Dilema ”Panopticon” Digital
Panopticon, yang berarti ’melihat segalanya’, adalah sebuah konsep tentang penjara yang berbentuk silinder. Kini, di era digital, masyarakat kerap tidak sadar kalau mereka sedang diawasi.
Pertengahan abad ke-18, Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris, mengunjungi saudaranya, Samuel. Samuel bekerja di Rusia sebagai pengawas para pekerja pabrik. Ia duduk di sebuah pos yang letaknya berada di tengah-tengah pabrik. Pekerjaan Samuel ini memberikan inspirasi kepada Jeremy untuk membuat konsep tentang penjara Panopticon.
Panopticon, yang berarti ’melihat segalanya’, adalah sebuah konsep tentang penjara yang berbentuk silinder. Di pusat silinder itu ada menara yang punya jendela dengan kaca satu arah yang menghadap ke sisi dalam silinder. Dinding silinder terdiri atas sel-sel yang satu jendelanya menghadap ke dalam dan jendela lainnya menghadap keluar untuk mendapat cahaya matahari.
Pengawas yang berada di menara bisa melihat para tahanan. Akan tetapi, tidak demikian sebaliknya. Asumsinya, pengawas bisa mengawasi ke berbagai arah tanpa diketahui. Kedua, tahanan bisa terlihat terus dari arah dalam silinder.
Ketiga, tahanan bisa berasumsi ia terus diawasi oleh pengawas yang tak bisa ia lihat. Efeknya, para tahanan akan terus mendisiplinkan dirinya sendiri agar tidak dihukum oleh pengawas yang terus memantau. Konsep yang dikemukakan pada pertengahan abad ke-18 ini menjadi dasar filosofis dari pengawasan.
Di era digital ini, ada pergeseran. Masyarakat kerap tidak sadar kalau sedang diawasi. Mulai dari penjelajahan di Google, penggunaan peta digital, bahkan mencari tempat liburan yang dipilih menjadi data yang terus ditampung mesin pencari. Demikian juga penulisan status dan komentar di media sosial, foto, sampai saling mengirim pesan di aplikasi menjadi data yang dikumpulkan perusahaan-perusahaan swasta.
Di sisi lain, data yang ada di pemerintah, seperti data kependudukan, catatan pelanggaran lalu lintas hingga kriminal, dan pajak semua masuk ke dalam kumpulan data pemerintah.
Ranah digital menjadi ruang baru yang diperebutkan. Negara dengan persepsi keamanan nasional tentunya khawatir melihat fenomena Arab Spring dan gerakan ISIS, kelompok teroris, yang sempat menguasai media sosial. Tidak saja media sosial digunakan untuk propaganda dan perekrutan, tetapi ruang maya juga menjadi akses logistik yang tak terbatas. Tidak heran, negara juga ingin menguasai ruang digital ini, minimal melakukan pengawasan.
Baca juga: Mahfud MD: Tahun 2021, Polisi Siber Akan Sungguh-sungguh Diaktifkan
Tahun 2013, Edward Snowden menimbulkan kehebohan saat membuka bahwa Badan Keamanan Nasional AS bisa mengakses data pribadi pengguna Facebook, Google, dan Apple. Kasus Cambridge Analytica-Facebook serta perusahaan swasta Israel Terrogence yang menggunakan pengenalan wajah dengan basis data Facebook juga semakin menyadarkan publik dan menimbulkan efek Panopticon bahwa setiap individu sadar bahwa ia selalu berada dalam pengawasan, entah oleh siapa.
Kebebasan versus keamanan
Ada dua riset yang hadir belakangan ini yang perlu diperhatikan bersama. Microsoft, Maret 2021, meluncurkan risetnya yang menyatakan, sopan santun pengguna media sosial Indonesia termasuk yang paling parah sedunia. Indeks Demokrasi 2020, The Economist Intelligence Unit menunjukkan, Indonesia memiliki nilai paling parah di kultur demokrasi.
Kultur demokrasi sangat penting dalam membangun legitimasi sebuah pemerintahan sehingga bisa berjalan lancar dan terus mengembangkan demokrasi. Proses pemilu yang seharusnya pesta bersama malah menjadi ajang perpecahan antara yang menang dan yang kalah. Seharusnya kultur demokrasi yang sehat menunjukkan bahwa perbedaan pendapat dan pilihan tidak lantas menjadikan pihak lain musuh.
Melihat dua riset ini, publik Indonesia baik juga melakukan introspeksi diri. Pembelahan masyarakat karena politik berakibat jangka panjang tidak saja pada demokrasi, tapi juga pada kekuatan bangsa Indonesia. Jangan sampai strategi devide et impera yang digunakan ratusan tahun lalu oleh serikat dagang Belanda, VOC, ternyata masih ampuh di hari ini.
Di tengah kritik UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Polri berinisiafit membuat cyber police untuk melakukan penegakan hukum dan polisi virtual untuk edukasi dan mencegah masyarakat melakukan tindak pidana siber. Hal ini bisa dilihat juga sebagai Panopticon digital yang serta-merta memunculkan dilema antara kebebasan dan keamanan.
Masyarakat sipil menggarisbawahi kebijakan Polri itu perlu diwaspadai. Hal ini bisa dimaklumi karena selama ini ada persepsi di sebagian kelompok masyarakat bahwa Polri menjadi alat politik. Banyak pihak yang berseberangan dengan pemerintah ketika mengkritik, tak lama kemudian ada yang melaporkan dan diproses hukum. Sementara tidak demikian halnya dengan pihak yang mendukung pemerintah.
