Artidjo, Sisiphus, dan Penegakan Hukum
Bangsa ini kehilangan mantan hakim agung yang selalu menjatuhkan hukuman berat kepada koruptor, yaitu Artidjo Alkostar. Mantan Ketua Kamar Pidana MA itu berpulang pada Minggu (28/2/2021). Selamat jalan Pak Artidjo....
”Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun.” (Bernardus Maria Taverne, 1874-1944).
Bangsa ini baru saja kehilangan satu tokoh besar dalam dunia hukum. Ia adalah mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Ia yang selama 16 tahun mengabdi di Mahkamah Agung telah memberi nuansa tersendiri dalam upaya pemberantasan korupsi. Putusannya yang kerap menjatuhi hukuman lebih berat kepada koruptor daripada hakim di tingkat pertama dan banding tidak hanya menjerakan koruptor, tetapi juga membela rasa keadilan publik.
Pada Minggu (28/2/2021) sekitar pukul 14.00, ia berpulang. Telah lama ia berjuang melawan sakit paru-paru dan gangguan jantung. Berpulangnya Artidjo salah satunya dikabarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di akun Twitter-nya. ”Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritras. Mantan hakim agung Artidjo Alkostar yg kini menjabat sbg salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK telah wafat siang ini (Minggu, 28/2/2021). Inna lillah wainna ilaihi raji’un. Allahumma ighfir lahu,” tulisnya.
Sepak terjang Artidjo di bidang hukum tak diragukan lagi. Hal itu diakui oleh banyak kalangan.
Ide dan pemikiran Artidjo, hakim kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1948, pernah dikupas mendalam pada acara bincang-bincang Satu Meja di Kompas TV, Senin (12/9/2016). Budiman Tanuredjo yang kala itu Pemimpin Redaksi Kompas berbincang dengan sosok yang disebut Mahfud MD sebagai ”algojo” para koruptor tersebut. Acara ini dituliskan kembali di harian Kompas edisi 14 September 2016.
Baca juga : Para Hakim Perlu Teladani Integritas Artidjo
Pembawa acara memberikan pertanyaan lugas terkait putusan-putusan Artidjo yang diketahui sering memberatkan hukuman koruptor. Sikap tegas hakim yang juga mantan advokat itu seolah berkebalikan dengan arah politik hukum pemerintah belakangan ini dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah, antara lain, sedang menyusun revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang hak-hak narapidana. Pemerintah menggagas koruptor agar diberikan remisi, yakni melalui peniadaan syarat justice collaborator.
Baca juga : Tren Putusan Tak Wakili Harapan Publik
Di sisi lain, seperti diulas harian Kompas, vonis terhadap koruptor yang terus menurun jadi perhatian bersama. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, vonis koruptor terus turun dalam empat tahun terakhir. Semester I tahun 2016, ICW mencatat rata-rata vonis koruptor hanya 2 tahun 1 bulan. Bandingkan vonis itu dengan putusan Artidjo sebagai hakim kasasi yang menghukum Angelina Sondakh, bekas anggota DPR, dengan 12 tahun penjara dan uang pengganti Rp 12 miliar. Tengok juga vonis kepada Anas Urbaningrum, bekas Ketua Umum Partai Demokrat, yang naik dari 7 tahun menjadi 14 tahun penjara serta kewajiban membayar uang pengganti Rp 57 miliar.
Putusan itu selalu dilakukan melalui pertimbangan hukum yang detail. Artidjo pun menampik anggapan yang menyebut dirinya tak pernah membaca berkas perkara.
Apakah putusan-putusan itu sekadar supaya terlihat beda dan memberatkan? ”Tidak,” kata Artidjo. Menurut dia, putusan itu selalu dilakukan melalui pertimbangan hukum yang detail. Ia pun menampik anggapan yang menyebut dirinya tak pernah membaca berkas perkara.
”Itu bukan keputusan saya. Kita mengikuti perdebatan majelis yang sangat mendalam, intens. Anggota majelis saya antara lain MS Lumme, hakim karier yang kini menjadi hakim ad hoc; Profesor Krisna Harahap; dan Profesor Abdul Latief. Orang yang menyebut itu sebagai putusan saya tidak tahu sebenarnya atau sok tahu. Putusan saya, paling tidak, ada pertimbangan hukumnya sampai detail. Saya ini advokat dulu, dan saya tahu betul metode membaca berkas-berkas ini, serta bergumul dengan bagaimana caranya banding atau kasasi,” ungkapnya.
Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko sependapat dengan Artidjo soal konsistensi pencabutan hak politik koruptor.
”Bagian tidak sepakatnya, ada putusan-putusan yang dulu pemidanaan berat-ringannya hukuman merupakan wewenang judex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) sekarang berpindah ke judex juris (Mahkamah Agung). Saya sependapat dengan itu asalkan pasal yang terbukti di pengadilan tingkat satu, banding, dan kasasi ini berbeda,” tuturnya.
