan pelanggaran terhadap hak privasi. Sebab, dengan alasan polisi virtual, maka polisi memantau akun-akun di platform digital. Hal ini menjadi problematis karena menjadi semacam pemantauan massal,” kata Wahyudi.
Identifikasi konten
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan mengatakan, sejak 23 Februari hingga 11 Maret 2021, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri mengidentifikasi ada 125 konten yang diajukan untuk diberi peringatan polisi virtual. Seluruh konten itu lalu diverifikasi lebih lanjut untuk dipastikan perlu tidaknya diberi peringatan.
”Dari 125 konten tersebut, 89 konten dinyatakan lolos verifikasi. Artinya, konten itu memenuhi ujaran kebencian. Jadi, memenuhi unsur. Sedangkan 36 konten tidak lolos, artinya tidak memenuhi unsur ujaran kebencian,” kata Ahmad.
Dari jumlah konten yang memenuhi unsur ujaran kebencian, lanjut Ahmad, 40 konten sedang diproses, kemudian ada 12 konten yang sudah mendapat peringatan pertama, dan 9 konten mendapatkan peringatan kedua. Sementara terdapat 7 konten yang tidak terkirim dan 21 konten gagal terkirim.
Untuk 21 konten yang gagal terkirim, hal itu karena akun yang mengunggah konten tersebut sudah tidak ada atau langsung dihapus sebelum mendapat peringatan dari polisi virtual. Dari sisi platform, 79 konten berada di Twitter, 32 konten di Facebook, 8 konten di Instagram, 5 konten di Youtube, dan 1 konten terdapat di aplikasi percakapan Whatsapp.
Secara teknis, polisi virtual akan mengirimkan peringatan pertama dalam waktu 1 x 24 jam. Jika dalam periode waktu tersebut pemilik akun tidak mengindahkan, polisi virtual akan mengirimkan peringatan kedua. Jika masih tidak diindahkan, polisi virtual akan melakukan klarifikasi, seperti pemanggilan terhadap pemilik akun.
Ahmad mengatakan, peringatan dari polisi virtual hanya ditujukan kepada pemilik akun yang unggahannya memenuhi unsur kebencian, seperti terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) atau unggahan yang berpotensi untuk memecah belah masyarakat. Sebab, dalam tiga tahun terakhir, unsur pidana yang paling banyak muncul di media sosial adalah mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Terkait dengan adanya konten di aplikasi percakapan Whatsapp yang terjaring, ujar Ahmad, bisa jadi terdapat pihak atau orang yang melaporkan unggahan yang memenuhi unsur ujaran kebencian. Namun, polisi virtual tetap hanya pada posisi memberikan peringatan. Ahmad memastikan pihaknya secara periodik akan mengevaluasi kegiatan polisi virtual terhadap tren kenaikan atau penurunan ujaran kebencian di media sosial.
Menurut Ahmad, kegiatan polisi virtual melengkapi patroli siber yang selama ini telah berjalan. Ahmad pun memastikan bahwa polisi virtual bertujuan untuk mengedukasi masyarakat. Sebab, bisa jadi sebagian masyarakat tidak tahu bahwa unggahannya tergolong ujaran kebencian.
”Kami tujuannya memberikan peringatan kepada akun-akun yang mengunggah ujaran kebencian. Tujuannya memberikan edukasi agar unggahannya itu tidak berlanjut ke tindak pidana. Menyadap, kan diam-diam. Kami, kan, terang-terangan, transparan,” kata Ahmad.