MK meregistrasi dua permohonan perselisihan hasil Pilkada Sabu Raijua. MK diharapkan mengedepankan keadilan substantif karena putusannya dapat menyelesaikan persoalan kewarganegaraan asing bupati terpilih, Orient.
Oleh
IQBAL BASYARI/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi meregistrasi dua permohonan perkara perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur. Kementerian Dalam Negeri diharapkan tidak membuat keputusan pelantikan sebelum perkara tersebut diputuskan hakim konstitusi.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, di Jakarta, Jumat (26/2/2021), mengatakan, terdapat dua penambahan permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua perkara tersebut merupakan perselisihan hasil untuk Pilkada Sabu Raijua.
Gugatan pertama nomor registrasi 133/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan oleh pemohon pasangan calon nomor urut 1 di Pilkada Sabu Raijua, Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale. Adapun permohonan kedua diregistrasi 134/PHP.BUP-XIX/2021 diajukan oleh Yanuarse Bawa Lomi, atas nama Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua (Amapedo) serta Marthen Radja dan Herman Lawe Hiku selaku perseorangan warga negara Indonesia.
Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso menuturkan, kedua berkas permohonan perselisihan hasil Pilkada Sabu Raijua sudah diajukan oleh pemohon beberapa waktu lalu. Kedua berkas itu diterima dan kini sudah diregistrasi untuk menjadi perkara. ”Jika sudah diregistrasi, berarti harus disidangkan. Nantinya penilaian hukum atas permohonan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan majelis hakim MK,” katanya.
Gugatan terhadap hasil Pilkada Sabu Raijua diregistrasi saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunda pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih yang seharusnya dilaksanakan Jumat.
Penundaan itu dilakukan karena Kemendagri belum mendapatkan kepastian status bupati terpilih, Orient P Riwu Kore, dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang pada 1 Februari 2021 diketahui merupakan warga negara Amerika Serikat (AS).
Persidangan di MK akan menjadi persidangan terakhir untuk kasus di Sabu Raijua setelah rivalnya, Takem Irianto Radja Pono, mencabut gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang pada 16 Februari 2021 atau seminggu seusai mendaftarkan gugatan. Awalnya, kandidat dari jalur perseorangan ini meminta pengadilan membatalkan penetapan Orient dan memerintahkan KPU mencabut penetapan Orient sebagai pemenang pilkada.
Seperti diketahui, Orient terpilih sebagai bupati Sabu Raijua pada Pilkada 9 Desember 2020. Orient yang berpasangan dengan Thobias Uly mendapatkan suara 48,3 persen, unggul atas dua rivalnya. Namun, belakangan diketahui ia berkewarganegaraan AS dari keterangan Kedutaan Besar (Kedubes) AS.
Atas temuan tersebut, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta Kemendagri agar tidak melantik Orient sebagai bupati. Pelantikan dijadwalkan berlangsung pada Jumat (26/2/2021). Namun, Kemendagri masih menunggu penjelasan status kewarganegaraan Orient dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebelum mengambil sikap atas kasus tersebut.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, Kemendagri dan KPU sebaiknya tidak membuat keputusan berkaitan dengan pelantikan hingga ada putusan MK terkait perkara Sabu Raijua. Termasuk jika sudah ada keterangan mengenai status kewarganegaraan Orient dari Kemenkumham, tindakan yang diambil sebaiknya tetap menunggu putusan MK.
Dalam menyidangkan perkara tersebut, dia berharap agar MK mengedepankan keadilan substantif dan tidak hanya berpatokan pada persyaratan gugatan. Apalagi, gugatan ini didaftarkan melebihi jadwal tiga hari seusai penetapan hasil oleh KPU dan tidak memenuhi syarat selisih ambang batas.
Untuk diketahui, selisih suara antara Orient-Thobias Uly dengan rivalnya, Nikodemus-Yohanis Uly Kale, sebesar 18,2 persen. Berdasarkan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ambang batas pengajuan gugatan untuk Sabu Raijua paling banyak 2 persen.
”Semoga registrasi perkara ini tidak hanya basa-basi, tetapi bisa diproses sesuai substansi karena persoalannya sangat mendasar, mengenai hak warga negara,” kata Hadar.
Putusan MK akan sangat menentukan nasib kepala daerah Sabu Raijua karena hingga saat ini sejumlah pihak merasa sudah melakukan tugasnya dengan baik. Pemegang otoritas cenderung tidak bersikap karena ada kekosongan hukum dari kasus tersebut.
Padahal, ada prinsip kejujuran dan keadilan yang dilanggar dalam kasus ini akibat adanya kandidat yang seharusnya tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri. Bahkan, kandidat tersebut melakukan kebohongan karena mengaku merupakan warga negara Indonesia dan meminta hak-hak yang seharusnya tidak didapatkan ketika berstatus warga negara asing.
”Seandainya status kewarganegaraan Orient sudah diketahui sejak awal, maka hasilnya tidak akan seperti sekarang. Jadi perkara ini sangat substansial dan memengaruhi hasil pilkada,” ujar Hadar.
Guru Besar Fakultas Hukum Univesitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, syarat selisih suara dan tenggat pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah menjadi halangan dalam kasus ini. Sebab, sejak awal pencalonan, Orient telah tidak memenuhi syarat (ab initio ineligibility). Persoalan itu pun baru diketahui belakangan.
”Jadi, persoalan substansi mestinya diutamakan daripada prosedur. Menurut saya, seharusnya MK menerima (gugatan). Sebab, inilah peluang yang sangat terbuka untuk mengoreksi keputusan KPU yang salah,” ujar Topo.
Oleh karena itu, menurut Topo, kemenangan Orient di Pilkada 2020 seharusnya batal demi hukum (void ab initio). Ini tidak jauh berbeda dengan kasus di Kabupaten Bengkulu Selatan pada Pilkada 2008.
Saat itu, bupati terpilih Kabupaten Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud harus melepas kemenangan yang sudah di depan mata karena MK menyatakan kemenangannya batal demi hukum. Ia terbukti pernah menjadi narapidana dengan masa tahanan lebih dari lima tahun sehingga pencalonannya dinilai cacat yuridis.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua MK saat itu, Mahfud MD, pada 8 Januari 2009, kesalahan ada di penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bengkulu Selatan dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Bengkulu Selatan. Kedua pihak tersebut dinilai telah melalaikan tugas karena tidak pernah memproses secara sungguh-sungguh laporan-laporan yang diterima tentang latar belakang Dirwan.
Masih dalam putusan yang sama, MK juga memerintahkan KPU Bengkulu Selatan melakukan pemungutan suara ulang.
”Maka semua suara pasangan Orient dan Thobias kali ini seharusnya dianggap tidak ada. Dan dengan demikian, keputusan KPU kabupaten tentang hasil rekapitulasi itu tidak sah karena ada pasangan calon yang sejak awal tidak memenuhi syarat,” ucap Topo.