Kejahatan yang merusak
Ditanyai soal vonis-vonis berat itu, Artidjo rileks menyampaikan, dirinya sering memberikan putusan bebas kepada orang-orang yang dinilainya tidak bersalah. Menurut Artidjo, dirinya bukan algojo. ”Saya bukan algojo. Saya penegak hukum yang konsisten. Konsisten dengan aturan hukum yang berlaku. Jadi, hukum itu memutus demi keadilan dan kebenaran,” katanya.
Artidjo menguraikan kebenaran sebagai fakta satu yang berkaitan dengan fakta-fakta lainnya yang terungkap di pengadilan. Adapun keadilan adalah perasaan batin dari kebenaran itu sendiri. Keadilan letaknya di dalam hati. ”Artinya, hakim itu harus memutuskan perkara berdasarkan hati nurani,” ujarnya.
Artidjo memandang korupsi sebagai kejahatan yang merusak negara, masa depan bangsa, dan berdampak multidimensi. Lebih-lebih jika yang korupsi adalah orang yang memiliki kekuatan politik. Pencabutan hak politik koruptor oleh karena itu menjadi perlu.
Pembacaan atas fakta-fakta itu antara hakim kasasi dan hakim di bawahnya bisa jadi berbeda. Artidjo menyebutkan, acap kali pasal yang digunakan pada tingkat pertama dan banding lebih ringan dibandingkan dengan pasal yang dipakai majelis kasasi. Majelis hakim di bawah lebih sering menggunakan Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi daripada Pasal 3. Hukuman Pasal 2 minimal 1 tahun penjara, sedangkan Pasal 3 minimal 4 tahun penjara. Telah ada kesepakatan di kamar pidana MA, korupsi di atas Rp 100 juta bisa dikenai dengan Pasal 3 karena signifikan memperkaya diri sendiri atau korporasi.
Di luar pertimbangan legal-formal, Artidjo memandang korupsi sebagai kejahatan yang merusak negara, masa depan bangsa, dan berdampak multidimensi. Lebih-lebih jika yang korupsi adalah orang yang memiliki kekuatan politik. Pencabutan hak politik koruptor oleh karena itu menjadi perlu.
”Agar rakyat tidak tertipu memilih orang yang cacat karena melakukan korupsi,” ujarnya.
Hati nurani
Hati nurani menjadi batu uji paling sahih ketika gelimang tawaran yang menggoda hadir di depan mata. Artidjo mengaku pernah didatangi dua pengusaha di kantornya yang menawarkan sesuatu sembari berkata, ”Ini tinggal Pak Artidjo saja yang belum. Semuanya sudah terima.” Artidjo bereaksi keras, ”’Hei, lancang sekali Saudara’, saya bilang begitu. Saya tersinggung dengan omongan mereka itu.”
Perjuangan memberantas korupsi di negeri ini pun seolah tiada habisnya. Betapapun vonis hakim maksimal dijatuhkan, korupsi masih menjangkiti. Korupsi mewabah, mulai dari anggota DPR, bupati, wali kota, hakim, jaksa, pengacara, diplomat, pengusaha, hingga kalangan kebanyakan. Melihat kondisi itu, Artidjo kukuh pada pendiriannya, termasuk ketika pemerintah berencana memberikan remisi koruptor.
Apakah Anda kecewa karena susah-susah menjatuhkan vonis berat, lalu pemerintah memberikan remisi? Apakah Anda merasa gagal? ”Enggak, saya tidak kecewa. Saya lakukan tugas saya sebaik-baiknya,” katanya.
Saat dicecar pembawa acara, apakah dirinya pernah galau saat memutuskan perkara, Artidjo menjawab, dirinya memutus dengan keyakinan penuh. Keyakinan berdasarkan pancaindera (realisme/ainul yaqin), keyakinan berdasarkan literatur/ilmu (idealisme), dan berdasarkan hati nurani (haqqul yaqin).
Bicara soal keteguhan dan keyakinan, ada kisah menarik dari Albert Camus tentang Sisiphus dalam legenda Yunani yang dikutuk dewa karena perbuatannya menentang dewata. Sisiphus yang karena berpegangan pada pendiriannya dikutuk seumur hidup melakukan tugas mendorong batu dari dasar hingga puncak gunung. Batu besar itu pun dengan mudahnya tergelincir lagi ke bawah setiap kali sampai di puncak. Setiap kali batu itu jatuh, Sisiphus mesti mengulangi lagi pekerjaannya dari awal.
Dari perjuangan yang seolah sia-sia melawan hidup dan nasib yang melingkupi itu, Camus menggambarkan Sisiphus sebagai manusia yang melakoni pekerjaannya dengan rasa keyakinan sebab ia tiada pernah berhenti mendorong batu besar itu ke atas lagi dan lagi. Kata Camus, ”Perjuangan itu sendiri cukup untuk memenuhi hati seorang manusia. Tiada lain yang bisa dipikirkan kecuali bahwa ia (manusia itu) berbahagia.”
Indonesia memerlukan banyak orang macam Artidjo, yakni manusia yang—seperti dikatakan mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas—orisinal dan berpendirian kuat.