Wakil Menkumham: Sejumlah Ketentuan Pidana di UU ITE Akan Dimasukkan ke RUU KUHP
Semua ketentuan pidana di dalam UU ITE akan dimasukkan ke dalam RUU KUHP. Saat ini, pemerintah masih dalam tahap menyosialisasikan RUU tersebut.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE didapati tidak seragam dengan pasal-pasal yang dirujuk di Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP. Alhasil, penerapan pasal-pasal di UU ITE kerap multitafsir.
Untuk menghindari multitafsir itu, pemerintah berencana memasukkan semua ketentuan pidana di UU ITE ke Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP. Pemerintah pun akan mendorong agar RUU tersebut dapat ditetapkan saat perubahan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 pada Juni mendatang.
Pasal-pasal dalam UU ITE yang multitafsir ialah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29. Norma-norma di pasal-pasal tersebut sangat umum dan tidak ada penjelasan lebih rinci sebagaimana terdapat di KUHP.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dalam penetapan Prolegnas 2021, Selasa (9/3/2021), Kementerian Hukum dan HAM serta Badan Legislasi DPR telah menyepakati 33 RUU. Namun, RUU ITE tidak masuk di dalamnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau akrab disapa Eddy dalam webinar bertajuk ”Revisi UU ITE”, Rabu (10/3/2021), mengatakan, pasal-pasal dalam UU ITE yang multitafsir ialah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29. Norma-norma di pasal-pasal tersebut sangat umum dan tidak ada penjelasan lebih rinci sebagaimana terdapat di KUHP.
Baca juga: Revisi UU ITE Didukung Masyarakat
Ia mencontohkan bagian penjelasan Pasal 27 UU ITE. Pasal itu hanya menyebutkan pencemaran nama baik yang dimaksud sebagaimana Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Padahal, terdapat enam jenis penghinaan atau penistaan yang diatur dalam KUHP, yakni Pasal 310 hingga Pasal 321.
Contoh lain adalah Pasal 28 UU ITE. Eddy menjelaskan, pasal itu merujuk pada Pasal 154 hingga Pasal 157 KUHP yang mengatur mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum. Padahal, sebagian dari pasal-pasal itu telah dicabut atau diubah melalui putusan Mahkamah Konstitusi. Celakanya, putusan MK itu tidak mencabut Pasal 28 UU ITE. Padahal, Pasal 28 UU ITE merujuk pada KUHP.
”Jadi, apakah benar Pasal 27, 28, 29 (UU ITE) itu multitafsir? Jawabannya, ya, benar. Hal-hal ini yang menjadi komplikasi dalam pelaksanaannya. Jadi, penerapannya ini, ya, tergantung dari interpretasi penyidik sehingga yang terjadi dianggap sebagai diskriminasi, atau dianggap bersifat disparitas antara satu dan yang lain,” ujar Eddy.
Apakah benar Pasal 27, 28, 29 (UU ITE) itu multitafsir? Jawabannya, ya, benar. Hal-hal ini yang menjadi komplikasi dalam pelaksanaannya.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu dihadiri oleh sejumlah narasumber. Di antaranya Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Otto Hasibuan, Kanit IV Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri AKBP Silvester Simamora, dan Staf Ahli Menkominfo yang juga ketua panitia kerja (panja) pemerintah dalam revisi UU ITE tahun 2016, Henri Subiakto.
Baca juga; DPR Mendukung Revisi UU ITE Bisa Masuk Prolegnas 2021
Eddy menyampaikan, dengan alasan multitafsir itu, revisi UU ITE merupakan suatu keniscayaan. Namun, ia menegaskan, saat ini pemerintah juga tengah melakukan sosialisasi terhadap RUU KUHP.
Jika RUU KUHP disahkan, menurut dia, tak ada lagi perdebatan soal UU ITE. Sebab, semua ketentuan pidana di UU ITE sudah dimasukan ke dalam RUU KUHP.
Eddy menjelaskan, selama ini, jika Polri memakai KUHP, mereka tak bisa melakukan penahanan sebab ancaman pidana terbilang ringan. Syarat obyektif penahanan sebagaimana Pasal 21 Ayat 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun tak terpenuhi.
Alhasil, Polri kerap memakai ketentuan pidana di UU ITE karena memiliki ancaman pidana enam tahun. Dengan ancaman selama itu, Polri bisa melakukan penahanan berdasarkan syarat obyektif Pasal 21 Ayat 4 KUHAP.
Situasi semacam ini, menurut Eddy, sangat diskriminatif. Jika RUU KUHP disahkan, hal itu diyakini tidak akan terjadi. Sebab, entah itu pencemaran nama baik, perjudian, pemerasan, dan penghinaan terhadap golongan, apabila dilakukan dengan menggunakan sarana teknologi informasi, disebarluaskan dengan ditransmisikan dan sebagainya, ancaman hukumannya akan diperberat.