Wijayanto, pengajar politik di Universitas Diponegoro, Semarang, dalam diskusi yang diadakan LP3ES, 4 Maret 2021, mengatakan, selama ini media sosial bukannya menambah ruang diskusi malah menguatkan diskusi satu arah antara negara dan rakyat. Kehadiran polisi virtual dan penguatan cyber policy dikhawatirkan bukannya melindungi demokrasi, melainkan malah menguatkan persepsi tentang kebangkitan Polri di era reformasi sebagai aktor yang bermain dalam domain politik.
Terkait kekhawatiran ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya sempat menuturkan bahwa tindakan polisi siber bisa dipertanggungjawabkan, tidak dalam rangka kesewenang-wenangan.
”Apa contohnya dipertanggungjawabkan? Kalau sifatnya hinaan terhadap personal kita tidak peduli. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan kepentingan masyarakat, polisi bertindak,” kata Mahfud, seperti dikutip di Kompas.id (26/12/2020).
Mahfud mengatakan pula tidak benar tudingan pemerintah pandang bulu dalam menangani laporan. ”Kalau yang laporan kejahatan oposisi langsung diproses. Kalau bukan oposisi langsung dibebaskan. Sebenarnya itu, kan, tidak benar juga, ya. Banyak juga yang teman sendiri diproses hukumnya, baik karena korupsi maupun kejahatan lain,” katanya.
Kuasa digital versus demokrasi
Yatun Sastramidjaja, pengajar antropologi di University of Amsterdam, menyoroti represi digital yang terjadi terhadap aktivisme publik. Tidak hanya dalam bentuk narasi, tetapi juga teror siber. Ketika ada ketidakpuasan masyarakat, terutama kaum muda, terhadap revisi UU KPK atau Cipta Kerja, kata dia, pemerintah hadir dalam wajah yang keras.
Ada semacam ketakutan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat politiknya. Hal senada dikatakan Damar Junioarto dari SafeNet. Ia mengkhawatirkan semakin menguatnya otoritarianisme digital dengan hadirnya cyber police dan polisi virtual. Kehadiran mereka menjadi Panopticon digital yang mengarah tidak saja pada pengawasan siber, tetapi juga sensor di ruang maya, bahkan sampai diputuskannya jaringan internet.
Di ruang digital terjadi asimetri kekuatan. Masyarakat, walau jumlahnya banyak, tak berdaya menghadapi institusi swasta ataupun pemerintah yang punya infrastruktur dan logistik untuk mengumpulkan banyak data.
Di sini muncul konflik yang sulit dilihat dengan kerangka struktur karena sifatnya sangat fluid. Dunia digital adalah perpanjangan dari relasi-relasi kuasa yang telah ajek. Dengan adanya dunia digital, hanya mereka yang berkuasa yang bisa melakukan akuisisi data, analisis data, dan artikulasi data yang jumlahnya sangat besar sehingga berbiaya mahal. Artinya, dunia digital menjadi alat penguasa dan pemodal.
Teknologi sudah menjadi alat produksi dalam demokrasi saat data dan prediksinya menjadi komoditas. Targetnya tidak lain adalah apa yang disebut Noam Chomsky sebagai manufacture consent alias menciptakan sistem di mana warganya menjadi patuh, consenting alias permisif tanpa mempertanyakan.
Masyarakat jadi taat pada propaganda yang disponsori pihak tertentu yang diperkuat oleh kecepatan dan kecairan dunia digital. Masyarakat tidak sadar ada algoritma gelap yang pada akhirnya menimbulkan polarisasi. Riset The Economist mengingatkan, fenomena di ruang digital menciptakan budaya pasif dan apatis—warga yang patuh dan siap dikendalikan, tidak sesuai dengan demokrasi.
Posisi warga
Posisi warga sebagai obyek mau tidak mau harus memiliki kecerdasan digital. Keberadaan Panopticon digital telah menjadi kepastian pada era big data ini. Kesadaran dalam berinteraksi di dunia digital tidak saja sebagai pelaku aktif yang berhak mengutarakan pendapat, tetapi dalam kebebasan yang bertanggung jawab, juga sebagai peserta pasif yang harus bisa memilah-milah informasi.
Sementara negara yang tentunya punya kepentingan nasional juga perlu bijak dalam melaksanakan Panopticon digital. Aparat penegak hukum harus bisa bertindak imparsial dan sesuai dengan tugas pokoknya untuk menegakkan hukum. Negara secara umum juga tak bisa memosisikan dirinya berseberangan dengan sebagian masyarakat, tetapi justru sebaliknya, perlu menggunakan ruang maya sebagai ajang komunikasi dua arah.
Panopticon dengan teknologi digital jangan lagi digunakan dengan kerangka zaman dulu yang bersifat satu arah dan beroerintasi pada propaganda serta tindakan represif. Tidak masyarakat saja yang bisa dilacak jejak digitalnya, tetapi aparat dan penguasa juga terpampang dengan transparan.
Pada akhirnya, Panopticon digital adalah alat. Hal yang lebih penting adalah manusia yang mengoperasikan dan yang bertanggung jawab atas operasi itu.