”Itu ada, kalau tidak salah di RUU KUHP Pasal 429 atau Pasal 479. Jadi, sebetulnya, begitu RUU KUHP disahkan, sudah tidak ada lagi polemik, tidak ada lagi kontroversi karena semua ketentuan dalam UU ITE dimasukkan dalam RUU KUHP. Tentunya kami berharap dalam perubahan evaluasi prolegnas tahun ini di bulan Juni, RUU KUHP akan didorong untuk disahkan,” ujar Eddy.
Akan tetapi, untuk saat ini Eddy berpandangan, penyusunan pedoman bagi Polri dalam menangani kasus-kasus yang sedang diproses hukum harus diutamakan. Artinya, lanjutnya, ketika Presiden meminta Polri agar selektif, setidaknya ada dua hal yang perlu menjadi perhatian. Pertama, harus ada standar yang sama. Kedua, tidak boleh ada tebang pilih.
Henri Subiakto sependapat bahwa ada sejumlah pasal yang perlu dilengkapi dan dijelaskan lagi sehingga tidak multitafsir.
Persoalan prosedur
Henri Subiakto sependapat bahwa ada sejumlah pasal yang perlu dilengkapi dan dijelaskan lagi sehingga tidak multitafsir. Pemerintah pun disebutnya masih terbuka untuk merevisi UU ITE.
Baca juga: Perlunya Perumusan Limitatif UU ITE untuk Mencegah Multitafsir
Saat ini, lanjut Henri, dua tim yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengkaji UU ITE belum sampai pada keputusan akan atau tidak akan merevisi. ”Jadi, belum sampai ke sana. Tetapi, saya yakin, arahnya adalah rekomendasi merevisi,” katanya.
Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa persoalan merevisi UU tidak bisa hanya didasari kemauan. Namun, terkadang, ada persoalan yang lebih rumit dan harus diikuti, yakni prosedur dan tata kelola perundang-undangan. Sebagaimana diketahui, di dalam Prolegnas Prioritas 2021, revisi UU ITE tidak masuk di dalamnya.
”Itu tidak bisa kami paksakan ketika ternyata jumlah yang akan dimasukkan ke prolegnas, urutan atau antreannya sudah panjang sekali. Ini persoalan teknis, tetapi nyata,” ujar Henri.
Silvester Simamora mengatakan, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo telah menanggapi dengan cepat perintah Presiden dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Polri juga diarahkan agar mengedepankan tindakan preemtif dan preventif. Strategi ini salah satunya dengan kehadiran polisi dunia maya (virtual police).
Dalam SE bernomor SE/2/11/2021 yang ditandatangani langsung pada 19 Februari 2021 lalu itu, penyidik diminta mengedepankan keadilan restoratif. Berbagai kasus yang bersifat privat diharapkan bisa selesai dengan upaya mediasi.
”Ini langkah cepat dan tanggap dari Pak Kapolri,” kata Silvester.
Polri juga diarahkan agar mengedepankan tindakan preemtif dan preventif. Strategi ini salah satunya dengan kehadiran polisi dunia maya (virtual police). Apabila ada sesorang atau kelompok mengunggah konten yang berdampak sosial tinggi, polisi dunia maya ini akan memberikan peringatan pertama sampai peringatan kedua. Jika peringatan tidak ditanggapi dan konten tidak segera diturunkan, Polri akan melakukan upaya lanjut, yakni penyelidikan, penyidikan, sampai upaya paksa untuk dibawa ke pengadilan.
Pesimistis
Otto Hasibuan mengaku kecewa setelah mengetahui RUU ITE tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Padahal, publik berharap proses revisi undang-undang itu bisa berjalan cepat.
Otto pun menyebutkan, Peradi juga telah membentuk tim khusus untuk mengkaji pasal-pasal di UU ITE yang dinilai multitafsir dan perlu direvisi. ”Tetapi, karena tak jadi dimasukkan ke prolegnas, menjadikan kami sedikit patah harapan. Tetapi, perjuangan akan terus kami lakukan,” katanya.
Ia pun merasa agak pesimistis dengan rencana pemerintah yang akan memasukkan ketentuan pidana di UU ITE ke dalam RUU KUHP. Sebab, sampai sekarang, penyusunan draf RUU itu juga tak kunjung selesai.
”Sehingga, kalau kita mengharapkan hal itu, menggantungkan perubahan itu menunggu KUHP yang baru, saya khawatir akan terlalu lama dan akan makin banyak korban-korban di masyarakat,” ujar Otto.
Menurut dia, jika pemerintah mengakui banyak pasal di UU ITE yang multitafsir dan berpotensi merugikan para pencari keadilan, selayaknya undang-undang itu direvisi segera. ”Tidak ada pilihan lain. Kalau tetap dibiarkan, ini berpotensi konflik horizontal. Di masyarakat terjadi permusuhan dan itu sangat tidak baik bagi bangsa ini,” ucapnya.